Ditanyai Soal Skandal Cetak Uang, Agus Martowardojo Enggan Komentar

Mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo enggan menjawab lebih saat ditanyai proyek pencetakan uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 di Australia. Kasus ini sempat mencuat saat era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Itu nggak ada hubungan dengan itu," kata Agus usai menjalani pemeriksaan kasus di kantor KPK, Jl. Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 25 Juni 2020.

Agus yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan. Dia memilih menghindari pertanyaan awak media saat dikonfirmasi lebih jauh dugaan skandal percetakan uang rupiah sampai ke negara Kanguru itu.

"Oke saya tidak komentar soal itu, sudah ya," kata Agus.

Kendati demikian, Agus mengatakan mendatangi KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dia mengaku, ditelisik soal penganggaran e-KTP.

“e-KTP, jadi ada tersangka Paulus, Isnu Fahmi dan Miryam, kemudian saya diminta keterangan terkait dengan proses anggaran yang dilakukan Kemendagri hubungan dengan Kemenkeu dengan DPR Komisi II dan kira jelaskan kurang lebih yang ditanyakan sama yang lalu," kata Agus.

Mengenai dugaan kasus pencetakan uang, Bank Indonesia sebelumnya menyatakan terpaksa mengorder pencetakan uang pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu dari Australia, dengan alasan tidak ada fasilitas di dalam negeri terutama bahan plastik (polimer).

Pencetakan uang pecahan menggunakan bahan polimer hanya berlangsung beberapa tahun. Selepas itu metode pencetakan kembali memakai bahan kertas.

Surat kabar The Age Australia pernah melansir berita terkait bocornya surat antara perwakilan perusahaan Reserve Bank of Australia (RBA) atau otoritas pencetak uang Australia atau bank sentral Australia di Jakarta. Mereka menuliskan, pejabat Securency International diduga kuat menyuap pejabat Bank Indonesia.

Dalam pemberitaan juga ditulis, pejabat BI itu ditengarai meminta sejumlah uang kepada RBA sebagai tanda jadi kesepakatan memenangkan kontrak pencetakan 500 juta lembar pecahan Rp100 ribu, dengan nilai proyek sebesar US$1,3 juta.

Menurut situs WikiLeaks, selain pejabat BI, duit haram itu juga diduga masuk ke kantong petinggi negara.