Rio Tinto Komit Jalankan Proyek di Sulawesi

Sumber :

VIVAnews - Perusahaan pertambangan Rio Tinto tetap berkomitmen menjalankan Sulawesi Nickel Project, kendati saat ini untuk melakukan eksplorasi di Indonesia harus mengikuti Undang-Undang baru dimana rejim kontrak sudah berganti menjadi izin.

"Kami tetap komit untuk melaksanakan proyek Nikel Sulawesi, as long as it is economically and commercially feasible," ujar Manager External Affairs and Community Relations Rio Tinto Budi Irianto kepada VIVAnews di Jakarta, Rabu, 17 Desember 2008.

Menurut dia, saat ini pihaknya tengah mempelajari Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang baru. Namun, pihaknya tidakmengetahui tindakan yang akan dilakukan jika ternyata UU tersebut tidak menguntungkan Rio Tinto.

"Kami tidak bisa berandai-andai saat ini. Tapi, tentunya akan kami pertimbangkan secara ekonomi dan komersial," tandas Budi.

Sebelumnya, RUU Minerba yang kurang lebih 3,5 tahun dibahas, kemarin akhirnya disahkan walaupun tiga fraksi yaitu Fraksi Partai Aamat Nasional, F Partai Kebangkitan Bangsa, dan F Partai Keadilan Sejahtera tidak setuju terhadap pasal 169 yang dianggap diskriminatif.

Sebab, dalam pasal tersebut dikatakan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian bersifat diskriminatif.

Kepada perusahaan-perusahaan baru diberikan  pembatasan-pembatasan yang sangat ketat, sedangkan kepada perusahaan lama yang sangat eksploitatif "dimanjakan" dengan diberikan semacam "insentif" untuk tetap melakukan kegiatan penambangan sampai masa kontraknya berakhir.

Tetapi, pemerintah beranggapan yang namanya kontrak yang telah berjalan memang harus dihormati. Jika tidak, maka akan dianggap menyalahi isi kontrak, dan konsekuensinya sidang abitrase menanti.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, ada tiga faktor yang dapat membatalkan kontrak. Pertama, yaitu kontrak bisa diberhentikan kalau ada pidana, seperti korupsinya.

Kedua, kalau jika perusahaan tidak mematuhi kontrak. Tapi itu pun masih terkadang menimbulkan argumentasi. "Seperti Newmont, mereka anggap tidak lalai, tapi kita bilang mereka lalai, karena dia ribut akhirnya kita bawa abitrase," ujar Purnomo.

Sedangkan yang ketiga adalah kedua belah pihak ingin memutus kontrak itu sendiri.

Purnomo menjelaskan, proses memberhentikan kontrak bukan perkara mudah, seperti yang dilakukan Presiden Chavez di Venezuela. Apalagi, posisi Indonesia masih membutuhkan investasi dan teknologi dari luar.