Resensi Film: Max Payne

Sumber :

VIVAnews - Cerita dibuka dengan adegan Max Payne tenggelam ke dasar lautan es. Ia Pasrah, tanpa perlawanan, siap terkubur hidup-hidup di dasar laut bersama mayat-mayat penjahat lain. Dalam keputusasaan, suara jiwanya berkata, "I don't believe in heaven. I believe in pain. I believe in fear. I believe in death”.

Plot cerita kembali  ke minggu sebelumnya.

Diceritakan, Max Payne, seorang detektif New York yang menangani kasus tak terpecahkan, menyimpan dendam kesumat bagi pembunuh istri dan bayi perempuannya tiga tahun silam. Kemuraman karakter Max Payne dimainkan begitu kuat oleh aktor Mark Wahlberg. Dendam Max tak pernah padam mencari pelaku pembunuh keluarganya.

Dalam usahanya memburu pelaku, Max sampai ke sebuah klub Rag Na Rock. Di sana ia bertemu Natasha, perempuan pecandu misterius dengan tato sayap di tangannya.

Keadaan semakin rumit ketika Max mengusirnya. Kecewa, perempuan itu menenggak cairan biru. Ia lalu dikejar makhluk bersayap dengan suara melengking. Polisi menemukan Natasha tewas keesokan paginya.

Naasnya, dompet Max ditemukan bersama mayat Natasha. Tuduhan langsung diarahkan kepada Max. Di tengah kerumitan posisi Max, kawan seprofesi Max, Alex Balder (Donal Logue) menemukan ada keterkaitan antara pembunuhan Natasha dengan Michelle, istri Max. Tato sayap jadi petunjuknya.

Film ini seolah tak putus menyuguhkan ketegangan. Max mendapat bala bantuan dari Mona (Mila Kunis), kakak Natasha yang mencari pembunuh adiknya. Beberapa fakta pu terkuak.

Film berdurasi 1 jam 35 menit ini disutradarai oleh John Moore. 'Max Payne' diadaptasi dari sebuah game action terkenal dengan judul yang sama. Dengan kepopuleran game-nya, sebenarnya hanya masalah waktu Max Payne akan diadaptasi ke layar lebar.

Film ini banyak menyuguhkan aksi tembak-tembakan yang mendebarkan. Belum lagi, sinematografi yang digarap dengan efek-efek spektakuler, salju api, kemuraman langit yang menguatkan karakter Max Payne yang sudah mati rasa akan dunia.