Banyak Risiko, Perusahaan Australia Segan Berinvestasi di ASEAN

KEBIJAKAN KEPEMILIKAN PROPERTI
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Perwakilan dari firma hukum terkenal di Australia Herbert Smith Freehills (HSF), Adam Strauss, mengungkap dua alasan utama para pengusaha asal Negeri Kanguru masih enggan berinvestasi di negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

Dua alasan tersebut yakni kurangnya jaminan hukum dan maraknya korupsi.

Hal itu diungkap Strauss ketika ditemui perwakilan media ASEAN, termasuk VIVAnews di kantor HSF di pusat bisnis Sydney, Australia. Strauss yang pernah membantu kliennya yang mencoba berinvestasi di Indonesia, mengeluhkan sistem hukum di Tanah Air bisa berubah begitu cepat.

"Sebagai contoh, ada aturan hukum yang mengatur soal pertambangan yang berubah begitu saja, sehingga mengecewakan beberapa perusahaan yang ingin berinvestasi," kata Strauss.

Sementara itu, akibat korupsi, bisa terjadi pemberian informasi yang tidak pas. "Kadang untuk memperoleh izin, pengusaha masih harus memberikan sesuatu kepada petugas agar urusannya cepat diselesaikan," imbuh Strauss.

Rekan Strauss, Daniel Barrins, mengatakan, para pengambil keputusan, bisa merujuk kepada tantangan terbesar para pengusaha, apabila ingin berinvestasi di China. Barrins menyebut ada tiga tantangan.

"Pertama, masih lemahnya perlindungan hukum. Kedua, tidak ada perlindungan terhadap hak intelektual. Ketiga, kepemilikan saham yang dibatasi, sehingga semakin sedikit hal yang kami ketahui," papar Barrins.

Dia menyebut, jika negara-negara Asia Tenggara bisa menyelesaikan ketiga masalah tadi, investasi dari Australia akan mengalir.  

Namun, baik Strauss dan Barrins mengatakan bahwa tantangan serupa tidak ditemukan di Singapura. Sebab, di Negeri Singa itu mudah bagi perusahaan asing untuk berinvestasi. Di sana, kata Barrins, segala sesuatunya dikelola secara transparan.

"Singapura bahkan mengalahkan Hong Kong untuk hal ini," kata dia.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Australia, pada 2012, jumlah investasi asing langsung dari Negeri Kanguru ke Indonesia mencapai 26 persen, atau menyentuh US$24,6 miliar.

Strauss menambahkan, kendati banyak tantangan yang dihadapi para pengusaha ketika membenamkan dana di Indonesia, masih ada beberapa perusahaan yang ingin berinvestasi di Tanah Air.