Bisnis Quick Chicken Pratikkan Filosofi Jenderal Sudirman

Quick Chicken
Sumber :
VIVA.co.id
- Kisah Bedi dimulai  dari Yogyakarta. Di Kota Gudeg ini,  ia mulai merentas usaha  Quick Chicken, setelah dengan mantap ia keluar dari  pekerjaannya di sebuah perusahaan makanan cepat saji yang tengah limbung diterpa krisis moneter. 

Diawali pada tahun 1999, Bedi mulai menyewa sebuah ruko di daerah  Demangan seharga Rp8 juta per tahun.  

Namun apa hasil, omzet pendapatannya  hanya float rate  Rp200 ribu per bulan atau sekitar Rp2,5 juta per tahun. Artinya ia harus tombok Rp5,5 juta hanya untuk menutupi sewa ruko, belum lagi  harus menalangi biaya lain lain seperti bahan baku dan  membayar karyawan.
 
Apa yang membuat Bedi tidak jera dan justru terus kukuh berkutat di bisnis cepat saji itu?  Di sinilah insting bisnis dan keyakinan yang berbicara. 

Setiap pelanggan yang datang, sebagian besar bahkan 90 persen lebih mengakui  produk  Quick Chicken ini rasanya pas di lidah, dan itu  mengindikasikan produk ini diterima konsumen. 

Bedi  tak sayang harus melego beberapa asetnya seperti mobil  yang dikumpulkannya bertahun-tahun dengan cucuran keringat.  Ia terus menebarkan sayap dan akhirnya pertolongan datang. 

Tawaran teman untuk  membuka outlet  Quick Chicken  ke-2 di sebuah mall di Mojokerto Jawa Timur,  tanpa perlu membayar sewa, disambut dengan suka cita.  
Ternyata tak sampai satu tahun,  sudah Break Event Point (BEP) atau  balik modal dan karena konsisten untuk membayar sewa menyesuaikan dengan pedagang lain di tempat itu meski sebenarnya teman itu  menolaknya dengan halus. 

Singkat kata, dari Demangan Yogyakarta dan Mojokerto Jatim, outlet Quick Chicken terus menebar. Tercatat,  jumlah enam  outlet pada tahun  2000, perlahan  tapi pasti terus berkembang  dan hingga  tercatat sudah 200 lebih outlet Quick Chicken di  berbagai kota di penjuru negeri, baik di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. 

“Kalkulasi bisnis, saya bisa menuai untung  ketika  membuka outlet ke-empat. Praktis, saya  yang merentas usaha sejak 1999 itu baru mulai merasakan manisnya berbisnis  sejak 2005 hingga kini. Kalau sebelum  2005,  puluhan outlet  kami   ada yang buka- tutup,” kata Bedi .


Ia sempat menyesali outlet pertama Quick Chicken di Demangan, Yogya pada tahun keempat  tidak bisa dipertahankan alias harus dilepas. Penyebabnya adalah harga sewa yang melambung tinggi  membuat kalkulasi bisnis dipastikan merugi jika dipertahankan. 

Seiring  membaiknya iklim bisnis Tanah Air dan makin berkibarnya bendera Quick Chicken, Bendi mengisahkan sejak 2005 sudah marak permintaan kerja sama bisnis berupa sistem waralaba. 

Filosofi  gerilya Bapak TNI Jenderal Sudirman ternyata ia praktikkan dalam menebarkan bisnis Quick Chicken.  Sadar kalau bisnisnya itu kalah segalanya dari pemain modal besar di bisnis serupa,  Bedi  memakai strategi unik. 

Setelah melalui survei  terencana dengan mengedepankan sejumlah data akurat  di sebuah lokasi –umumnya pinggiran kota--yang diprediksikan ramai pembeli dengan beberapa kriteria yang sifatnya intern,  Bedi baru berani memutuskan membuka outlet.  Maka itu,  jangan heran  kalau outlet Quick Chicken justru ada di pinggiran-pinggiran kota, namun menebar rata.  

Sebut saja untuk kawasan Jabodetabek. Ia penuh keyakinan  membuka outlet yang menebar rata di kawasan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, bahkan pihaknya kewalahan untuk  memenuhi derasnya  permintaan kerjasama bisnis sistem waralaba itu.  

“Untuk langsung menandingi pemain besar, sudah pasti  kami keok. Namun, strategi yang kami rancang ini  terbukti menuai hasil yang memuaskan.  Kami akan fokuskan membuka outlet-outlet di area sekitar Jakarta,  baru kemudian memantapkan diri untuk masuk ke  Jakarta. Secara perlahan tapi pasti,  kami juga akan mengembangkan sayap ke Pulau Sulawesi dan Kalimantan,” ujarnya.