'Berantas Terorisme, Jangan Seperti Nguber Layangan'

Anggota DPR Mahfudz Shiddiq
Sumber :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

VIVA.co.id - Komisi I DPR belum lama ini mengejutkan publik. Mereka membentuk suatu institusi baru dalam bidang intelijen yaitu Tim Pengawas Intelijen Negara.

Tim tersebut terdiri dari 14 anggota, dan disahkan dalam rapat paripurna DPR. Sejumlah reaksi pun segera bermunculan.

Ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Bahkan, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, menganggap tim tersebut tidak berguna karena dinilai akan merugikan Badan Intelijen Negara.

Bagaimana sebenarnya alasan yang mendasari pembentukan tim tersebut? Apakah hanya reaksi sesaat akibat kasus teror yang mengguncang Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016, lalu? Atau memang kehadirannya dibutuhkan oleh negara dan tentunya juga masyarakat?

Wartawan VIVA.co.id, berkesempatan berbincang dengan Ketua Komisi I DPR, sekaligus Ketua Tim Pengawas Intelijen Negara, Mahfudz Siddiq. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berbicara panjang lebar mengenai lembaga yang baru saja dibentuk tersebut.

Tak hanya itu, Mahfudz juga membahas soal masalah terorisme dan akar mengapa persoalan itu tidak juga selesai hingga kini, padahal instrumen yang Indonesia miliki lebih dari cukup.

Tokoh kelahiran Jakarta, 25 September 1966, itu juga menyinggung soal Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Tak hanya mengurai masalah, ia juga memberikan sejumlah saran dan solusi untuk menyelesaikannya.

Berikut hasil wawancara lengkap bersama Mahfudz Siddiq:

DPR membentuk Tim Pengawas Intelijen Negara, apa yang menjadi dasar atau alasan pembentukan lembaga itu?

Jadi, UU Intelijen Negara Nomor 17 Tahun 2011. Ini UU pertama yang dihasilkan DPR dan pemerintah. Dan ini inisiatif DPR sejak Indonesia merdeka pada 1945. Jadi, kehadiran UU ini menjadi sangat penting agar setiap institusi di dalam negara lebih khusus penyelenggara intelijen dapat bekerja berdasarkan acuan UU. Karena kita kan negara hukum. Itu satu.

Dan di dalam UU Intelijen ini ada satu prinsip penting bahwa penyelenggara intelijen harus dilakukan secara profesional. Sesuai prinsip kerja intelijen, tetapi pada sisi lain dalam iklim demokrasi maka seluruh kerja intelijen haru tunduk pada hukum.

Kedua, menghormati nilai-nilai demokrasi, dan yang ketiga, menghormati nilai-nilai HAM. Nah, sehingga dengan kerangka ini maka intelijen bukan hanya profesional namun juga akuntabel. Dan betul-betul berhikmat, bekerja untuk kepentingan negara sehingga potensi-potensi penyalahgunaan bisa diminimalisir.

Yang ketiga amanat di dalam UU tersebut untuk menjamin akuntabilitas intelijen diaturlah mekanisme pengawasan. Mekanisme pengawasan ini ada dua. Pertama, internal di masing-masing badan penyelenggara intelijen dan yang kedua adalah pengawasan eksternal.

Nah, pengawasan eksternal ini di dalam UU diamanatkan atau dimandatkan ke DPR. Di situlah muncul klausul pengaturan mengenai Tim Pengawas Intelijen DPR RI. Itu acuannya. Jadi kalau ditanya kenapa muncul Timwas Intelijen? Ya sebagai implementasi amanat UU, sebagai instrumen dari pengawasan eksternal dalam penyelenggaraan intelijen.

Apa saja fungsi dan tugas Timwas tersebut?

Pertama, secara umum mematikan semua penyelenggara intelijen tunduk pada hukum. Kedua, menghormati nilai demokrasi dan ketiga menghormati HAM.

Selain itu, secara khusus, Timwas diberi kewenangan untuk menyelidiki jika ada dugaan praktik intelijen yang melanggar UU. Jika ada satu kasus misalnya dan itu menyangkut masyarakat luas, menyangkut kepentingan negara, tetapi ada indikasi melanggar UU maka tim ini bisa menggunakan kewenangannya.

Meminta keterangan, sampai jika ada bukti yang kuat bisa melakukan penyelidikan, tetapi outputnya bukan penegakan hukum, output-nya rekomendasi. Apakah rekomendasi kepada Penyelenggara intelijen itu sendiri atau kepada Presiden, karena pengguna akhir atau user, pengguna intelijen negara adalah Presiden.

Yang lain dari yang khusus adalah bisa meminta keterangan penyelenggara intelijen jika ada hal-hal khusus. Yang memang itu membutuhkan pendalaman apa dalam rangka pemberian pertimbangan atau di dalam memberikan masukan dalam memperbaiki kinerja. Kira-kira itu.

Mengapa baru sekarang dibentuk? Apakah ada konsisi yang dipandang urgent atau genting sekali, misalnya teror bom Thamrin lalu?

UU ini disahkan akhir 2011. Dalam UU itu ada amanat bagi pemerintah untuk mensosialisasikan UU ini dalam satu tahun pertama. Maka 2012 fase pemerintah dan juga DPR melakukan sosialisasi ke berbagai lembaga pemangku kepentingan, kemudian di saat yang sama UU ini mengatur hal-hal yang menyangkut kelembagaannya.

Oleh karena itu, kita ingat 2013, 2014, itu adalah fase di mana pemerintah dan DPR secara bersama memfokuskan kerja pada pembangunan atau penguatan institusi penyelenggara intelijen khususnya BIN. Karena ada reorganisai, penataan ulang SDM, keluar Perpres mengenai tata organisasi dan seterusnya selain juga mulai ada penyesuaian implementasi fungsi-fungsi yang diperluas. Contohnya fungsi koordinasi.

Nah, kita ingin memberikan ruang bagi penyelenggara intelijen untuk membangun organisasinya mulai melaksanakan fungsi-fungsi yang diatur UU. Selain juga kalau kita lihat mulai 2012 dukungan anggaran terhadap BIN kan mulai mengalami peningkatan secara signifikan.

Kemudian, 2014 ada Pemilu dan pergantian DPR baru. Nah, 2015 kita tahu kondisi DPR sibuk dengan urusan politik sehingga saya menilai sebagai Pimpinan Komisi belum ada momen yang tepat, kondusif untuk membentuk Timwas Intelijen.

Baru memasuki 2016 ini saya menilai momentumnya tepat, proses implementasi UU dalam pembangunan kelembagaannya, dukungan anggarannya, situasi DPR sudah mulai kondusif lalu ini dimunculkan. Jadi, menurut saya ini konsekuensi dari implementasi dan tahapan-tahapan UU saja.

Peristiwa Thamrin jadi momentum?

Ya, kalau peristiwa terorime kasus bom Thamrin satu kebetulan saja. Dan bukan menjadi alasan Timwas ini muncul. Semua sudah disiapkan, karena DPR harus menyiapkan aturannya dulu.

Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B Ponto menyebut tim tersebut tidak berguna, dan justru kontraproduktif karena dinilai merugikan intelijen. Apa tanggapan Anda?

Saya mengikuti pernyataan berbagai pihak yang pro dan kontra Timwas Intelijen. Menurut saya, ini cermin dari belum tersosialisasinya secara luas UU Intelijen kepada berbagai pihak yang punya kaitan dan perhatian. Itu satu. Tugas pemerintah dan DPR untuk mensosialisasikan lagi.

Kedua, menurut saya, kita tidak perlu terlalu khawatir, cemas dengan keberadaan Timwas karena ini yang juga terjadi di banyak negara maju. Bahkan di Amerika, di Kongresnya itu bukan tim, tapi komite.

Komite itu bisa lebih besar dari tim. Nah, cuma karena dalam UU MD3 (MPR, DPR, DPRD dan DPD) dan tatib (tata tertib) DPR tidak dikenal komite sebagai instrumen kerja DPR, yang ada hanya tim, panitia seperti angket, ini kan bukan Pansus, karena Pansus adhoc. Makanya, yang bisa permanen adalah tim. Jadi, akhirnya kita mengadopsi bentuk organisasinya adalah tim.

Jadi di luar negeri, di negara maju, ini hal yang biasa terjadi. Bahwa ada kekhawatiran bocor informasi intelijen, saya ingin mengatakan begini. Anggota Timwas ini bukan agen intelijen, yang di kepalanya, di dalam dirinya tersimpan begitu banyak tersimpan informasi intelijen, enggak.

Kalau kita bicara kontra intelijen yang menjadi sasaran siapa? Ya aparat intelijen atau agen intelijen. Nah, Timwas ini adalah orang-orang yang diberi kewenangan dan tugas untuk memastikan penyelenggara negara ini taat hukum. Tidak melanggar nilai demokrasi dan menghormati HAM. Itu saja. Bukan semua informai inteijen ada di kepalanya.

Sistem kerjanya bagaimana?

Sistem kerjanya tertutup. Makanya di dalam sumpah anggota Timwas Intelijen ini salah satunya bersungguh-sungguh menjaga informasi intelijen, bahkan diatur sanksinya kalau ada kebocoran.

Sanksinya apa?

Ada tergantung derajat pelanggarannya, apa ringan, sedang atau berat. Berat sampai mengarah ke pidana.

Apakah tim itu tidak memboroskan anggaran negara?

Kalau di bilang boros anggaran enggak juga. Karena Timwas ini dalam peraturan DPR tidak mempunyai hak-hak protokoler. Jadi, nggak ada gaji khususnya. Kalau pun dia melakukan tugasnya, tugas itu melekat sebagai anggota DPR. Kecuali dia harus melakukan peninjauan ke daerah otomatis ada biaya perjalanan, itu standar yang ada di DPR. Jadi tidak ada alokasi anggaran khusus untuk Timwas Inteijen ini.

Apa yang akan dilakukan oleh tim dalam waktu dekat ini?

Pertama, kami akan menyamakan pemahaman dulu di tim mengenai UU mengenai tatib. Mengenai cara kerja sehingga semua anggota tim punya pemahaman yang sama. Ini juga terkait tanggung jawab.

Kedua, kami dalam waktu dekat akan bersilaturahim dengan penyelenggara intelijen negara agar mereka juga punya pemahaman yang sama. Saya sering mengatakan Timwas Intelijen ini bukan lawanya penyelenggara intelijen. Ini partner, mitranya.

Justru harus dipandang Timwas ini sebagai partner bagi mereka agar tidak terjadi pelanggaran UU. Nah, ini kenapa kita perlu silaturahim. Adapun agenda kerja secara khusus tidak ada. Karena kita tidak bekerja berdasarkan program yang mau dibikin.

Kita ini bersifat pengawasan. Kalau ada persoalan, baru kita mengaktifkan fungsi-fungsinya. Bisa menunggu laporan, bisa temuan, bisa informasi yang masuk dari berbagai sumber, kalau memang setelah kita verifikasi ternyata itu persoalan yang harus ditindaklanjuti.

Apakah lingkup kerja Timwas hanya untuk BIN atau institusi intelijen yang lain seperti BAIS TNI, intelijen kepolisian?

Kalau mengacu pada UU, Timwas ini adalah pengawas eksternal untuk BIN. Tetapi kalau kita lihat UU lebih lanjut, BIN itu selain dirinya sendiri menjalankan fungsi-fungsi intelijen, BIN juga menjalankan fungsi koordinasi pelaksanaan fungsi-fungsi intelijen, sehingga BIN itu berkoordinasi dengan intelijen strategis TNI (BAIS), intelkam Polri, kejaksaan dan yang lain lain.

Kalau misalnya ada persoalan yang dipandang perlu disikapi, ditindaklanjuti oleh Timwas Intelijen menyangkut koordinasi. Maka mungkin mungkin saja, karena masalah koordinasi. Maka Timwas akan berhubungan dengan BIN dan mitranya. Bisa dengan BAIS, Intelkam Polri, BNPT dan yang lain.