MUI: 80 Persen Teroris Berasal dari Sekolah Umum

Ilustrasi penangkapan oleh Densus 88
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.A Pitaloka

VIVA.co.id - Wakil Ketua Komisi Hukum Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang juga Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Brigadir Jenderal (Purn) Anton Tabah, menilai semua pihak terkait harus merancang kurikulum terpadu mengenai anti terorisme. Berdasarkan data yang ia peroleh, ternyata hanya 5 persen alumni sekolah berbasis agama yang terlibat terorisme.

Bantu Perangi Terorisme di Afrika, Adakah Niat Terselubung Amerika?

"80 Persen teroris berasal dari sekolah umum. Sehingga pencegahan bukan menjadi ranah polisi tapi harus terpadu antara MUI, BNPT, dan lainnya merancang kurikulum," kata Anton dalam rapat dengar pendapat pansus RUU pemberantasan terorisme, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 8 Juni 2016.

Menurutnya, selama ini program deradikalisasi gagal total karena hanya disusun BNPT. Padahal, berdasarkan sejumlah Berita Acara Pemeriksaan yang ia teliti, para teroris terjebak dengan ayat-ayat dasar. Sehingga harusnya persoalan ini juga menjadi tanggung jawab pengajar atau pendidik.

Pemkab Tangerang Benarkan PNS Mereka Ditangkap Densus

"Usul saya mau RUU atau keputusan politik, rancang program deradikalisasi bersama Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Polri dan Departemen Dalam Negeri," kata Anton.

Senada dengan Anton, Pakar Jaringan Terorisme Asia, Ahmad Baidhowi, menilai memang lebih baik RUU Pemberantasan Terorisme ini lebih membahas pada aksi pencegahan. Pencegahannya dengan melibatkan stakeholder seperti sekolah, Kementerian Agama, dan madrasah.

IDI Sukoharjo Minta Kasus Sunardi Tak Dikaitan dengan Profesi Dokter

"Ini jarang diajak duduk bersama untuk membuat desain program pencegahan yang efektif. Petanya baru kekerasan di sekolah. Sebagai gejala potensi, ini perlu diperhatikan," kata Ahmad pada kesempatan yang sama.

Ia menyebut terdapat 25 persen siswa yang mengatakan Pancasila tidak lagi relevan. Ia membayangkan ketika anak-anak tersebut dewasa dan memiliki pemikiran yang sama. Alasannya, satu teroris seperti Imam Samudera saja ia anggap sudah bikin geger.

"Pasal-pasal yang berkaitan dengan prevention setidaknya harus seimbang dengan pasal-pasal penindakan. Pencegahan lebih penting dari penindakan," kata Ahmad.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya