Soal Dana Riset, Indonesia 'Iri' dengan Korea Selatan

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Joni Hermana (kiri) mengamati mesin Computer Numerical Control (CNC) MTU 200 saat meninjau pusat pelatihan mekatronika dan otomasi industri di Kampus ITS Surabaya, Jawa Timur, Senin (2/5/2016).
Sumber :
  • ANTARA/Moch Asim

VIVA.co.id – Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Muhammad Dimyati menyatakan salah satu permasalahan di Indonesia adalah terkait pendanaan.

Dikatakan, selama ini untuk riset masih terbatas. Dimyati memaparkan, dana yang dibutuhkan untuk riset keseluruhan lembaga penelitian dan perguruan tinggi sampai 2020 adalah sebesar Rp100 triliun. Kemudian hingga 2017, dianggarkan sampai Rp20 triliun.
 
Anggaran itu terus dinaikkan, guna pencapaian dana riset satu persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sebab di negara luar seperti Korea Selatan, pendanaan untuk riset sudah lebih dari satu persen PDB.

“Dan apakah itu mungkin? Kalau pemerintah berkomitmen ingin mendorong Iptek, berkontribusi signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, itu mungkin terjadi,” ujar Dimyati kepada VIVA.co.id di Gedung Kemenristekdikti, Jumat 14 Mei 2016.

Dimyati menyontohkan dampak dara riset yang besar pembangunan nasional atau pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dari Korea Selatan. Kini, pembangunan nasional Negeri Gingseng itu, 60 persen disumbang oleh Iptek.
 
Padahal Korea Selatan bisa dibilang tidak kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Sementara Indonesia, kata dia, yang berlimpah SDA seharusnya bisa memanfaatkannya secara lebih. “Kita (Iptek), kontribusi Iptek baru 16 persen, masih jauh kan?” kata dia.