Penentang Perppu Perlindungan Anak Membangkang Konstitusi
- VIVA.co.id/M. Ali Wafa
VIVA.co.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, setiap tahun, jumlah kasus kekerasan yang terkait dengan anak selalu meningkat. Dari pengamatan KPAI pada triwulan pertama tahun ini, yaitu Januari-Maret 2016, sedikitnya ada 290 kasus. Jumlah ini meningkat 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, dari data yang lebih luas, berdasarkan pemantauan KPAI dari 2010 hingga 2015, mereka menerima 6.006 laporan terkait anak yang berhadapan dengan hukum. Dari laporan itu, lima kasus tertinggi adalah masalah pengasuhan 3.160 kasus, pendidikan 1.760 kasus, kesehatan dan napza 1.366 kasus. Sementara itu, pornografi dan kejahatan dunia maya mencapai 1.032 kasus.
Di tengah banyaknya laporan itu, KPAI juga menghadapi masalah yang sedang menjadi perhatian publik, yaitu maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Presiden Joko Widodo pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak, yang di dalamnya memuat hukuman tambahan pada pelaku.
Efektif tidaknya Perppu itu untuk mengurangi jumlah kekerasan seksual memang belum bisa dijawab saat ini. Tapi, beberapa pihak sudah menyatakan bahwa hukuman kebiri yang diatur Perppu itu bertentangan dengan hak asasi, bahkan justru merugikan negara.
Lalu, bagaimana tanggapan KPAI, sebagai salah satu lembaga yang memiliki mandat dari negara untuk membuat aturan perlindungan terhadap anak, sekaligus salah satu pihak yang gencar mendorong lahirnya Perppu. Berikut petikan wawancara VIVA.co.id dengan Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh pada 31 Mei 2016.
Benarkah kekerasan seksual semakin marak?
Kami punya data terkait dengan masalah perlindungan anak yang dikelompokkan menjadi sembilan cluster mulai dari tahun 2011 hingga 2016, triwulan pertama yang sudah terdata dan kami publish. Kami melihat secara perbandingan dari tahun ke tahun mulai dari tahun 2011 sampai 2014 angkanya memang naik. Dalam posisi mulai kasus keluarga dan pengasuhan, agama dan budaya, pendidikan, kesehatan, masalah sosial, kasus yang terkait dengan trafficking, kasus yang terkait dengan pekerjaan anak, napza dan juga miras. Kemudian pornografi dan cyber crime secara umum memang naik grafik yang kami punya.
Paling banyak terjadi kapan?
Nah, puncaknya di tahun 2014, pertengahan ada kasus-kasus besar terkait pelanggaran hak anak dan ini dipublikasi serta mendapat perhatian yang sangat serius oleh masyarakat termasuk media. Maka pada Juni 2014 ada komitmen politik melalui Inpres atau Instruksi Presiden tentang Gerakan Nasional tentang Kejahatan Seksual terhadap Anak yang itu ditindaklanjuti hingga ke pemerintah daerah. Mulai dari provinsi, kabupaten kota dan juga ada dinas.
Di sektor itu, di tiga kementerian, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, itu juga didorong untuk melakukan langkah-langkah sinergis di dalam pemastian pencegahan terhadap kejahatan seksual terhadap anak, termasuk kepolisian. Komitmen itu kemudian diikuti dengan politik legislasi dengan merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak dari undang undang tahun 2002 menjadi undang undang 2014.
Ada pengaruhnya?
Hasilnya kemudian di 2015 trennya menurun. Data yang kami miliki memang menurun, karena ada kesadaran kolektif di dalam masyarakat menjadikan kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi musuh bersama yang harus dicegah dan juga pelakunya dihukum secara keras.
Itu sudah dituangkan dalam revisi Undang Undang 35 Tahun 2014, hingga kemudian pada 2015 akhir. Kami memiliki annual report yang laporan akhir 2015. Kami sampaikan data ini baik data yang komparatif, maupun data utuh 2015, tapi kami rinci kasus per kasus.
Secara umum dari sisi angka kan turun, tapi pada saat yang sama, ada satu masalah yang justru naik, yaitu kasus anak menjadi pelaku bullying, menjadi pelaku kekerasan di lingkungan sekolah. Pada saat yang lain, kasus kekerasan dan kasus pengasuhan penelantaran itu turun, tapi justru kasus bullying yang dilakukan anak itu justru naik. Ini saya kira anomali.
Yang seharusnya lembaga pendidikan itu menjadi pionir di dalam membangun semangat dan budaya antikekerasan, tapi justru kekerasan itu tersemai mulai dari pendidikan, ini kami laporkan ke Presiden. Ini tanggal 12 Januari 2016, karena ini kan report-nya di 2015, itu kami sampaikan ke Presiden. Secara umum kami apresiasi langkah positif termasuk juga pemberatan masa hukuman yang diambil kesepakatannya dalam rapat terbatas 20 Oktober 2015.
Jadi tanggal 12 Januari 2016 kami sampaikan beberapa catatan akhir tahun yang kami miliki. Kami memberikan rekomendasi terkait dengan perbaikan langkah-langkah perlindungan anak, akhirnya Presiden menetapkan rapat terbatas di 20 Januari. Salah satu agendanya membahas temuan KPAI, terkait meningkatnya kasus bullying di sekolah yang pelakunnya anak itu memang meningkat.
Apa langkah selanjutnya?
Peraturan Presiden mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan ini melibatkan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri tentunya. Kemudian, aparat kepolisian di dalam masalah anak berhadapan dengan hukum, kemudian Kementerian Sosial untuk kepentingan rehabilitasi sosial, Kementerian Kesehatan terkait dengan langkah-langkah rehabilitasi medik dan aspek kesehatannya.
Sampai sekarang masih di dalam proses pendalaman dan KPAI terlibat di dalam proses penyusunan itu. Sampai kemudian, pada 11 Mei yang lalu, kembali dilaksanakan rapat terbatas tentang pencegahan kasus kekerasan terhadap anak, yang menyepakati adanya penerbitan Perppu, yang berisi tentang pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Alhamdulillah pada 25 Mei Presiden sudah tanda tangani.
Kembali ke 2014, kasus apa yang menjadi tonggak?
Cukup banyak kasus yang muncul. Salah satunya adalah sekolah internasional di Jakarta Selatan, setelah itu ada kasus di Sukabumi, ada kasus Emon, itu cukup menyita perhatian publik. Kasus itu kemudian melahirkan hikmah, yaitu memunculkan kesadaran kolektif masyarakat, termasuk juga pemegang kebijakan untuk melakukan konsolidasi regulasi serta penanganan yang selama ini masih parsial. Kelihatannya aspek pendidikan itu tidak memiliki tali temali dengan masalah perlindungan anak. Padahal di situ jelas, pendidikan tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga memastikan bagaimana lingkungan yang aman, nyaman, dan layak bagi tumbuh kembang anak.
Artinya?
Di situ harus terjamin pemenuhan hak dasar mulai dari agama, anak-anak harus diberikan ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai dan juga ajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya. Dia memperoleh hak dasar untuk pendidikan agama sesuai dengan ajaran agama serta dia tumbuh dan berkembang sesuai dengan norma dan nilai agama yang diyakini.
Saya kira ini bagian dari hak dasar, tidak sekadar bagaimana mengajari agama, tetapi bagaimana menginternalisasi nilai agama serta membangun lingkungan yang memang kondusif untuk proses berkembangnya norma nilai agama.
Selain itu?
Kemudian, di situ ada hak dasar pendidikan, bagaimana tanggung jawab kita, tanggung jawab sekolah untuk memastikan seluruh anak-anak yang berada lingkup wajib belajar, pasti memperoleh hak pendidikannya. Kemudian, ada hak terkait kesehatan, bagaimana hak kesehatan dasar, bagaimana menjamin jajanan di lingkungan sekolah misalnya, yang harus juga memiliki perspektif aspek kesehatan.
Hal ini harus dipahami oleh masyarakat, termasuk di dalamnya ada pemerintah. Dan kasus di 2014 awal, di mana kekerasan itu terjadi di lingkungan pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai keadaban, justru menjadi ajang arena “pembantaian” terhadap anak, jadi killing crowd.
Saya kira ini harus dipahamkan kepada seluruh masyarakat ya, dengan membangun kesadaran kolektif, apa yang kita sebut sebagai gerakan pengarusutamaan perlindungan anak.
Kembali ke maraknya kasus kekerasan, seperti apa evaluasinya?
Pada 2016 kami mencatat, kasus kekerasan itu pada rentang waktu yang sama. Dalam hal ini, triwulan yang kami punya, artinya Januari sampai Maret yang terdata, kemudian diolah April, di-publish di Mei, itu ada peningkatan 10 persen dibanding periode yang sama di tahun 2015 yang lalu. Kenapa itu muncul, salah satunya adalah kasus kekerasan seksual.
Di situ ada kasus pornografi, ada kasus anak berhadapan dengan hukum, ada kasus rebutan kuasa asuh, itu yang paling tinggi yang masuk pada kami.
Penyebabnya?
Apa faktornya, bisa jadi yang pertama di 2015 tingkat kesadaran masyarakat, tingkat kampanye pencegahan oleh seluruh stakeholder, baik pemerintah maupun masyarakat meningkat, seperti yang saya ceritakan. Akibatnya kasusnya menurun.
Nah, di akhir 2015, itu trennya cenderung melonggar. Melonggar ini tidak sekuat komitmen pada 2014. Sudah mulai tidak konsisten komitmen terkait perlindungan anak. Akhirnya, kemudian terjadi lagi, beberapa terjadi kasus, kemudian kasus LGBT yang melibatkan anak, artis, kasus besar diekspose, kemudian puncaknya kasus Bengkulu. Kasus itu muncul kemudian menjadi kesadaran publik secara bersama.
Melihat kondisi ini, apa yang dilakukan KPAI?
Tentu kami tidak bisa mengambil kebijakan yang basisnya reaktif ya, menunggu kasus kemudian baru kita terbelalak, tersadar, baru mengambil inisiasi. Tentu perlu ada langkah-langkah yang bersifat medium atau long term, untuk memastikan pencegahan dan juga penanganan terhadap kasus kekerasan seksual pada anak.
Meskipun, agak terlambat, saya kira penerbitan Perppu Nomor 1/ 2016, tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini sangat strategis di dalam kerangka memastikan pencegahan dan juga penanganan kasus kejahatan seksual anak ini secara utuh, di dalam sistem hukum.
Sungguh pun ini menjawab masalah yang ada di hilir, sementara, faktor pemicu kejahatan seksual terhadap anak itu banyak sekali, dan salah satunya itu ada di hulu.
Apa saja itu?
Di hulu itu, salah satunya peredaran miras yang begitu bebas, kemudian maraknya materi pornografi yang mudah diakses oleh anak dan orang dewasa, yang akhirnya melahirkan tindak pemberdayaan pencabulan terhadap kelompok paling rentan, di dalam hal ini adalah anak-anak.
Kemudian ketahanan keluarga yang cenderung rentan dari konflik akibat ketidaksiapan menjadi orangtua. Hal seperti ini memiliki kontribusi di dalam menciptakan situasi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, khususnya adalah kekerasan berbasis seks.
Masalah yang di hulu ini harus diatasi, tetapi kita tidak bisa melupakan ada masalah di hilir. Yaitu salah satunya, fakta belum adanya efek jera terhadap pelaku bahwa Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan perubahannya UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak sudah mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak, tetapi itu belum memberikan efek jera.
Profil pelaku secara umum, kalau kasus sadistik, biasanya bukan pelaku pertama, bukan orang yang melakukan tindak kejahatan pertama kali. Dia residivis.
Apakah berarti hukuman yang diterapkan selama ini kurang memberikan efek jera?
Bagaimana kita bisa memahami orang yang pernah melakukan tindak kejahatan terhadap anak, kemudian diproses secara hukum, dia sudah memperoleh putusan hukum, tetapi kemudian dia mengulangi perbuatannya. Artinya, di situ tidak ada cukup efek jera terhadap hukuman yang dia peroleh. Nah, padahal perlu ada mekanisme untuk menjawab masalah ini, yaitu dengan pemberatan hukuman, yang kemudian dituangkan di dalam perppu ini.
Berarti perppu ini juga inisiatif dari KPAI?
Iya, itu menjawab permasalahan yang ada di hilir, itu kami usulkan sejak 20 Oktober 2015, yang secara formalnya. Belum lagi usulan yang kami sampaikan secara tidak langsung ke Presiden. Tapi, itu kami usulkan secara resmi, melalui rapat terbatas yang 20 Oktober 2015.
Dari data itu, apakah pemicu kekerasan seksual itu miras dan pornografi?
Itu paling banyak, asusila itu terkait dengan pencabulan, pemerkosaan, dan sejenisnya. Kemudian narkotika, narkoba, miras, dan sebagainya.
Terkait dengan kasus tindak pidana asusila, ini data kepolisian yang kami himpun di dalam proses penyidikan, dilatarbelakangi dua hal, minuman keras dan paparan materi pornografi.
Selalu dua ini yang menyertai tindakan asusila di mana anak menjadi pelakunya, dan tentu ini gambaran secara umum betapa minuman keras dan pornografi memiliki tautan yang sangat erat dengan tindak pidana kejahatan dan secara khusus tindak kejahatan berbasis seksual.
Bagaimana dengan posisi pelaku yang dekat dengan korban?
Memang faktanya, pelaku tindak kekerasan seksual itu orang yang memiliki kedekatan secara fisik karena persoalan interaksi dan tidak disertai pemahaman yang utuh mengenai prinsip perlindungan anak, serta mekanisme pengawasan serta pencegahan yang memadai. Jadi tidak disertai kesadaran, kemudian tidak cukup mekanisme pengawasan dan juga pencegahan dari unsur luar yang memadai.
Makanya rata-rata memang, orang terdekat itu bukan berarti hubungan darah tidak serta merta hubungan darah, misalnya sopir yang mengantar, atau guru les, guru privat, terus pelatih senam, pelatih renang, pembantu.
Berapa persentasenya?
Kalau khusus yang terkait kekerasan seksual itu bisa sampai 35 persen ya, dari total kasus.
Kenapa kemudian kebiri yang dipilih sebagai salah satu hukuman?
Bukan hanya kebiri, tetapi di dalamnya juga memuat ketentuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, juga diatur hukuman seumur hidup, juga pidana penjara. Bahkan kemudian diatur dalam kondisi tertentu yang dicantumkan dalam perppu, penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun. Di samping pemberatan hukuman dari pidana pokok ini, juga ada pidana tambahan, yaitu dengan publikasi identitas pelaku.
Diharapkan dengan publikasi itu ada efek jera. Belum lagi yang tambahan yang terkait dengan adanya hubungan kedekatan itu tadi. Dilakukan oleh pengasuh, pendidik, dilakukan oleh panti asuhan, dilakukan oleh guru ngaji misalnya, guru les, pelatih olahraga, dia memiliki kedekatan tertentu, dia itu memiliki pemberatan sepertiga dari hukuman pokoknya.
Di samping hukuman pokok dan tambahan, ada tindakan, salah satunya kebiri dan pemasangan microchip. Ini adalah pilihan hukum yang bisa dijadikan ruang bagi aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim, untuk menentukan putusan hukum mana yang tepat untuk memastikan satu keadilan bagi korban. Kemudian, kedua, juga keadilan masyarakat secara umum. Karena, kita semua sudah mahfum bahwa kejahatan seksual terhadap anak itu adalah kejahatan luar biasa. Karena kejahatan luar biasa maka harus ada langkah-langkah luar biasa.
Kebiri itu sebagai langkah luar biasa?
Itu bagian dari upaya negara untuk memastikan pencegahan itu secara serius, tentu kajian-kajiannya sudah cukup banyak. Kebiri yang dipraktikkan di beberapa negara itu terbukti efektif mengurangi tindak kejahatan seksual terhadap anak, harus ada langkah.
Banyak pihak menyatakan bertentangan dengan konvenan anti penyiksaan?
Harus didudukkan dalam kerangka yang proporsional. Pertama, ini adalah mekanisme yang penghukuman sebagai langkah preventif agar muncul efek jera bagi pelaku untuk tidak mengulangi dan juga bagi orang-orang yang mau melakukan. Dia berpikir seribu kali untuk tidak melakukannya.
Kalangan psikolog dan psikiater menilai, lebih baik dilakukan dengan cara meredam keinginan pelaku?
Iya, sudah betul itu, jadi proporsionalitas menyelesaikan masalah sesuai proporsinya. Jadi ini kan adalah masalah hukum untuk memberikan penghukuman. Sama halnya kalau hukuman penjara. Kalau perspektifnya ekonomi itu pasti rugi, karena sudah dia menjadi pelaku, merugikan orang lain, kemudian kita tampung, disediakan tempat, disediakan makan, negara rugi. Masa membiayai pelaku? Begitu kan kalau perspektifnya ekonomi, kalau perspektifnya psikologi pasti nggak bagus, karena apa? Akan memisahkan dari lingkungan sosialnya, memisahkan dari lingkungan keluarganya, akan berdampak pada kondisi psikologis dia, tetapi itu ditempuh dalam kerangka penghukuman.
Bahwa di dalam penjara ada proses asimilasi, proses pemasyarakatan psikolog masuk untuk memberikan terapi itu lain hal, dan harus dilakukan memang, karena dia sebagai manusia. Tetapi jangan dilupakan, dia manusia memiliki status khusus. Dia manusia yang menjadi pelaku tindak pidana. Dia harus dipidana, dia harus dihukum, kerangkanya ya penghukuman.
Berarti harus dipandang berbeda posisinya?
Kalau toh orang harus dihukum mati misalnya, apakah kemudian menolak si algojonya. Masa saya harus menghilangkan nyawa, bertentangan dengan hati nurani saya. Kan begitu kalau kondisi normalnya, tetapi ini hukum memerintahkan itu. Kepentingannya bukan dilihat secara parsial kepentingan si pelaku. Tetapi harus dilihat secara utuh kepentingan keadilan masyarakat, kepentingan korban dan kepentingan ketertiban umum.
Termasuk jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak?
Tepat sekali, saya pikir harus proporsional juga IDI alasannya. Saya enggak tahu ini resmi atau tidak, dalam pernyataannya menegaskan bahwa ini etika kedokteran itu menyembuhkan bukan merusak. Iya betul itu, tetapi ini bukan bab kedokteran, ini bab hukum. Bahwa kemudian di situ ada tindakan kedokteran iya, sama persis misalnya kalau orang melakukan aborsi dalam kondisi tertentu kan tidak boleh, tetapi karena ada pertimbangan tertentu jadi boleh, dibenarkan oleh hukum.
Walau dibenarkan, tidak serta merta seluruh dokter boleh melakukan, harus ada alasan khusus, makanya yang boleh melakukan itu dokter khusus, dokter forensik. Demikian juga ini, bukan berarti kemudian disepakati kebiri dokter bebas melaksanakan kebiri, tentu tidak. Itu harus ada perintah hukum, perintah hakim.
Kalau kemudian ada penolakan seperti itu, padahal hukum sudah menyatakan boleh, bahkan sudah memerintahkan berarti ini ada pembangkangan, dan orang yang membangkang aturan itu bisa dikenai pidana.
Kenapa demikian?
Misalnya kita sudah bersepakat dalam konteks Undang Undang Dasar, tetapi dia mengingkari misalnya kebebasan beragama, dia berkhianat kepada konstitusi. Sementara, perppu ini kan derajatnya sama dengan undang-undang. Undang-undang kan sudah mengatur, tinggal langkah kita bagaimana melakukan implementasi semata untuk kepentingan menjawab masalah riil sekarang ini. Permasalahan riilnya apa? Permasalahan riilnya adalah ancaman kekerasan dan juga kejahatan seksual terhadap anak, harus ada langkah-langkah. Enggak boleh ngomong doang, tetapi tak ada solusi.
Perppu ini tajam terhadap pelaku, belum menyasar ke korban?
Itu penting tetapi hal yang berbeda, jadi tidak semua ekspektasi itu dikarungin di dalam ini. Wong perppu ini memang arahnya itu pemberatan hukuman, sehingga permasalahannya itu ada di hilir. Ini perppu ditujukan untuk menjawab satu di antara sekian masalah perlindungan anak. Satu itu apa? Belum adanya efek jera maka kemudian ini lho jawabannya. Bahwa ada masalah lain iya, tetapi jangan kemudian mendelegitimasi dengan mencari sejuta alasan untuk kemudian menyatakan itu tidak relevan.
Ada yang bilang apakah efektif, ini tidak efektif ini perppu. Ini kok kayak Tuhan saja, menyatakan sesuatu yang belum terjadi. Bagaimana kita bisa menilai sesuatu efektif atau tidak kalau belum dijalankan. Saya kira kita beri kesempatan pemerintah sudah menetapkan perppu itu. Ayo kita dorong ramai-ramai energi kita untuk bahu membahu memastikan mekanisme penyelenggaraan perlindungan anak ini dengan membangun komitmen pencegahan, dan juga penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk juga membuat instrumen turunan dari perppu ini untuk melakukan percepatan, inilah langkah konkretnya.
Saya khawatir ini justru ada penumpang gelapnya, yaitu orang yang mengambil untung dari kejahatan seksual terhadap anak.
Mafia maksudnya?
Bisa saja! Atau jangan-jangan takut ini, khawatirnya ini yang menolak juga enggak memiliki empati.
Bagaimana dengan kasus kekerasan terhadap anak lainnya?
Tentu langkah lain harus ada sinergi, misalnya untuk menjawab masalah kasus peredaran miras, harus ada kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah, termasuk juga DPR, untuk merumuskan suatu aturan yang memberikan pelarangan terhadap peredaran minuman keras. Sekarang di dalam lagi proses pembahasan, fakta sudah disajikan, data sudah sedemikian nyata. Kemudian perspektif kesehatan tidak ada satu pun dokter yang menyatakan itu baik untuk kepentingan kesehatan. Kenapa IDI tidak teriak melarang peredaran minuman keras, kenapa dokter-dokter tidak bergerak. Bah, sekarang yang membahas di Pansus harus punya komitmen itu juga. Untuk apa? Mempercepat proses pembahasan undang-undang yang esensinya melarang peredaran minuman keras. Ini kan dari hulu justru.
Itu untuk mencegah faktor hilir tadi?
Iya, ini kan harus komitmen, kemudian undang undang pornografi kan sudah ada, bagaimana penegakan hukum itu secara tegak. Poin berikutnya media, tayangan yang memuat kekerasan dan pornografi, harus dihentikan! Enggak bisa pencegahan dan penanganan itu dilakukan hanya satu pihak sementara pihak lain mengotori ini, atau acuh tak acuh, atau tak memiliki perspektif perlindungan anak, melegalisasi miras, narkoba, melegalisasi pelacuran misalnya. Jadi harus utuh memandangnya, memperkuat ketahanan keluarga, bagaimana sedari awal calon mempelai itu diberikan pemahaman terkait hak dan kewajibannya, terkait tanggung jawabnya, terkait pengasuhan yang baik.
Itu di masyarakat?
Iya dan itu sistem, di samping kesadaran masyarakat juga masuk ke sistem. Misalnya di Kementerian Agama, pada saat ada registrasi untuk pernikahan harus ada pendidikan pra nikah. Hal seperti ini kan sistemik penyelesaiannya.
Pencegahan di masyarakat?
Seberapa banyak program di pemerintah tanpa dukungan masyarakat tentu tidak optimal. Salah satu faktor yang menyebabkan kekerasan di anak itu longgarnya kontrol masyarakat, kemudian kerentanan ketahanan di lingkungan keluarga, kecenderungan individualisme di tengah masyarakat itu berdampak pada kelonggaran tata nilai akhirnya melahirkan permisivitas dan juga semangat individualistik, yang akhirnya hidup acuh tak acuh. Kohesi sosial menjadi sangat longgar, akhirnya itu menjadi peluang bagi pelaku tindak kejahatan seksual untuk melakukan aksinya karena kontrol masyarakatnya sangat longgar.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Menjadi penting untuk kembali menguatkan kohesi sosial dukungan antar tetangga itu dibangun, ada mekanisme early warning system, sistem peringatan dini, kalau ada rumah tetangga ada jeritan anak, bagaimana tetangga memiliki empati untuk bertanya, kenapa, melihat. Kalau ada warnet buka sampai malam, anak-anak main di situ, ada mekanisme pencegahan mengingatkan, kalau ada anak kumpul-kumpul sampai malam kemudian campuran laki perempuan tidak jelas, kemudian ada campuran minuman keras, ada mekanisme pencegahan, diingatkan itu tidak baik.
Kemudian kalau ada muda mudi, di rumah tertentu dan ada indikasi melakukan asusila harus diingatkan. Hal-hal seperti ini harus ditumbuhkan di tengah masyarakat. Atau kemudian pada saat yang lain ada indikasi tindak kekerasan ada pelaporan cepat, hal seperti ini harus dimunculkan, inisiasi dari masyarakat kita enggak bisa mengandalkan semua dari negara, wong masing-masing kita memiliki tanggung jawab.
Lalu, pemerintah sendiri bagaimana?
Negara juga harus hadir untuk melakukan pencegahan, tayangan disaring mana yang edukatif, mana yang tidak. Kemudian, pelaku usaha juga harus punya kontribusi, self censorship, memastikan tayangan yang muncul media televisi, media permainan yang lain, harus punya perspektif, jangan Tuhannya itu hanya ekonomi semata. Pertimbangannya adalah rating, kemudian keuntungan yang bersifat finansial, lalu mengorbankan masa depan anak-anak. Tayangan hura-hura yang niredukasi, alih-alih edukasi, justru menyebabkan anak meniru perilaku yang sangat destruktif, menyimpang, saya kira ini tanggung jawab kita bersama.
Infiltrasi budaya luar negeri berarti ikut memengaruhi?
Iya, budaya pop, budaya masyarakat yang tidak berbasis pada norma nilai dan juga budaya asli kita. Saya kira juga harus di-filter secara baik, karena perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi memiliki dua sisi. Sisi positif dan negatif. Kemudian pertukaran budaya sebagai akibat dari proses pertukaran informasi yang sangat cepat ini juga harus disaring mana yang layak dan tidak. Mana yang baik dan tidak baik, anak harus dibekali pemahaman utuh terhadap masalah itu, serta ketika melakukan akses interaksi budaya itu disertai pemahaman dan bimbingan dari orangtua.
Nah, orangtua jangan gagap juga, gagap budaya atau shock culture ya, seringkali itu karena perkembangan teknologi informasi begitu cepat, tidak disertai dengan melek budaya, kesadaran ketahanan budaya sehingga akhirnya menjadi gegar budaya itu. Punya handphone tetapi disalahgunakan hanya untuk akses materi kekerasan, pornografi dan lain sebagainya, alih-alih memberi manfaat malah membahayakan.
Inilah esensi revolusi mental sebenarnya. Revolusi budaya bagaimana membangun citra diri bangsa, bagaimana membangun identitas keadaban dengan keteladanan, kemudian contoh baik, mempromosikan hal baik dan mencegah hal yang bisa memengaruhi tumbuh kembang anak pada diri anak. Ini Yang harus terus dilakukan baik dengan pendekatan budaya maupun struktural. Pendekatan struktural terkait regulasi, kebijakan, anggaran dan sebagainya. Pendekatan kultural adalah membangun kesadaran di tengah masyarakat.