Keluarnya Inggris dari Uni Eropa Bisa Picu Krisis Global

Merchandise pendukung Inggris keluar dari Uni Eropa.
Sumber :
  • Reuters/Neil Hall

VIVA.co.id – Keputusan keluar atau tidaknya Inggris dari Uni Eropa akan segera ditentukan dari hasil referendum yang akan berlangsung dalam beberapa jam ke depan. Jika Inggris memutuskan untuk memisahkan diri, langkah tersebut dikhawatirkan akan memberikan sentimen negatif baru terhadap pasar keuangan global.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Jerman di wilayah Uni Eropa, keputusan Inggris untuk hengkang dari Uni Eropa pasti akan memberikan gejolak bagi perekonomian dunia.

“Khususnya mata uang di Uni Eropa (poundsterling) dan pasar modalnya. Ini berimbas kepada keuangan dunia,” ujar Bambang saat berbincang dengan awak media di kantornya, Jakarta, Rabu malam, 22 Juni 2016.

Meski begitu, mantan pelaksana tugas kepala Badan Kebijakan Fiskal itu belum mengkalkulasi seberapa besar pengaruh keputusan tersebut mengoncang ekonomi Indonesia.

“Yang mau kami hindari, jangan sampai banyak gejolak di sistem keuangan global,” katanya.

Namun Bambang memandang, sinyal kuat Inggris untuk bertahan di zona Uni Eropa masih sangat besar, meskipun jelang batas akhir referendum muncul berbagai spekulasi.

“Inggris keluar dari EU (Uni Eropa) tentu akan meninggalkan kesan berbeda. Tapi, kami masih melihat besar kemungkinan Inggris bertahan di EU, karena banyak keuntungannya jika bertahan,” kata dia.

Tidak bisa diantisipasi

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan pun memiliki pandangan tersendiri terkait hal itu. Menurutnya sentimen negatif dari Britain Exit (Brexit) masih spekulatif saat ini. 

Either way, bisa terjadi (Britain Exit). Jadi itu yang sudah diduga. Tetapi kalau betul-betul terjadi (Britain Exit), bagaimana dan reaksi apa yang terjadi itu sesuatu yang tidak pernah bisa diantisipasi,” ujar Robert.

Robert meyakini sentimen itu hanya bersifat sementara. Namun tetap harus diwaspadai dampak sistemiknya terhadap negara-negara berkembang di kawasan tersebut. 

“Bisa trigger krisis moneter juga di mana-mana. Supply valuta asing berkurang, aktivitas pasar saham berkurang, harga saham anjlok. SBN (Surat Berharga Negara) berkurang, harga SBN anjlok, imbal hasil (yield) naik,” kata dia.

Sebagai informasi, sebanyak 1.285 pengusaha telah menyatakan dukungannya pada kampanye remain, agar Inggris tetap menjadi bagian dari Uni Eropa. Dilansir dari laman The Guardian, pernyataan tersebut dikeluarkan, karena adanya kekhawatiran langkah Britain Exit berpotensi merusak perekonomian Inggris, dan pada akhirnya memberikan goncangan pada ekonomi global.