Usul Keterbukaan Informasi Perbankan Ada Sejak 15 Tahun Lalu

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi
Sumber :
  • Chandra Gian Asmara/VIVA.co.id

VIVA.co.id – Keterbukaan akses informasi perbankan ternyata telah diusulkan sejak 15 tahun yang lalu atau pada 2002. Pada waktu itu, DPR telah menyepakati petugas pajak dapat mengakses data nasabah perbankan demi kepentingan perpajakan.

Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi mengatakan kesepakatan saat itu memang belum terealisasi, dan kembali mencuat pada 2009 semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di semua negara, ujar dia, ketentuan ini bahkan sudah diterapkan sejak lama.

"Itu semenjak pertemuan G-20 terus berlanjut sampai dengan sekarang ini. Artinya ini sudah 15 tahun yang lalu, sejak 2002. Artinya di dunia manapun keterbukaan data ini sudah sejak lama," kata Ken dalam diskusi di Senayan, Minggu 23 Juli 2017.

Ken bahkan mengatakan, telah ada beberapa negara yang melakukan Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan Amerika Serikat sejak 2014. Negara-negara tersebut sama-sama memiliki kepentingan untuk mengejar informasi warga negaranya yang mengendapkan dananya di luar negeri.

"Ini pasti adalah negara-negara dengan yang memiliki sistem pajak. Kalau tidak ada pajak tidak akan ikut, misalnya kalau Saudi enggak akan ikut," ujarnya.

Menurut Ken, saat ini yang dibutuhkan sebagai tindaklanjut Perppu ini adalah untuk menjadikannya Undang-undang. Sebab Perppu ini dibutuhkan agar Indonesia memberlakukan AEoI serentak pada 2018.

"Ini perlu Perppu karena pada 30 juni 2017 perlu aturan primer (supaya diterapkan 2018), kalau juga ndak mengikuti itu, kita dianggap sebagai negara bukan yang menghargai pajak, kita dianggap melindungi para pelaku tax avoidance (penghindaran pajak) dan ini bisa dimasukkan ke UU KUP," ujar dia.

Sebagai informasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan pada Mei 2017 lalu.

Aturan turunannya yakni berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang batas minimal saldo yang bisa diintip Ditjen Pajak, yakni ditetapkan sebesar Rp200 juta. Namun, karena mengakomodasi beberapa masukan, PMK tersebut direvisi sehingga batas minimal saldo menjadi Rp1 miliar.