Kominfo Putar Otak Soal Frekuensi Internet of Things

Ilustrasi Internet of Things.
Sumber :
  • www.pixabay.com/jeferrb

VIVA.co.id – Era komunikasi data berbasis seluler membawa konsekuensi baru bertumbuhnya inovasi. Salah satu yang akan menonjol adalah penerapan keterhubungan perangkat melalui internet atau dikenal Internet of Things. 

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail menyebutkan, Indonesia menghadapi permasalahan ekosistem Internet of Things (IoT), yakni penerapan frekuensi berizin dan frekuensi tak berizin.

"Ada kemungkinan, kita akan menetapkan frekuensi unlicense terlebih dahulu dibanding license. Kemudian nanti akan kita lanjutkan dengan prosesnya, apakah akan melalui proses uji coba atau langsung komersial," kata Ismail saat mengisi seminar 'Mendorong Terbentuknya Regulasi Dan Standarisasi Dalam Menata Ekosistem Internet of Things' di Balai Kartini, Senin 16 Oktober 2017.
 
Ia menuturkan, saat ini ada perangkat IoT yang mengarah menggunakan frekuensi tak berizin 919 – 923 Mhz, berdekatan dengan frekuensi operator. Dampaknya tentu dapat diperkirakan seperti interferensi atau gangguan dengan jaringan yang sudah ada.

"Belum lagi soal jaminan layanan atau SLA (service level agreement) dan perlindungan data keamanan konsumen. Ini tentu memberi dampak yang tidak diinginkan ke depannya," kata Ismail.

Menurutnya, saat ini pemerintah tengah fokus pada tiga hal, yaitu frekuensi, standar, dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Apabila pemerintah dan pelaku industri telekomunikasi terlambat untuk menerapkan tiga hal ini, dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan pasarnya.

"Masing-masing masih dalam tahap pembahasan. Untuk TKDN, kami akan lebih banyak berdiskusi dengan para vendor, khususnya vendor lokal. Untuk frekuensi, kami perlu masukan dari operator, kira-kira yang jadi pelengkap dari operator seluler apa," ungkap Ismail.

Berbagai lembaga riset memprediksi, IoT akan terus tumbuh sejak awal munculnya, yakni pada 2014, hingga nanti 2020. Menurut Ismail, yang mengutip Gartner, angka ini bisa mencapai sekitar US$300 miliar, sedangkan menurut data IDC mencapai US$1,7 triliun.