Portamento di Industri Ekonomi Kreatif

Kepala Bekraf Triawan Munaf.
Sumber :
  • VIVA/Ikhwan Yanuar

VIVA – Ibarat pepatah gajah dipelupuk mata tak nampak tapi semut diujung lautan terlihat begitulah kondisi Ekonomi Kreatif di Indonesia sebelum dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif  (Bekraf) oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2015. Lembaga baru ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Sebab, seperti kita ketahui Indonesia sangat memiliki kekayaan ekonomi daerah yang melimpah ruah dan selama ini kekayaan tersebut tidak tergali dengan maksimal. Hal itulah yang membuat pemerintah Joko Widodo fokus  menggenjot ekonomi kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di daerah-daerah.

Selain itu dari sub sektor yang ada selama ini, Bekraf memiliki tugas untuk menggali potensinya agar bisa meningkatkan nilai ekonomi. Baik itu dari sektor musik, seni rupa, seni pertunjukan, kriya, film animasi dan video, fotografi, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, penerbitan, periklanan, serta tentunya adalah kuliner.

Pada pemerintahan sebelumnya, ekonomi kreatif tidak dimunculkan di awal dalam setiap kegiatan ekonomi. Bahkan, ekonomi kreatif hanya ada di dalam satu kedeputian di bawah Kementerian Pariwisata yang tentunya hanya lebih fokus menggenjot lokasi wisatanya saja, tanpa fokus menyiapkan apa saja yang ada di dalamnya.

Dalam perjalanannya pembentukan Bekraf tentunya banyak halangan dan rintangan, karena besarnya harapan masyarakat terhadap lembaga ini begitu besar. Sementara, infrastruktur dari lembaga tersebut belum tersusun dengan rapih, sehingga banyak kebijakan-kebijakan yang diambil belum secara maksimal namun mulai dirasakan.

Selama satu tahun setelah dibentuk, Bekraf pun telah mencatat adanya pertumbuhan kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB sebesar 4,38 persen pada 2015 dengan nominal mencapai Rp852.24 triliun, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp784,82 triliun.

Atas capaian tersebut tentunya, Bekraf menginginkan peningkatan lebih besar lagi setelah lembaga ini lebih siap. Terlebih pada akhir 2017 ini ditargetkan kontribusi ekonomi kreatif harus mencapai Rp1.000 triliun. Dan untuk mengetahui langkah-langkah tersebut VIVA berkesempatan mewawancari Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf di ruang kerjanya pekan lalu. Berikut petikannya:
 
Apa saja yang sudah Anda lakukan sejak memimpin Bekraf?

Ya, Jadi Bekraf itu didirikan secara kelembagaan dengan Perpres di Januari 2015. Memang ini banyak membutuhkan sekali pihak yang terlibat dalam ekonomi kreatif, bahwa Pemerintah memberikan perhatian khusus karena kita sudah ketinggalan.

Ekonomi kreatif di Indonesia itu pengembangannya sudah ketinggalan. Walaupun pernah ada di Kemenparekraf, jadi di bawah pariwisata dan ekonomi kreatif waktu itu dipersatukan. Tapi sebagaimana biasanya kalau nomenklaturnya di taro di nomor dua, perhatiannya juga lebih nomor dua.

Sehingga ada kebutuhan untuk memisahkan untuk menjadikan kementerian atau lembaga lain atau lembaga badan yang setingkat kementerian. Karena pada saat itu kementerian sudah penuh, 34 kementerian sesuai UU, jadi didirikan sebuah badan, badan ekonomi kreatif yang di pimpin oleh seorang kepala badan.

Memang di awal sebelum dibuat perpres itu, saya pernah diminta untuk datang dalam sebuah diskusi, yang diadakan oleh para praktisi atau para pegiat ekonomi kreatif. dalam sebuah organisasi yang non formal, namanya Rembuk Kreatif. Mereka menggodok dan membawa ke Presiden bahwa ini yang perlu dibentuk.

Nah, Saya enggak terlalu terlibat, tapi pada saat mencari kepalanya, atau mencari menterinya, itu jatuhnya ke saya gitu. Dan saya cukup kaget, saya bilang masih banyak yang lain, gitu kan ya, enggak taunya ke saya. Ya udah, saya terima beban ini sebagai sebuah amanah, tapi walaupun anggarannya sudah ada, jadi dialokasikan besar anggarannya. Tapi, tidak semulus itu kalau untuk membentuk sebuah kementerian baru dari nol.

Walaupun sudah ada dari kemenpar yang dipisahkan ke sini, tapi itu belum berjalan karena bentuknya beda, tanggung jawabnya beda. Jadi orang-orang yang merupakan para pegawai negeri sipil yang tadinya ada di Kemenparekraf, rekrafnya ya, ekonomi kreatifnya itu.  Sebagian ada yang dialihkan kepada kami, cocok tidak cocok gitu ya, ada beberapa yang baik dan ada juga akhirnya yang kembali lagi ke ekonomi.

Nah, pada saat didirikan, karena harapan orang sudah tinggi dan saya baru ditunjuk. Nah, istilahnya gini lah, karena adanya produknya baru, produknya belum jadi, tapi sudah diumumkan ke orang, dijual gitu kan. Akhirnya orang ngantre lah di sebuah toko, gitu, mana produknya. Enggak ada, lagi dibikin, gitu kan. Istilahnya gitu kan

Jadi saya harus bisa pada tahun pertama itu menjawab sebisa mungkin. Memenuhi sebisa mungkin harapan-harapan yang ada. Alhamdulillah bisa, walaupun secara penggunaan anggaran belum bisa. Karena pengunaan anggaran itu ketat sekali, penggunaan anggaran Rp1 juta itu pertanggung jawabannya itu mesti ada. Dan mesti dibuat program sebelumnya.

Kebayang enggak, tahun pertama belum ada alokasi kan, karena tahun sebelumnya anggaran kan. Jadi pada  tahun pertama itu, selain saya berdiskudi dengan orang-orang ekonomi kreatif, ya saya melaksanakan perekrutan.

kalau perekrutan di swasta, hari ini saya tunjuk, entar malam udah mulai kerja, di sini enggak. Kalau di VIVA bisa kan, kalau saya jadi CEO langsung kerja. Jadi ini enggak, musti di kerja sama dengan lembaga manajemen UI untuk dibuka pendaftaran lalu discreeing, sampai lalu diwawancara. Yang terpilih akhirnya diwawancara oleh saya. Dari tiga, tiga, tiga gitu misalnya,

Nah, sebelum itu saya harus membentuk dulu struktur kayak gimana kan, kebayang enggak repotnya. Nah, kebutuhan ekonomi kreatif itu apa. Ternyata setelah diskusi kemudian adalah ekosistem yang tidak ada di ekonomi kreatif.

Memang fashion sudah ada, kuliner sudah ada di Indonesia, film sudah ada, musik ada, tapi enggak ada ekosistem. Enggak punya ekosistem, apalagi untuk mengakselerasi. Jadi yang dibutuhkan adalah sebuah lembaga yang mampu menciptakan ekosistem. Nah, ekosistem itu dibentuk dengan membentuk kedeputian yang relevan. Apa masalahnya, masalahnya tentang apa.

Masalahnya tentang Permodalan, Permodalan itu belum tentu dari pemerintah, permodalan itu kan musti dari swasta juga kan, Jadi akses permodalan. Kita ada deputi akses permodalan.

Lalu pemasaran, ini kan penting sekali kan, apakah itu promosi, atau juga membentuk suatu sistem, misalnya pemasaran kopi itu kan gimana harusnya. Ini kan banyak sekali. Nah dibentuk deputi pemasaran, Lalu, bahwa ekonomi kreatif itu bisa terjadi, kalau kita bisa membentuk nilai tambah dari sebuah, misalnya contoh kopi. Kopi ini, selama ini kita ekspor bentuk coffe bean kan, biji kopi dijual ke amerika yang terbaik-terbaik tapi datang lagi ke sini menjadi starbucks, harganya dua kali lipat.

Itu yang dinikmati bukan oleh Indonesia. Nah nilai tambah ini kita hanya bisa kalau kita punya hak kekayaan intelektual, dari raw material kita. Dulu rotan diekspor keluar kan dilarang, harus barang jadi. Enggak cukup kalau menurut saya kalau harus barang jadi. Ini kan bisa dikasih merek oleh orang luar, kalau dikasih merek juga bisa jadi mahal juga. Harusnya barang jadi, kasih merek oleh Indonesia baru bisa dijual. Harusnya begitu kan, jadi ketidakmampuan kita membranding, ketidakmampuan kita mengemas kita hanya menikmati hulunya aja. Raw lalu dibuat desain.

Kalau kopi malah lebih parah, raw nya saja bijinya saja diekspor keluar, habis itu datang lagi lebih mahal. Bukannya devisa yang masuk tapi devisa kita yang tergerus ya kan, karena uangnya dibawa keluar kan. Nah jadi ternyata ini jadi mesti ada deputi bidang hak kekayaan intelektual. Jadi ada, jadi ada enam kedeputian lah.

Lalu, infrastruktur, untuk musik untuk film kan kita perlu bioskop, perlu panggung, perlu gedung pertunjukan, perlu sentra-sentra kreatif, nah itu apa, perlu ada deputi infrastruktur. Jadi kita itu ya dari nol sekali.

Jadi kita juga ada deputi antar lembaga dan wilayah. Perlu banget ada deputi antar lembaga dan wilayah. Kalau enggak kita mau koordinasi gimana, karena badan ekonomi kreatif itu tidak ada dinasnya di daerah. Di 500 kabupaten itu enggak ada, dan enggak akan ada, jadi kita koordinasi jadi kita mesti punya suatu deputi yang mengkoordinasikan antar wilayah dan antar lembaga.

Jadi ada enam kedeputian. Terus mengingat Ekstensifnya kegiatan kita. Kalau kita bicara soal fashion saja. Fashion itu ada fashion designer, ada infrastrukturnya, ada batik ada tenun, ada macam-macam jadi banyak. Itu baru satu subsektor dari 16 sub sektor

Ekonomi Kreatif kaya banget ya pak?

Ya kaya tapi juga repot kan. jadi saya butuh wakil kepala untuk mendampingi saya, kita bagi tugas. Jadi ada wakil kepala. Oh iya tadi satu lagi ada kurang deputinya ada Deputi Riset Edukasi dan Pengembangan.

Itu penting karena kita ternyata belum punya riset yang mumpuni, sehingga dibentuk sebuah kedeputian yang tugasnya membentuk riset, melakukan pendataan, yang merupakan big data yang kita perlukan. Lalu, kita kerjasama sama BPS untuk mengeluarkan data setiap tahun.

Karena pada waktu itu tidak ada data. Data ekonomi kreatif kita itu tidak ada. Sehingga kita bikin pada tahun 2015. Sehingga kita tau besaran kita itu berapa. Besaran kita itu, Ekonomi kreatif itu kontribusi kita ke PDB itu adalah Rp852 triliun pada 2015.

Nantinya data Ekonomi Kreatif Itu dipisahin dari data makro?

iya dipisahin, lalu ini lagi kita perbaiki terus, mudah-mudahan akhir 2017 sih kita bisa sampai minimal Rp1.000 triliun. Nah, perjalanannya memang tadi sangat sulit. Baru di akhir 2015 saya punya wakil kepala, punya deputi,

yang setelah seleksi oleh UI dan dilemparkan kepada saya, saya musti approval karena ini eselon I, musti ada tim penilai akhir (TPA) dari Presiden. Jadi saya harus melakukan sidang itu dengan Presiden untuk memilih final siapa aja yang dipilih.

Oke akhirnya dipilih. Tapi Sestama kita atau sekretaris utama kita, sekjen kita itu dia harus PNS. Kalau yang eselon I tadi boleh PNS boleh tidak, dan kebetulan dalam seleksi pansel yang terpilih, yang terbaik itu yang non PNS yang sampai sekarang ini (Deputi).

Nah, tapi kalau Sestama itu harus PNS karena dia pegang uang pegang anggaran, pegang birokrasi, jadi back office kita kan. Nah itu, kita mendapat lungsuran dari bekas dirjen di Kemenparekraf, Bekas Dirjen.

Nah, terlalu berat mungkin tugas ini sehingga dia mengundurkan diri, akhirnya saya baru dapat penggantinya sestama di Juli 2016, jadi baru setahun. Nah setelah ada Sestama baru kita fully function. Jadi kita baru satu tahun setengah lah fully functioning. Tapi udah mulai dirasakan, ada manfaat dan ada kebutuhan yang mana kegiatan semakin tinggi.

Di awal gebrakan apa yang sudah dilakukan Bekraf?

Salah satu tonggak kita dalam menciptakan atau memebereskan ekosistem adalah di film. Film itu kita melihat setelah  30 tahun lebih, atau 35 tahun lebih pada saat itu didominasi oleh satu pemain, which is okay, bahwa karena dia pemain serius. Bikin bioskop yang terbaik di dunia. Bioskop 21 (XXI). Tapi ada satu halangan untuk investor besar untuk masuk, karena tidak diperbolehkannya investor asing ke (sini)

DNI itu ya pak?

Ya DNI, saya bongkar, jadi 100 persen sudah boleh, sampai 100 persen bisa,

Jadi sudah dibuka semua sekarang?

Sudah dibuka, Sudah sejak setahun lebih sampai sekarang, Film itu ada tiga, ada production, distribution dan exhibition, Bioskop.

Nah, tiga-tiganya kita dibatasi oleh yang tadi, tidak punyanya investor besar dan tidak bolehnya investor asing masuk. Nah, setelah dibuka ini gairahnya timbul. karena walaupun tidak bisa langsung investasi orang, karena ada ini, tapi sekarang sudah mulai, misalnya Lotte Cinema sudah mendapat izin prinsip untuk membuka bioskop di sini.

Tahun depan udah mulai bangun, Insya allah. Mereka sudah dapat izin prinsip baru sebulan yang lalu, atau tiga minggu yang lalu. Selain itu, ada pengusaha film dari India, ada pengusaha bioskop mau bangun.

Kenapa DNI untuk bioskop dibuka 100 persen?

Karena begini kita punya hanya 1.200 layar, bioskopnya mungkin sekitar 200an. Jadi sedikit sekali, kan satu gedung bioskop itu ada berapa layar, gitu. 4 atau 5 malah lebih, jadi ada 1.250 layar sekarang ini kurang lebih enggak sampai 1.300. Itu yang kita mau tambah.

Makanya kita undang investor asing. Dan kita minta mereka tidak hanya membangun di Mal. Tapi justru di kota-kota kecil. Karena disitulah kantong-kantong penonton film nasional. Di daerah-daerah kecil itu. Di mana kalau bioskop sudah banyak, film-film yang punya potensi besar, seperti kemarin yang Warkop (DKI Reborn) itu kan dapat 6,8 juta. Itu masih kecil kalau dibanding film Box Office di luar, karena bioskopnya mendukung. Jadi Film itu ada Kadaluarsanya. Film itu kalau lebih dari tiga bulan Kuno, ya kan.

Itu Film apapun juga, misalnya Thor juga, sekarang kan, nonton orang sekarang kan, bak buk bak buk, ada lagi yang baru. Nah justru di awal-awal itu satu bulan dua bulan itu dikumpulkan sebanyak mungkin penonton, tapi karena bioskop itu cuma segitu dan bersaing film asing.

Selain itu, contoh film pengabdi setan itu enggak bisa lebih dari 4 juta. Karena kekurangan bioskop itu ya, karena kekurangan layar. Karena Warkop yang itu yang dibuat oleh Nafin itu enggak bisa dibuat lebih dari 6,8 juta. Itu sudah maksimum banget. Tapi nanti kalau layarnya dibuka banyak, kita pengennya 3.000 layar.

 Itu 3.000 layar bisa tercapai tidak hingga 2019?

Enggak kekejar mungkin, mungkin pada pemerintahan Jokowi yang kedua, kalau ini lanjut. Kalau Jokowi menang lagi, tapi pemerintahnya ganti pun, saya sudah ngomong sama semua partai semua fraksi, bahwa ini bukan proyek pemerintah ini saja ekonomi kreatif itu. Harus dilanjutin, non politis gitu. Karena semua terlibat.

Jangan gara-gara ini bukan Jokowi enggak mau Bekraf, jangan lah ya, Jadi harus dilanjutkan. Udah bagus gitu. Saya udah bangun dari awal. Silahkan nanti, pemerintahnya ganti walau kabinetnya pak Jokowi lagi. Silahkan oleh yang muda yang penting saya udah dirikan ini.

Nah, Soal Bioskop tadi, kalau bisa didirikan di kota-kota kecil, karena disitulah potensinya, itu baru bioskop, belum fashion, belum kuliner, belum craft, kerajinan. Dan kita mendapat berkah dari digitalisasi dari internet sekarang ini. Digital age ini kan. Sehingga yang namanya pasar itu udah enggak terbatas.

Kalau dulu kita kan jualan kan di toko dan di supermarket dengan space yang terbatas. Sekarang marketplace banyak, ada Tokopedia, ada Bukalapak, dan lain-lain itu membuat adanya kebutuhan yang tinggi atas barang-barang ekonomi kreatif dari daerah yang selama ini enggak disentuh.

Ada batik dari Papua, ada Tenun dari Toraja yang tadinya hampir mati itu udah bisa langsung dijual, dikurasi, diberikan pendidikan pemasaran dikasih mentoring tentang packaging, branding, terus segala hal. Kita sekarang melakukan banyak hal.

Terus kita karena salah satu subsector kita ada Apps (aplikasi) dan games. Apps dan Games itu termasuk Tokopedia, Go-Jek, itu bikin kegiatan sama kita, karena itu memang kegiatan di bawah kita. Terus tadi misalnya yang clue yang bikin di balai kota, itu kita dorong terus. Adanya satu system yang terintegrasi antar pemerintah daerah dan Presiden, maunya diotomatiskan. Itu di bawah tanggung jawab kita Bersama setneg

 Jadi itu kita meluas sekali cakupannya, banyak sekali selain subsektor yang 16, kita juga sering mendapat tugas dari Presiden ya tugas khusus untuk meningkatkan kualitas seni yang ditampilkan, untuk tamu negara. Untuk 17 Agustus, kemarin juga sumpah pemuda. Lalu tentang event misalnya mengumpulkan orang-orang kopi.

Nah, sumpah pemuda kemarin yang salah satu dari kegiatan bekraf itu, mengadakan sumpah pemuda itu tidak dengan biasa. Kita buka di Istana Bogor. Menurut orang sih Keren, Tapi karena ya Jokowi diikutin aja terus pengen selfie semua, jadi bikin berantakan aja. Nah, hal-hal itu yang enggak mampu kita tangani.

Lalu yang masih sulit dikejar apa pak dari ekonomi kreatif?

Lalu perkembangan sekarang sih bagus sekali untuk ekonomi kreatif, bisa kita rasain, setiap hari. Ada kegiatan ekonomi kreatif. Tadinya enggak kayak gitu. Tapi memang ada beberapa yang kita akui masih jauh dari harapan, yaitu musik.

Musik itu ada perubahan bisnis model secara dunia, kan tadinya orang itu mengkonsumsi music itu dari CD, dari Plat, kaset, cd, berubah kan semua jadi downloading. Terus downloading berubah lagi jadi streaming. Ya semakin kecilnya pemasukan para pencipta. Dan tidak terlindungi dengan proper tentang pembajakan, walaupun undang-undang sudah ada, tapi law enforcementnya enggak terlalu bagus.

Jadi kalau saya ngarang lagu jadi kaset, atau jadi CD, dibajak sama orang di Medan, enggak lapor enggak diapa-apain. Jadi musti lapor. Jadi lapor pun musti lengkap, musti ada bukti musti ada transaksi, saya belinya di mana, lokasinya di mana. Kan seyogyanya sebuah pengaduan, musti lengkap. Musti ada saksi.

Nah untuk itu, kita dirikan ini satgas pengaduan pembajakan. Jadi maunya kalau orang ada dibajak, lapor ke kita, kita bikinin pengaduannya baru kita bawa ke penyidik, jadi proper.

Nah setelah ada delik aduan ini, penyidik Polri itu selalu mendahulukan arbitrase, selalu mendahulukan perundingan antara orang yang dituduh sama orang yang mengadu. Dirundingin dulu, kalau terjadi kesepakatan yaudah ganti aja Rp1 miliar, boleh itu kan.

Nah delik pengaduan ini di Indonesia mungkin belum terlalu ini ya, karena kita besar sekali kan, jadi pembajakan kita belum bisa atasi dengan penuh, pemerintah belum bisa atasi dengan penuh, pembajakan fisik terjadi sekarang disusul pembajakan online ya kan. Sekarang streaming-streaming itu kita mau cari apa juga bisa. Dan jadi ini kita harus edukasi publik bahwa pembajakan itu salah, anda merugikan kehidupan pencipta.

Kampanye-kampanye seperti itu dilaksanakan tapi itu di satu pihak, di pihak lain kita enggak punya suatu sistem kalau anda pencipta lagu, belum ada suatu sistem bahwa anda itu dibeli dimana aja sih lagunya sih. Nah itu didirikan LMKN oleh Kementerian, itu juga baru, yang ada Ebiet G Ade yang ada James Sunda, lembaga manajemen kolektif nasional itu untuk mengkoleksi royalti-royalti.

Nah soal ini Bekraf juga sedang buat, namanya project Portamento. Tapi sedang kita godok, project Portamento ini. Portamento itu kalau bahasa musik itu, kalau gitar itu istilahnya seamless, nyambung, jadi intinya ada satu sistem yang secara seamless, enggak terputus dan terhubung antara pencipta dengan label dengan Direktorat Jenderal pajak, dengan menkumham untuk hak ciptanya.

Nah itu nanti kita sedang bikin Project Portamento ini. Kalau ini sudah terjadi di tahun depan, itu penghasilan dan itu dikaitkan dengan LMKN tadi, itu sudah itu yang kita butuhkan. Jadi kita enggak usah pusing-pusing soal pembajakan kaset lah itu sudah kecil itu kan. Pembajakan CD itu sudah susah ngontrolnya, walaupun sudah ada UU nya tapi susah , kita perhatikan itu, tapi kita perhatikan ekosistem yang lebih penting.

Point of view ekonomi tambahan karena di Portamento itu ya pak?

Nanti penggunaan lagu itu untuk film, masuk ke situ. Lalu penggunaan lagu untuk sebuah iklan, jadi intinya nanti si Pencipta itu mungkin tidak semua bisa perform, kan ada pencipta yang bisa perform dia punya duit tambahan kan. Nah ini belum masuk, nanti akan dimasukkan ke sistem.

Jadi nanti Padi main dimana, misalnya itu masuk ke sistem, pajaknya berapa pendapatannya berapa. Nah nanti uangnya itu bisa didistribusikan secara bulanan. Jadi kayak gaji, walaupun tidak tetap, bulan ini dari lagu apa namanya, apalah gitu ya.

Lalu, dalam sebuah lagu kan ada penulis lagu, lirik ada pencipta melodi, ada pemain juga gitu, nah itu terbagi waktu kita masukin data itu, lirik 50 persen, terus misalnya apa namanya melodi, karena misalnya gua berdua kerjainnya itu 25:25. Jadi begitu ada uang masuk langsung terbagi ke Bank Accountnya. Itu jadi sejauh itu yang kita buat. Jadi kalau itu sudah jalan itu adalah salah satu ekosistem yang kita buat untuk musik itu jadi.

Kalau soal penerbitan buku?

Kemarin misalnya ada komplain tiga bulan yang lalu dari seorang penulis, Tere Liye, itu yang mentriger kami dengan Kementerian Keuangan, bikin pertemuan, ya jadi Menteri Keuangan Datang, Dirjen Pajak Datang, jadi kami yang bikin sama dirjen pajak di situ dijelaskan di situ pajak itu seperti apa. Bahwa sebetulnya pajak itu seperti apa. Bahwa kita selalu membutuhkan pajak untuk pembangunan, tapi jangan menyusahkan.

Butet Kertarajasa waktu itu juga bilang, ooh kita ini enggak tau ni. Ya, apa aja nanti dibicarakan tuntas. Nah, outputnya adalah kita bikin pokja, lagi dibikin sekarang, pokja untuk perpajakan semua subsektor. Pertama adalah penulis dulu, kelompok kerja pajak penulis, di situ ada dirjen pajak, ada gramedia, ada penulis, ada ahli, pengamat. Supaya kita punya pedoman, bukan saja orang menjadi jelas membayar pajak, tapi juga dibutuhkan enggak insentif dari pemerintah.

Kalau insentif ini dikasihkan, misalnya dibebaskan pajak misalnya. Berapa yang akan masuk. Kan mereka mau, ya boleh bebas pajak. Tapi jangan potong bebeknya, tapi hasilkan telur emasnya gitu kan, gitu-gitu. Jadi kebayang enggak ini ada 16 subsektor. Masing-masing mesti ada Pokja. Nah ini kita lagi bikin setahap demi setahap.

Intinya begini kalau kita lihat permasalahan ekonomi kreatif itu ada dua bidang besar, pertama adalah yang tadi yaitu enggak ada ekosistem, kalau orang sakit itu, sakit parah. Tapi orang sakit parah ini perlu juga hidup normal hidup sebisa mungkin itu perlu vitamin.

Jadi kalau ini sebuah subsektor dibagi dua tadi, nah ini si musik ini sakit parah tapi dia perlu hidup. Fashion juga gitu, belum ada ekosistem, sakit, tapi masih perlu untuk berkarya.  Nah jadi dukungan dari badan ekonomi kreatif selain dukungan dari regulasi maupun deregulasi, seperti DNI tadi. Nah kita perbaiki itu supaya sembuh penyakitnya. Artinya kita terapi kan properly. Tapi harus terus kita kasih obat untuk menghilangkan rasa sakit. Musti ada vitamin. Pendukungan-pendukung dengan mengirim mereka ke luar negeri untuk ikut pameran.

Ikut pameran itu kan enggak memperbaiki ekosistem yang tidak ada kan, tapi harus terus kan. Kita harus terus berkarya terus menunjukkan karya kita di luar negeri. Nah itu vitaminnya. Tetap kita mesti jalankan. Jadi ada dua, kita terus menghidupi mereka dengan vitamin dan obat sakit kepala, obat anti nyeri. Tapi kita juga perbaiki juga ekosistemnya. Penyakitnya supaya total.

Nah ini sudah berjalan, sudah mulai mudah-mudahan ke depannya. Selain karena dikasih vitamin terus akhirnya karyanya semakin bagus. Tapi ekosistem dan pendapatan mereka juga bisa mensejahterakan, menjanjikan kehidupan.

 Pegawai Bekraf sendiri ada berapa orang saat ini?

Kita yang PNS itu enggak sampai 100 orang, ada 70 sudah ada. Sisanya itu P3K yaitu honorer. Banyak kok sekarang sarjana S2 Honorer yang mau bantu kita, tapi yang bukan pegawai negeri. Jadi lama-lama nanti akan kita jadikan pegawai negeri.

 Soal Film, bagaimana menguasai pasar dalam negeri dan mengenalkan ke dunia?

Jadi begini semua subsektor itu saya selalu bilang. Mungkin orang enggak terlalu perhatikan. Paling  pertama itu kita kuasai pasar dalam negeri dulu. Kan kita ada 250 juta konsumen. Itu besar sekali. China tidak sebahagia kita. China itu semuanya diproteksi. Whatsapp enggak boleh masuk, FB enggak boleh masuk, Instagram enggak boleh masuk, ya jelas dong, Jack Ma bisa terkenal. Sedangkan, kita dari awal Free for all. GoJek juga mesti melawan dari luar.

Jadi, kita selalu bilang dalam kampanye saya, Local First, Global Later. Jadi kuasai pasar kita. Puaskan dulu konsumen Indonesia, supaya apa. Sekarang udah mulai Loh. Starbucks sudah mulai sepi, mulai ke Anomali, ya kan. lebih puas kita kan. Beli local lebih puas, dan kualitasnya juga saya ngobrol sama Anomali, waktu di Istana Bogor, acara kopi dengan Presiden.

Jadi kuatkan dulu ininya brand local. Sudah pasti orang akan lebih mencintai kita kok. Waktu dulu bensin dibuka, pompa bensin dibuka, kan orang khawatir, Pertamina takut, wah jangan dong dibuka, kan yang AFTA itu kan. Jangan dibuka dong, nanti kita mati. Tapi ternyata, enggak, Pertamina makin hebat. Dia bikin pasti pas, service nya dia ditingkatkan jadi lebih bagus. Kan bisa menang lawan Shell, Petronas Out, Total nol. Total yang dari Perancis itu kan.

Jadi kalau kita bisa barang local itu tidak usah sempurna dulu, tapi jelas usahanya. Barang local itu simpatik, empati kepada brand local, apalagi kalau bagus, dan kalau diperjuangkan. Petronas itu kayak dibuang kan. Padahal ada sentimen anti Malaysia juga waktu itu kan. Gitu, jadi Local First Global Later,

Bukan berarti kita enggak mau di pasar Internasional. Kita sekarang itu ngadain pameran dengan deputi pemasaran itu di semua event-event yang kelasnya nomor satu, kayak Salon de Mobile, ke Milan, Ke New York Now, semua kita ikutin, karena ini konsen dari pak Presiden.

Pak Presiden kan dulu tukang Mebel, sering ikutan pameran ke luar, itu dia selalu sedih kalau lihat pameran di luar itu dekat WC. Cuma ada Banner aja enggak ada orang yang jaga. Anggarannya gede untuk pameran di luar negeri. Orangnya mungkin keliling-keliling jalan-jalan. Ya kan, sekarang kita ini betul-betul.

Misal kita dari bekraf satu atau dua orang aja yang berangkat tapi pelaku pergi semua. Diseleksi. Kita ikut di Short Buy Short Less misalnya, SWSX, di Austin Texas, kita kurasi kita bikin open goal. Kita kurasi kita pilih yang terbaik, baru kita kirim. Dan mereka berkewajiban begitu pulang mesti share pengalamannya, share ilmunya Bersama praktisi2 di dalam negeri. Nah ini kejadian terus sekarang terus cukup puas kok, mereka cukup puas mendapat dukungan.

Dari Bekraf sendiri bagaimana mengemas branding, personal branding? China sudah mulai memperkenalkan itu, bagaimana dengan Indonesia?

Itu masukan yang bagus, kita sudah mulai kan, walupun masih baru misalnya kayak Nadiem itu kapasitas dia apa inovasi dia yang luar biasa. Sekarang kita ajak, itu kan bisa jadi personal branding juga kan.

Nadiem bisa jadi Jack Ma Indonesia ya ?

Iya bahkan lebih hebat, karena enggak dilindungi. Jack Ma selalu bilang We Use Wisdom not Power. Enggak, saya bilang. Mereka use power dari awal. Diamanin sama pemerintahnya. 1,3 miliar pasar penduduk dia, aman enggak ada saingan dari luar. Ya kan.

Saya pernah mengusulkan ke Presiden 1,5 tahun yang lalu, pak tutup dulu deh google enggak usah masuk ke sini dulu, Whatsapp, FB dan lain-lain. Tapi pasti saya digebukan orang. Tapi ini kan supaya bikin Facebook local, bikin search engine, misalnya kalau China Baidu, Wechat, tapi mereka kan enggak ada saingan, jelas besar.

Nah sekarang kita kan enggak, jadi saya bangga banget sama Nadiem, bangga banget sama Traveloka, bukalapak, sama tokopedia.

Dan saya sekarang punya gerakan dengan mereka, yakni karya merah putih sama mereka. Karya merah putih ini selain branding labelling, tapi juga kita mau orang-orang yang berhasil bisa sharing ke start up start up yang baru. 

Supaya tidak membuat kesalahan-kesalahan yang telah dialami. Ya mempercepat mereka ini, jadi ada gerakan yang kita godok sekarang bersama founder dan investornya mereka.

Walaupun investornya ada yang dari luar negeri. Ada dari China, ada apa South bank. Karena kalau kita enggak buka pasar kita sekarang. Karena sekarang kan kita e-commerce boleh masuk, karena valuasi tokopedia enggak bisa seperti sekarang valuasinya kalau enggak ada investor asing.

Karena investor konglomerat Indonesia, masih belum sepenuhnya percaya sama tech, e-commerce. Belum percaya makanya mereka enggak liat sekarang. Makanya kalau kita enggak buka 100 miliar ke atas untuk investor asing, itu enggak akan bisa besar.

Yaudah akhirnya waktu itu ada roadmap untuk e-commerce yang pak rudiantara dengan kita buat itu diantaranya membuka investasi asing. Memang akhirnya kita harus kompetisi semua, yang offline-offline mesti transmart itu mesti berperan juga untu e-commerce. Tapi jangan kuatir, pak Presiden bilang, kompetisi lah sekarang kita. Kita buka kompetisi supaya lebih tough.

Capaian 2015 sampai sekarang ini Bekraf sudah ngumpulin berapa? Share ke PDB?

Yang tadi, 2015 kan tahun pertama kita itu Rp852 triliun, kalau kita kenaikannya kan gini, BPS itu yang 2016 baru akan keluar datanya yang tahun lalu baru akan keluar di akhir 2017. Jadi kira-kira sebulan lagi aka nada angka 2016. Saya yakin 2016 ini pasti kenaikan minimal Rp70 triliun, minimal. Jadi 852 tambah 70 ya Rp930 triliun misalnya. Lalu untuk sampai di akhir 2017 Rp1.000 triliun. Itu pencapaian yang saya yakin, dan mungkin akan lebih.                                                                                                                                                   

Dalam dua tahun terakhir Jokowi JK, fokus dari Bekraf?

Ya dari 16 subsktor tadi, kita ada 3 subsektor unggulan dan ada 3 subsektor prioritas. Nah 3 subsektor unggulan ini ada yang sudah besar dan kita akan akselerasi, karena daya ungkitnya itu tinggi, Fashion, Kuliner, sama Craft atau Kriya, atau kerajinan. Tiga tiga ini sudah besar. Angka ekspor sama besaran PDB beda, kalau untuk ekspor Fashion nomor satu, diikuti oleh kuliner, dan kriya.

Tapi kalau untuk dalam negeri Kuliner nomor satu, Fashion Nomor 2. Nah kita percepat terus dukungan kita apakah itu Fashion biasa, atau fashion hijab itu kita dukung banget, kuliner juga banyak sekali dukungan program

Program itu ada dua, ada yang kita ciptakan, ya ada juga yang dating dari bawah, usulan. Oleh karena itu ada Apps yang dibuat oleh bekraf yaitu satu pintu. Satupintu.bekraf.co.id , itu kalau orang mau mengajuin di situ lengkap,, standar gitu. Mesti 4 bulan sebelum kegiatan karena birokrasi kan, anggaran segala. Itu sudah sangat teratur. Memang tidak bisa memuaskan semua pihak karena yang terbaik lah yang kita pilih, dulu, waktu di awal-awal saya piker bisa sama korea dia kan Homogenes kan. Budayanya Cuma satu paling ada perbedaan sedikit-sedikit sama daerah.

Nah kalau Indonesia enggak, kita di Bekasi udah, di Cirebon Beda, di Tegal Beda, nah itu kan berarti kita mesti bottom up. Engggak mungkin kita jalankan program langsung untuk 500 kabupaten kota, enggak bisa. Jadi para kepala yang punya visi misi datang ke sini dan itu sudah terjadi. Yang punya passion. Nah itu sudah kita garap semuanya.

Soal Film masih belum jelas pak, bagaimana kita perkenalkan film Indonesia ke dunia?

Tadi itu saya bilang ada Production, Distribution ada Exhibition, nah exhibition itu kan bioskop tadi ya, banyak layar. Karena kalau enggak ada layar, enggak ada supermarket lah kalau mau jual, nah tapi di production, dengan dibukanya investasi asing masuk ke sini 100 persen. Itu sekarang sudah mulai banyak Co Production, bikin film nasional misalnya Wiro sableng lagi shooting, itu investasinya Fox Internasional film sama lifelike punya lala timoti.

Itu kerja sama film korea juga lagi bikin. Bikin film tv juga sama net. Mau bikin descendants of the sun namanya. Korea kan ada film terkenal itu,nah itu mau dibikin serialnya di Indonesia. Setelah jadi kayak wiro sableng itu, itu juga difikirkan bagaimana film ini juga bisa dijual ke dunia. 

Jadi kualitasnya mesti mumpuni, kualitas cerita teknologi production valuenya, kadang-kadang kalau production value nya rendah tapi kualitasnya bagus kayak film di India itu tentang sepatu, dari india atau Pakistan. Itu tanpa production value yang besar bisa laku di luar, karena kualitas cerita dengan story telling yang bagus, nah untuk story telling yang bagus itu dibutuhkan sekolah dan kita baru sedikit. Ini kita masih garap

Baru IKJ ya pak?

Iya baru IKJ, tapi IKJ sekarang statusnya masih aduh, ya sekolah film ada ganjelan. Kalau kita mau bikin film kalau kerja sama dengan luar negeri itu belum bisa. Makanya kita complain kita ke pak Thom, itu gimana sih kita melarang pendirian sekolah asing di sini. Tapi kita mengirim anak-anak kita ke luar negeri. Itu lebih gede lho. Devisa kita terkuras. Itu satu anak untuk s1 itu antara 2 sampai 3 miliar sampai selesai kuliah di luar negeri.

Padahal kalau bisa Harvard bisa bikin di sini kerja sama. Terus yang dari Mellbourne, Adelaide, bisa bikin di Indonesia, kan enggak harus keluar kita kan. Nah itu ketakutan-ketakutan paradigma lalu itu yang harus kita ubah. Jadi, lest compete gitu, tapi buka dong pasar kitta untuk investor. Sekolah film kan bagus juga, New York film school. Banyak kan di luar itu, jadi buka aja di Indonesia. Kerja sama sama local. Mungkin boleh dia boleh 51 persen tapi sisanya mesti Indonesia, gapapa, itu yang kita butuhkan.

Sampai saat ini DNI untuk pendidikan itu belum dibuka?

Sampai saat ini DNI itu belum dibuka. Itu bisa melalui ini, KEK , misalnya di Batam bisa, tapi kan kita pengen bukanya di Jakarta. Ternyata kalau di Filipin KEK itu bisa dibuat di gedung, misalnya khusus gedung itu, Kawasan Ekonomi Khusus, bisa bikin sekolah film di situ.

Tapi bisa jadi KEK di gedung itu, gitu, kemarin kita bicarakan dengan presiden hal seperti itu bisa Panjang itu. Menjadi perhatian kita, jadi sebentar lagi lah. Nah hal-hal seperti itu kan masih panjang ceritanya. 

Tapi kegairahan aja sudah mulai sudah bagus. Terus bahwa ada bapaknya sekarang ekonomi kreatif

Di luar infrastruktur film, kemarin saya melihat national performing art di Beijing, itu besar sekali, saya ngiri sekali pak, mungkin enggak di sini?

Wua, iya jadi gini aja lah. Kalau ada acara akrobat dari China ke sini enggak mungkin yang jelek. Kalau ada wushu, enggak mungkin yang jelek. Berarti apa? mereka selain di didiknya luar biasa ya baik Korea dan China. Dan mereka itu kalau ngirim itu enggak yang sembarangan. Di Indonesia enggak, selalu minta bantuan dari Bekraf. Belum pernah latihan. Nanti latihan kalau sudah dapat pendanaan dari Bekraf untuk dikirim. Ya enggak bisa dong. Kita mau mengirim justru yang terbaik-terbaik.

Nah, saya kan kenal sama anak-anak SNSD, Girls Generation. Ya, beberapa kali interaksi dan sempat rame-rame juga di sini kan ya. Padahal kita buka untuk Count down itu kan ya. Kita undang Girls Generation itu. Nah dia cerita waktu di Seoul, saya ini dari umur 12 tahun di training, dimasukin kawah gitu ya. Selama 7 tahun enggak boleh perform enggak boleh apa, dikirim 1 tahun ke China untuk belajar bahasa mandarin, karena apa. Karena pasar China itu gede. Setahun dia belajar bahasa mandarin. Dia mulai di seleksi di drill gitu selama 7 tahun baru boleh perform. Memang banyak yang tumbang tapi yang berhasil juga banyak gitu kayak SNSD terus Super Junior itu didikan semua sekarang ada exo ada apa, macam-macam. Dan mereka enggak terlalu peduli konten budaya korea nya enggak berapa, tergantung mau selera dunia nya berapa. Itu di dunia musik dan pertunjukan.

Kalau dunia games Korea itu dapat investasi dari pemerintah, dukungan luar biasa. Dan games yang dia bikin itu bukan games yang Korea. Games itu kita main enggak tahu itu buatan Korea. Karena universal banget gitu. Jadi enggak ada keharusan mesti berbudaya Korea. Yang penting praktisi orang Korea bisa bikin kelas dunia, gitu. Nah kan kita belum apa-apa budaya Indonesia. Oke memang itu budaya kita. Bisa kita ambil. Tapi kalau kita lihat pasar dunia, adalah apa yang disukai pasar dunia dong. Apa yang disukai pasar dunia kita jual.

Kalau mau dicocok-cocokin terus, karena itu aja itu yang susah. Jadi harus melihat lebih luas. Kalau pada saat itu ada budaya Indonesia bagus dan bisa dijual ya boleh.

Produk fashion, busana muslim sudah mulai menggeliat, ada kendala industri fashion terutama bahan baku yang masih impor. Gimana cara Bekraf untuk mengatasi itu?

Saya misalnya didatangi oleh Bian, desainer  Bian. Bian itu sudah punya pesanan yang banyak sekali di luar negeri. Dari departemen store yang mengkonsumsi produk dia itu sudah banyak sekali. Tapi sering kendalanya untuk musim dingin, kan dia harus sesuaikan bahannya kan. Kira-kira ada lapisan apa yang belum diproduksi di sini, dia mesti impor itu kadang-kadang enggak bisa karena ada larangan. Lalu, kancing tertentu, atau resleting yang belum standar dari Indonesia. Kan mau enggak mau misalnya pakai waikeke misalnya.

Nah itu kendala-kendala itu kita udah minta pada desainer, minta dibikinin why paper nya apa aja yang mereka butuhkan untuk regulasi dan regulasi itu. Nah ini lagi dijalanin di kita . Udah kita udah tau masalah itu. Ini banyak sekali, PR nya banyak banget.

Dari 16 subsektor itu fokusnya?

Ada 3 unggulan yaitu, Fashion, Kuliner dan Griya,itu diakselerasi lebih besar lagi. Termasuk ke ekspor. Termasuk ke menguasai pasar lokal dan pasar luar negeri.

Yang menjadi prioritas yang pasar nya belum besar adalah Film, Film itu punya multiplier efek yang luar biasa. Bukan hanya ke Film nya tapi juga ke Pariwisata. Laskar pelangi misalnya tiba-tiba setelah sukses di Belitung, jadi turis dan pengunjung, flight lebih banyak, segala, nah itu selalu dimana-mana.

Selandia baru juga waktu lot of dream dibikin di sana, jadi lebih banyak. Nah shooting location shooting location ini kita ajak gitu ke luar negeri, Pemda-pemda kita ajak ke luar negeri untuk menjual mereka punya potensi pemandangan dan kemudahan segala, dijual ke luar negeri.  Jadi, Film, Music, Apps dan Games itu jadi prioritas kita sekarang. Membuka DNI dan lain-lain.

Investor dari Lotte investasinya itu bisa dijelaskan?

Saya belum tahu, tapi kebayang kan dia mesti masuk dengan besar. Supaya ada perimbangan kepemilikan bioskop, itu ke satu dan lebih banyak lagi penonton film Indonesia yang bisa di keeper di daerah. Karena enggak semua bisa masuk mal loh. Untuk nonton-nonton, enggak semua mampu dan ini kan.

Jadi ini nantinya akan dilanjutkan dengan insentif?

Yes, itu dengan BKPM kita lagi bikin, untuk kasih insentif, mungkin 3 tahun pertama enggak usah kena pajak. Ada dan itu kerjasama nya repot enggak mudah, karena saya kerjasama dengan BKPM habis itu kita maju ke Kementerian Keuangan ke Badan Kebijakan Fiskal.

Dan why papernya mesti jelas, janjinya seperti apa ke depannya.

Seperti tax holiday ya?

Iya tax holiday, tax insentif.