Kementerian ATR/BPN: UU Cipta Kerja Tak Bisa Rampas Tanah Rakyat

Pekerja sedang mengerjakan proyek jalan tol Trans Sumatera
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dusep Malik

VIVA – Pemerintah menegaskan, tidak ada satu butir pasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja atau Undang Undang Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah dapat merampas tanah rakyat. Tanah rakyat bersertifikat tetap akan dibuat sebuah kesepakatan terlebih dahulu sebelum dieksekusi untuk proyek umum.

Baca Juga: Update COVID-19 Nasional 8 Oktober 2020: Sembuh 3.769 Orang

Staf Khusus dan Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Teuku Taufiqulhadi, menjelaskan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya yaitu UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dalam UU Cipta Kerja, jika terdapat lahan dan rumah rakyat yang bersertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan, akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu.

"Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apa pun di atas lahan rakyat tersebut," kata Taufiq dalam keterangannya, Kamis 8 Oktober 2020.

Dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktik pengadaan tanah untuk kepentingan umum akan terselenggara dengan adil (fair).

Dalam pengadaan tanah tersebut, harga tanah, bangunan, tanaman tumbuh, penghasilan pemilik tanah, seperti terdapat warung usaha, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen.

Taufiq menegaskan pemerintah tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung sekarang. Ada pun harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar.

"Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," kata dia.

Sebaliknya, UU No 2 Tahun 2012 dalam praktiknya cenderung menimbulkan masalah. Hal itu karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi. Padahal, istilah tersebut seharusnya merujuk pada ganti untung.

Sementara itu, masalah konsinyasi atas penitipan ganti uang rugi di pengadilan telah diatur dalam Pasal 42 KUH Perdata. Konsinyasi dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang mengalami perkara.

"Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga, klaim tumpang tindih tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyasi)," kata Taufiq. (ant)