Menilik Pasal yang Untungkan Pekerja dan Pengusaha di UU Cipta Kerja

Pekerja menyelesaikan pembuatan gitar listrik di pabrik alat musik Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, M. Harun mencatat ada lebih dari 68 pasal tentang ketenagakerjaan yang telah diubah, dihapus, bahkan diselipkan formulasi baru pada beberapa pasal di dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Berdasarkan kajiannya, Harun menyimpulkan pengaturan baru tersebut akan berimplikasi pada pengusaha ataupun pekerja. Di mana, ada pasal yang sama-sama menguntungkan dan ada juga pasal yang lebih menguntungkan salah satu pihak, baik pengusaha atau pekerja.

“Dalam pasal-pasal yang dihapus, diubah dan disisipkan itu tentu ada pihak-pihak yang sama-sama diuntungkan, yakni pihak pengusaha dan pihak pekerja. Tapi di sisi lain, ada pihak yang diuntungkan ataupun ada pihak yang dirugikan, baik pekerja ataupun sebagian kecil pengusaha,” jelas Harun dalam diskusi daring, dikutip Jumat 25 Desember 2020.

Ia mencontohkan pengaturan baru yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, yakni pasal 156 ayat (2) UU Cipta Kerja yang mengatur besaran uang pesangon dan ayat (3) mengatur besaran uang penghargaan masa kerja.

"Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan,” ungkap Dosen Hukum Pidana UIN Walisongo Semarang itu.

Ia menuturkan, yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya adalah perubahan atas pasal 185. Jika dalam UU lama tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayaran pesangon, maka UU Cipta Kerja  menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2) di dalam pasal 185 UU Cipta Kerja tersebut. 

Dengan demikian, bagi pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan kepada pekerja, maka ia terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.

Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus. "Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subjek hukum pidana itu berupa orang perorangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi," jelasnya. 

Untuk itu, kata dia meskipun bunyi pasal-pasal tidak secara eksplisit mengatakan korporasi, namun korporasi tetap bisa dikenakan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pidana.
 
"Khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, walaupun diformulasikan dengan frasa ‘Barang siapa’, tapi itu tetap merujuk pada dua subyek hukum. Yaitu, orang per orangan atau manusia dan badan hukum atau korporasi dan perkumpulan," tegasnya.

Selain itu, dari lima teori atau doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, Harun menyebut dua teori yang sesuai dengan UU Cipta Kerja atau peraturan lain yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Yakni, teori identifikasi atau direct liability doctrine dan doktrin pertanggungjawaban pidana agregasi.

“Teori identifikasi ini titik beratannya pada bagaimana pertanggungjawaban pidana itu baru bisa dibebankan pada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang diidentifikasi sebagai directing mind atau otak langsung yang menjalankan seluruh aktivitas korporasi,” jelasnya.

Sedangkan, lanjut Harun, orang yang sebagai directing mind ini lah yang dimintai pertanggungjawaban tindakan pidana. Selanjutnya, korporasi dapat dikenakan hukuman pidana atas perbuatan orang tersebut.

Adapun doktrin pertanggungjawaban pidana agregasi, lanjutnya, itu menitikberatkan pada kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yang bertindak atas nama dan kepentingan suatu korporasi.