Meski Berdarah-darah, Bisnis Penerbangan Korporasi Peluang Bagi Garuda

Miniatur Pesawat Airbus A330 Garuda Indonesia.
Sumber :
  • instagram @garuda.indonesia

VIVA – Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kini diambang kebangkrutan. Bahkan, berdasarkan data yang disampaikan Kementerian BUMN, Garuda rugi hingga US$100 juta per bulannya sehingga menanggung beban utang hingga Rp70 triliun.

Sejumlah upaya pun telah dilakukan oleh Kementerian BUMN demi menyelamatkan maskapai kebanggan Republik Indonesia tersebut. Meskipun, dalam sejumlah opsi yang disampaikan terdapat langkah berat untuk dilikuidasi.

Meski begitu, Pengamat Penerbangan Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati tetap optimis dengan bisnis Garuda di pasar domestik. Sebab, masih terbuka lebar dalam mengelola pasar premium dan korporasi.

"Konsep Garuda full service, sehingga konsentrasi ke market premium dan korporasi. Potensi pasar korporasi bisa mencapai 15 ribu perusahaan, tapi itu belum digali karena 10 ribu sisanya cenderung naik maskapai lain," kata Arista di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat 4 Juni 2021.

Arista menjelaskan korporasi yang telah menandatangani kontrak kerja sama dengan Garuda Indonesia mencapai 5.000-an perusahaan. Para pejabat setingkat manajer menggunakan maskapai ini untuk melakukan perjalanan kerja dan bisnis.

Menurutnya, pasar korporasi sangat bergantung dengan ketepatan waktu karena mobilitas mereka yang padat menuntut kejelasan jadwal penerbangan.

Selain ketepatan waktu, unsur kejelasan asuransi dan kelengkapan alat keselamatan juga menjadi poin penting yang menjadi perhatian konsumen saat menggunakan maskapai Garuda Indonesia.

"Kalau naik maskapai non Garuda itu kebanyakan telat, mereka enggak mau. Misalnya pemerintah daerah ada rapat dengan pejabat di Jakarta mereka naiknya Garuda, ketepatan waktu yang dicari konsumen kelas atas dan korporasi," kata Arista.

Lebih lanjut dia menyampaikan rencana pemerintah yang ingin menjadikan Garuda Indonesia untuk fokus pada bisnis penerbangan domestik merupakan keputusan tepat karena jumlah penumpang tujuan daerah lebih banyak ketimbang penumpang tujuan luar negeri.

Berdasarkan catatan Menteri BUMN Erick Thohir, konsumen Garuda Indonesia didominasi penumpang tujuan daerah sebanyak 78 persen dengan pendapatan mencapai Rp1.400 triliun.

Sementara jumlah penumpang tujuan luar negeri tercatat hanya sebesar 22 persen dengan perolehan Rp300 triliun.

"Rute internasional yang menguntungkan bagi Garuda hanya Jepang dan ASEAN. Rute Eropa sejak puluhan tahun selalu rugi," kata Arista.

Untuk itu, Ia menyarankan agar Garuda Indonesia menghentikan penerbangan menuju Eropa karena itu membuat kinerja keuangan perseroan menjadi tak sehat. 

"Rute internasional tetap dipertahankan tapi dipilih yang untung, seperti rute Jepang, sebagian rute China, ASEAN, atau Australia satu dua kota cukup, Jeddah dan Madinah," kata Arista.

"Jadi di sebelah barat Madinah enggak usah terbang lagi. Dulu terbang ke London, Abudabi, Dubai, Amsterdam, Munchen, Bayern, Roma kini enggak usah, itu bakar duit bikin Garuda sakit," tambahnya. (Ant)