Harga Minyak Goreng Sudah Murah tapi Stok Terus Habis, Kenapa?

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Tujuh hari setelah pemerintah memberikan subsidi minyak goreng untuk mengendalikan harga yang tinggi pada 19 Januari lalu, masyarakat masih kesulitan memperoleh minyak goreng. Di beberapa minimarket di sejumlah daerah, stok minyak goreng habis lebih cepat.

Selasa (25/1) pagi, stok minyak goreng di salah satu minimarket di Bekasi Barat, Kota Bekasi, masih kosong. Satu hari sebelumnya, stok minyak sempat ada, tapi langsung ludes seketika tidak lama setelah penyuplai memasok barangnya.

"Palingan hari Kamis itu juga enggak tau datang atau enggak," kata salah satu penjaga toko kepada BBC New Indonesia ketika ditanya kapan stok minyak goreng datang lagi.

Cerita kehabisan minyak juga terjadi di Tangerang. Seorang warga, Rizaldy terpaksa pulang dengan tangan kosong setelah mengunjungi dua minimarket yang juga kehabisan stok minyak goreng.

"Tadi kata pekerja di minimarket, sore mereka sempat buka delapan karton, habis dalam tiga menit," ujar Rizaldy, Senin (24/1) malam.

Tristy, warga Pondok Gede, bisa dibilang lebih beruntung. Stok minyak goreng kemasan satu liter di salah satu supermarket sisa lima buah ketika dia datang pada Minggu (23/1) sore.

"Orang-orang heboh. Maksimal kan satu orang beli dua liter. Banyak yang ngajak anaknya. Orang tuanya beli dua liter, anaknya juga dikasih duit, beli dua liter," kata Tristy.

"Jadi bisa beli empat liter satu keluarga."

Memanfaatkan situasi, kebijakan satu harga belum merata

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menilai stok minyak goreng yang cepat habis di ritel-ritel menandakan masyarakat merespons baik subsidi yang diberikan pemerintah, "tapi pemahamannya mungkin kurang komprehensif".

"Walaupun disampaikan bahwa jaminan dari pemerintah ini selama enam bulan ini berjalan terus, mereka sepertinya mengestimasikan ini hanya kebijakan sementara sehingga mereka melakukan rush (buying)," kata Oke.

Dia juga menduga, beberapa pihak memanfaatkan subsidi pemerintah untuk memborong merek minyak goreng premium "dengan harga murah".

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat M Sinaga menduga ada pihak yang sengaja melakukan "manipulasi" karena stok dari produsen normal, sesuai dengan konsumsi per kapita yang mencapai 15 kilogram per kapita per tahun.

Menurut ekonom, kata Sahat, pengeluaran masyarakat untuk minyak goreng hanya dua persen dari pengeluaran harian dan fenomena pemborongan ini patut dipertanyakan.

"Untuk apa berebut membeli minyak goreng? Berarti kan ada tujuan," kata Sahat yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Dugaannya, pihak-pihak tertentu yang memborong minyak goreng murah ingin menjual kembali minyak tersebut sebagai minyak curah karena harga minyak curah di pasar masih mencapai Rp18.000.

Oleh sebab itu, pihaknya sudah meminta pengawasan terhadap praktik tersebut dan menyarankan pelakunya mendapatkan hukuman pidana.

"Ini mengacau perekonomian masyarakat. Kan tujuan pemerintah supaya harga itu bisa terjangkau," ujar Sahat.

Kebijakan minyak goreng satu harga—yaitu Rp14.000— yang dibiayai pemerintah, memang belum merata di semua penjual.

Oke mengatakan untuk tahap awal harga itu baru berlaku di ritel-ritel modern karena pasar tradisional membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyamaratakan harga.

Kementerian Perdagangan memberikan para pedagang waktu satu minggu sampai Rabu (26/1) untuk berkomunikasi dengan para penyuplai mereka mengenai kebijakan minyak goreng satu harga.

"Ini yang belum banyak dipahami oleh mereka. Apakah mereka nanti sudah bisa mendapat pasokan dengan harga yang memang dispesifikan dengan harga Rp14.000, sehingga mereka belinya nanti Rp13.000," kata Oke.

Tak hanya itu, para pedagang tradisional juga kebingungan menghabiskan stok minyak goreng yang dibeli dengan harga tinggi sebelum paket kebijakan pemerintah diterapkan. Oke menjelaskan mereka bisa melakukan retur barang dengan distributor dan penyuplai.

Namun, Oke mengatakan, hal itu sulit dilakukan beberapa pedagang karena "banyak sekali pedagang yang belum tertib pajak".

"Masalah itu yang sedang diselesaikan," kata dia.

Di sebuah warung kelontong di Tomang, Jakarta Barat, harga satu liter minyak goreng kemasan mencapai Rp21.000 pada Senin (24/1). Di Bekasi, ada warung kelontong yang masih menjual satu liter minyak goreng seharga Rp20.000.

Sementara di sebuah supermarket di sekitar Glodok, harganya masih mencapai Rp22.000.

Pada Minggu (23/1), Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) akan membantu pemerintah menyiapkan minyak goreng murah untuk operasi pasar dalam lima bulan ke depan di seluruh Indonesia, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.

"PTPN menyiapkan seperempat kapasitas produksi untuk operasi pasar di berbagai daerah. Operasi pasar perdana kami menggelar di Jawa Barat, salah satunya di Cianjur. Setiap bulannya, akan disediakan ratusan ribu liter minyak goreng murah," kata Erick Thohir saat menggelar operasi pasar di Cianjur.

Mengapa harga minyak goreng mahal?

Kenaikan harga minyak goreng sejak tiga bulan lalu sebenarnya sudah di prediksi beberapa pihak karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah di pasar global terus meningkat dan selalu mencetak harga tertinggi sampai Januari ini. CPO merupakan bahan baku minyak goreng.

Beberapa media mengatakan kenaikan harga CPO— yang belum pernah terjadi sebelumnya— disebabkan oleh situasi pandemi yang mengacaukan jumlah permintaan dan pasokan.

Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) memprediksi harga sawit akan tetap tinggi karena biaya pupuk melonjak dan kekurangan tenaga kerja dalam waktu yang lama, dikutip dari Reuters. Perubahan iklim juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pasokan CPO.

Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan kebijakan minyak goreng satu harga selama enam bulan karena harga CPO diperkirakan masih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.

Pengamat ekonomi menilai kebijakan subsidi yang didanai dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) itu sudah tepat untuk mengendalikan harga minyak goreng yang terlalu tinggi, meski sosialisasinya terlalu singkat sehingga menyebabkan panic buying. Tapi, itu sifatnya hanya solusi "jangka pendek".

Peneliti senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah harus menerapkan kebijakan "special treatment" terhadap pasar dalam negeri.

"Semestinya pemerintah ada kebijakan yang memang memprioritaskan suplai di dalam negeri dulu, baru kemudian ekspor. Kalau sekarang kan treatment-nya sama. Apalagi sekarang harga di internasional lebih tinggi, jadi otomatis para produsen CPO—yang merupakan bahan baku dari minyak goreng—dia akan terdorong untuk menyuplai ke luar negeri dibandingkan ke dalam negeri," kata Faisal.

Dia mengatakan pemerintah harus tegas agar hal ini "tidak terulang" di negara yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia.

Namun, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan tidak setuju dengan wacana memprioritaskan suplai dalam negeri sebelum ekspor, atau yang dikenal dengan Domestic Market Obligation (DMO). Dia mengatakan pasokan di dalam negeri tersedia dan aman.

"CPO di dalam negeri tersedia, harga di dalam negeri dan di luar negeri kan sama saja, berbeda di transportasi saja. Tidak berbeda kalau dari sisi harga. Harga minyak goreng meningkat karena harga CPO meningat," kata Fadhil.

Dia menilai kebijakan subsidi merupakan "mekanisme yang sudah cukup bagus", toh uang subsidi juga didapatkan dari para eksportir kelapa sawit dan harga CPO tak selamanya akan tinggi karena diperkirakan tahun ini akan "mengalami tren penurunan, meski masih tinggi".

Fadhil mengatakan masalah kenaikan harga CPO yang menyebabkan harga minyak goreng naik terlalu kompleks karena disebabkan oleh berbagai faktor dan Indonesia, meski menjadi produsen CPO terbesar di dunia, tidak bisa serta-merta menjadi penentu harga.

Namun, Sahat mengatakan Indonesia bisa saja menjadi penentu harga di industri sawit dunia asalkan bisa meningkatkan produktivitas di dalam negeri.

Beberapa strategi harus dilakukan, seperti pemakaian hasil produksi sawit yang dikonsumsi dalam negeri minimal 60%, mengintensifkan areal pertanian sawit yang ada, memberikan jaminan berusaha bagi petani, meredefinisi sawit yang benar—"jangan mengikuti pola Eropa yang hanya mementingkan lemaknya, padahal nutrisinya tinggi".

Hal lain adalah mengembangkan teknologi mandiri untuk mengolah sawit menjadi minyak yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

"Lahan-lahan petani yang jutaan hektar itu supaya segera ditingkatkan produktivitasnya, diberikan benih yang baik, dibantu dengan pendanaan, diberikan sertifikat tanah, jadi ada jaminan berusaha. Sampai sekarang dipersulit," kata Sahat.

Hal tersebut nantinya berkaitan dengan penambahan pasokan CPO, yang kata Faisal, juga bisa dilakukan untuk mencegah kenaikan harga minyak goreng di tanah air.

"Tidak mesti dengan ekspansi lahan, perkebunan yang sudah ada saja harus diintensifkan karena produktivitas lahan perkebunan CPO masih relatif rendah dibandingkan negara lain, seperti Malaysia," kata Faisal.