Pasien Corona Paru-paru Jadi Putih Diprediksi 'Lewat' ternyata Hidup
- bbc
"Dia mungkin tidak akan bisa selamat malam ini. Kondisinya tiba-tiba memburuk sekali," papar Dr Saswati Sinha kepada istri seorang pasien melalui telepon ketika ia menuju kembali ke rumah sakit melewati jalanan sepi di kota Kolkata, India.
Percakapan tersebut berlangsung pada 11 April malam. India saat itu berada dalam pergolakan lockdown, atau karantina wilayah, untuk mencegah penyebaran virus corona baru.
Penuturan Dr Sinha menyangkut nasib seorang pasien bernama Nitaidas Mukherjee. Dia telah berjuang melawan Covid-19 selama hampir dua pekan di Rumah Sakit AMRI di Kolkata, tempat Dr Sinha bekerja sebagai konsultan perawatan kritis.
Mukherjee berprofesi sebagai pekerja sosial organisasi nirlaba yang membantu tunawisma dan warga miskin, terinfeksi virus corona. Pria berusia 52 tahun itu berjuang untuk hidupnya dalam perawatan kritis sehingga saluran pernapasannya dibantu sebuah ventilator (alat bantu napas).
Sebelumnya, ia tiba di rumah sakit pada 30 Maret malam. Saat itu ia mengalami gejala demam tinggi kesulitan bernapas.
- `Kami jadi pahlawan tapi mereka sudah melupakan kami`, curhat tenaga medis Italia usai pandemi mereda:
- Kisah lima perawat di empat benua yang memerangi Covid-19: `Saya bangga dengan pekerjaan saya`
- Penyebaran virus corona di New York seperti ‘kereta peluru’
Hasil pemeriksaan Sinar-X tampak "sangat buruk". Paru-parunya terlihat berwarna putih akibat dibanjiri sel-sel yang meradang. Cairan terlihat putih saat dirontgen. Kantung udara dipenuhi cairan yang menghalangi aliran oksigen ke organ-organ tubuh.
Malam itu, dokter menggunakan masker aliran tinggi untuk meningkatkan kadar oksigennya, memberinya obat diabetes, dan mengambil usap pada bagian tenggorokan untuk tes Covid-19.
Malam berikutnya, Mukherjee dilaporkan positif mengidap penyakit itu.
Ia semakin sulit bernapas dan bahkan, melepaskan alat bantu oksigen untuk minum seteguk air pun menjadi tantangan.
Tingkat saturasi oksigen yang normal bagi kebanyakan orang adalah antara 94?n 100%, tetapi tarafnya telah turun menjadi 83%. Frekeunsi bernapas sebanyak 10 hingga 20 napas per menit adalah normal, tetapi Mukherjee bernapas lebih dari 50 kali per menit.
Saat itulah dia dibius dan dipasangkan ventilator. Ia tidak bangun lagi sampai tiga minggu kemudian. Bahkan, butuh waktu yang lebih lama lagi sebelum Mukherjee bebas dari alat bantu napas.
Tidak banyak pasien Covid-19 yang sakit kritis beruntung seperti Mukherjee.
Sekitar seperempat dari seluruh pasien yang membutuhkan ventilator di New York meninggal dalam beberapa minggu pertama perawatan, menurut sebuah studi. Sebuah penelitian di Inggris menemukan dua pertiga pasien Covid-19 yang memakai ventilator akhirnya meninggal.
Ada juga laporan ventilator yang tidak bekerja dengan baik pada pasien Covid-19.
"Dalam beberapa kasus mereka telah menemukan hasil yang mengerikan dengan ventilasi mekanik. Mungkin ada kerusakan paru-paru jika ventilasi tidak optimal - terutama ketika orang berpikir bahwa kegagalan pernapasan selalu dikaitkan dengan ARDS atau sindrom gangguan pernapasan akut," Jean-Louis Vincent, profesor obat perawatan intensif di Rumah Sakit Erasme Univ Belgia, mengatakan kepada BBC.
Selama Mukherjee menggunakan ventilator, ia juga menggunakan pelemas otot - obat yang melumpuhkan otot sehingga pasien tidak mencoba bernapas sendiri.
Pada suatu malam di bulan April, keadaannya semakin memburuk.
Demamnya melonjak, detak jantung menurun, dan tekanan darah turun drastis. Semua ini menunjukkan gejala infeksi baru.
Sambil dikejar waktu, dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, Dr Sinha membacakan instruksi di telepon kepada timnya dalam perawatan kritis.
Ketika dia tiba, pertempuran untuk menyelamatkan Mukherjee sudah berlangsung.
Dr Sinha dan timnya memberikan antibiotik yang ampuh sebagai pilihan akhir untuk membunuh infeksi langsung ke pembuluh darahnya, bersama dengan pelemas otot tambahan dan obat-obatan untuk menstabilkan tekanan darah.
Butuh tiga jam bagi badai untuk berlalu.
"Ini adalah pengalaman yang paling menguras tenaga saya," kata Dr Sinha, yang telah menghabiskan 16 dari 21 tahun sebagai dokter sebagai konsultan perawatan intensif, kepada BBC.
"Kami harus bergerak cepat dan mengerjakannya. Itu membutuhkan presisi. Kami berkeringat deras mengenakan alat pelindung kami [gaun ritsleting, sarung tangan ganda, pelindung kaki, kacamata, pelindung wajah] dan penglihatan kami kabur. Kami berempat bekerja tanpa henti selama tiga jam malam itu, "katanya.
"Kami melihat monitor setiap menit dan memeriksa apakah dia mengalami kemajuan. Saya mengatakan pada diri sendiri, kami ingin orang ini bertahan. Dia tidak sakit parah. Dia adalah satu-satunya pasien Covid-19 dalam perawatan intensif saat itu."
Ketika Mukherjee menjadi stabil, saat itu pukul 02:00 waktu setempat. Dr Sinha memeriksa teleponnya.
Ada 15 panggilan tak terjawab dari istri Mukherjee dan saudara iparnya, seorang peneliti penyakit pernapasan yang tinggal di New Jersey.
"Itu adalah malam paling mengerikan dalam hidup saya. Saya pikir saya telah kehilangan suami saya," Aparajita Mukherjee, seorang manajer sumber daya manusia, mengatakan kepada BBC.
Dia saat itu berada di rumah, ditengah lockdown dan dikarantina, bersama dengan ibu mertuanya yang bersusia 80 dan terbaring di tempat tidur, beserta seorang bibi yang difabel, tidak ada yang dinyatakan positif Covid-19.
Potensi terburuk telah dihindari, tetapi kondisi Mukherjee masih tetap serius dan tidak stabil.
Mukherjee adalah seseorang dengan bobot badan yang cukup berat dan pasien yang lebih berat lebih sulit untuk dibalikkan tubuhnya, demi meredakan napas mereka.
Dokter memberinya hydroxychloroquine, obat yang biasanya digunakan untuk mengobati malaria, bersama dengan vitamin, antibiotik dan obat penenang. Demamnya tetap tinggi.
Alarm terus berbunyi di unit perawatan intensif setiap malam di tempat tidur Mukherjee. Terkadang saturasi oksigen akan turun. Sinar-X pada mesin portabel menunjukkan bagian putih di paru-paru tetap ada.
"Ada sedikit kemajuan tetapi itu pun lambat," kata Dr Sinha.
Akhirnya, sebulan setelah dirawat, Mukherjee menunjukkan tanda-tanda mengalahkan infeksi.
Dia terbangun dari koma yang diinduksi secara medis. Saat itu Minggu. Ketika istri dan saudara ipar perempuannya melakukan panggilan video kepadanya, dia hanya menatap layar ponsel yang bercahaya.
"Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Semuanya tidak jelas. Saya melihat seorang wanita dengan celemek biru berdiri di depan saya, yang kemudian saya ketahui adalah dokter saya," kata Mukherjee kepada BBC.
"Kau tahu, aku tertidur nyenyak selama lebih dari tiga minggu. Aku tidak tahu mengapa aku berbaring di rumah sakit. Itu adalah ingatan yang hilang.
"Tetapi saya ingat sesuatu. Saya pikir saya berhalusinasi ketika saya dalam keadaan koma. Saya dikurung di suatu tempat, diikat tali, dan orang-orang mengatakan kepada saya bahwa saya tidak sehat, dan mereka mengambil uang dari keluarga saya, dan saya tidak dibebaskan. Dan saya mati-matian berusaha menghubungi orang untuk membantu saya. "
Pada akhir April, dokter melepasnya dari ventilator selama setengah jam dan Mukherjee bernapas sendiri untuk pertama kalinya dalam hampir sebulan. Proses itu tidak mudah. Dokter mengatakan Mukherjee sering mengalami "kepanikan" dan menekan bel darurat di samping tempat tidur karena berpikir dia tidak akan bisa bernapas tanpa mesin itu.
Pada 3 Mei, mereka mematikan ventilator, dan lima hari kemudian, mengirimnya pulang.
"Prosesnya itu panjang sekali. Dia menderita ARDS parah. Dia demam tinggi selama empat minggu. Dia tidak bisa bernapas sendiri. Virus itu menimbulkan malapetaka," kata Dr Sinha.
Sekarang di rumah, Mukherjee memulai kehidupan baru.
Dia mulai berjalan lagi tanpa bantuan. Bahkan beberapa ingatannya kembali.
Dia telah batuk selama beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit, dan telah mengunjungi dokter yang mendiagnosisnya sebagai infeksi tenggorokan. Waktu itu, dia masih bekerja, mengenakan masker, membantu kaum miskin dan melarat dari jalanan.
Dia telah mengunjungi rumah sakit, kantor polisi dan rumah perlindungan di tempat kerja. Dia beberapa kali tidak minum obat diabetesnya, yang menjelaskan mengapa kadar glukosa darahnya yang tinggi pada saat masuk. Dia minum antibiotik dan menghirup nebuliser, seperti yang dia lakukan ketika dia menderita batuk setiap tahun ketika musim berubah.
"Tapi aku merasakan ada sesuatu yang salah ketika dia mengeluh dehidrasi dan mulai tidur berjam-jam. Dia sangat lelah. Dan kemudian dia mulai mengalami kesulitan bernapas dan kita menempatkannya di kursi roda dan membawanya ke rumah sakit," kata istri Mukherjee.
Pekan lalu, Dr Sinha mengambil cuti sehari setelah 82 hari beraksi di perawatan intensif, yang kini penuh dengan pasien Covid-19.
Lebih dari 100 foto ponsel yang diambil oleh stafnya mengingatkan dia dan timnya tentang perjuangan mereka untuk menyelamatkan Mukherjee.
Ada foto para perawat yang letih saat masih mengenakan alat pelindung di stasiun perawatan; berjaga konstan di dekat tempat tidur Mukherjee; kegembiraan dan kelegaan pada hari ketika pasien, sambil tersenyum lemah, terlepas dari ventilator dan foto dia meninggalkan rumah sakit.
"Kami, sebagai sebuah tim, pada akhirnya semua melakukan pekerjaan kami," katanya.
Mukherjee hanya bersyukur dia bernapas sendiri lagi.
"Aku tahu aku melawan penyakit ini, tetapi para dokter dan perawat yang melawan penyakit menyelamatkan hidupku. Korban perlu menceritakan kisah mereka. Virus yang ganas dapat dikalahkan."