Peraih Nobel Sebut Kunci Sukses Tangani COVID-19 Tes Sebanyak Mungkin

Beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa tes massal akan bisa menjadi jawaban bagi Amerika Serikat untuk keluar dari pandemi COVID-19.
Sumber :
  • abc

Setiap warga Amerika Serikat harus menjalani tes COVID-19 sekali dalam dua minggu sebagai syarat menuju kehidupan yang kembali normal.

Demikian pendapat seorang pakar ekonomi Paul Romer yang pernah memenangkan hadiah Nobel di bidang ekonomi.

Bila hal tersebut dilakukan maka setiap hari akan ada 20 sampai 30 juta tes yang dilakukan terhadap warga di Amerika Serikat, jauh di atas jumlah tes harian yang sekarang hanya dilakukan kepada 400 penduduk.

External Link: @TheLeadCNN “Unless we’re confident that we’re not going to get sick, we’re all just going to hold back and wait,” Nobel Prize winning economist Paul Romer discusses his plan for reopening the US economy.

Menurut Paul Romer, bila hal ini dilakukan, Amerika Serikat bisa kembali ke kehidupan normal sampai vaksin corona ditemukan.

Jika usul Professor Romer diterima, maka biaya yang akan dihabiskan untuk pengetesan setiap minggunya adalah sekitar Rp20 triliun.

Namun Romer mengatakan biaya besar itu akan sepadan dengan manfaat yang dihasilkan.

"Kita harus memilih antara memerangi virus ini dengan seluruh sumber daya yang kita punyai, atau menyerah karena jawaban yang ada terlalu sulit untuk dilakukan," ujar Romer

Bagaimana mengetes 20 juta orang sehari?

Professor Romer bukanlah satu-satunya pakar ekonomi yang mengatakan jika Amerika Serikat harus melakukan tes massal untuk bisa mengatasi pandemi COVID-19.


Pakar mengatakan biaya untuk melakukan tes massal akan lebih murah dibandingkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena lockdown berkepanjangan.

Reuters: Kevin Mohatt

Tim pakar yang dipimpin oleh Harvard University mengatakan pandemi virus corona merupakan ancaman berat bagi demokrasi Amerika Serikat, yang bisa disamakan dengan "Great Depression" di tahun 1920-an.

Mereka mengatakan melakukan tes terhadap jutaan orang setiap hari "akan memerlukan koordinasi yang cepat dalam aktivitas bisnis yang belum pernah dilakukan sejak Perang Dunia kedua".

External Link: A team of experts from Harvard University and Johns Hopkins explains their argument for mass testing.

Puluhan juta alat tes harus dibuat dan didistribusikan dan puluhan ribu pekerja kesehatan harus dilatih untuk bisa melakukan tes.

Setidaknya 100 ribu orang diperlukan untuk menjadi tim pencari pasien yang positif bila ada penyebaran wabah di satu wilayah.

Biaya untuk melakukan tes akan sangat besar dan tidak ada negara yang sebelumnya pernah melakukan hal ini.

Di China, pihak berwenang mengatakan di bulan Mei lalu mereka melakukan tes terhadap 1,47 juta warga di Wuhan, kota asal virus corona.


Pejabat China mengatakan mereka melakukan tes terhadap hampir 1,5 juta warga di Wuhan dalam satu hari.

AP: Chinatopix

Namun hal tersebut dilakukan lewat sistem tes bernama "pool testing", di mana sampel dari 10 orang diproses secara bersamaan.

Bila ada yang positif dari kelompok tersebut, maka kemudian tes terhadap para individu dalam kelompok tersebut akan dilakukan.

Apakah pengetesan mencegah penularan?

Beberapa pakar kesehatan masih bersikeras mengatakan tes massal terhadap warga merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Mereka menanggap prioritas utama saat ini masih "social distancing".

"Kekhawatiran saya adalah kita akan memberikan harapan palsu jika dengan pengetasan akan mencegah penularan. Bukan itu. Perilaku kita penyebab penyebaran," kata Jonathan Quick, profesor kesehatan publik dalam acara Podcast World Affairs.

Namun menurut para pakar ekonomi, melakukan lockdown sampai vaksin ditemukan hanya akan menghancurkan perekonomian yang sudah ada.

"Biaya untuk testing dan pelacakan akan jauh lebih rendah dibandingkan biaya ekonomi karantina kolektif yang terus berlanjut, sekitar 140 sampai 500 miliar dolar setiap bulan," kata para peneliti dari Harvard.

Professor Romer mengatakan tes massal adalah satu-satunya cara agar Amerika Serikat bisa kembali ke kehidupan normal.

"Perbedaannya di sini adalah masalah logistik. Apakah kita bisa melakukan tes sebanyak itu? Jawaban saya adalah ya, kita harus melakukannya untuk mengetahuinya," katanya.

120 ribu warga AS meninggal


Dalam kampanye di Tulsa Presiden Trump mengatakan bahwa sudah memerintahkan agar pengetesan dikurangi, namun hal tersebut dikatakan oleh para pembantunya sebagai gurauan.

Reuters: Tom Brenner

Setelah terjadi penurunan angka penularan COVID-19 selama beberapa minggu belakangan, angka infeksi di Amerika Serikat meningkat lagi.

Menurut angka dari Johns Hopkins University, pada tanggal 24 Juni angka kasus baru di AS adalah 34.700 orang, angka harian tertingi sejak bulan April.

Gedung Putih juga sedang mempersiapkan kemungkinan adanya gelombang kedua penularan di sekitar bulan Oktober saat cuaca mulai dingin.

Namun Presiden Donald Trump tidak mempertimbangkan pandangan para pakar mengenai tes massal.

Bahkan, sebelumnya Presiden Trump mengatakan bahwa virus akan "menghilang" meskipun tidak ada vaksin yang berhasil dibuat.

Presiden Trump dalam pidato kampanyenya di depan pendukungnya di Tulsa mengatakan bahwa dia sudah memberitahu pejabat yang dipimpinnya untuk "mengurangi pengetesan", tapi kemudian para pembantunya mengatakan bahwa Trump hanya bergurau.

External Link: @realDonaldTrump Cases are going up in the U.S. because we are testing far more than any other country, and ever expanding. With smaller testing we would show fewer cases!

Dr Fauci kepada Kongres mengatakan, dia dan timnya tidak pernah mendapatkan instruksi dari Trump untuk mengurangi jumlah tes guna menutupi jumlah angka penularan di AS.

"Kami melakukan lebih banyak tes, bukan lebih sedikit," katanya.

Sejauh ini tercatat 120 ribu orang meninggal dunia di Amerika Serikat karena COVID-19

Ameriksa Serikat dan sudah melakukan tes terhadap lebih dari 30 juta orang sejak pandemi dimulai, meski beberapa pakar mengatakan jumlah itu masih belum cukup.

Menurut para pakar dari Johns Hopkins University, jumlah kasus positif yang ada menunjukkan bahwa Amerika Serikat sedang menghadapi "wabah terbesar yang terjadi di dunia".

Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini