Derita Para Penyandang Tunanetra gara-gara COVID-19

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
Stefano Sbrulli

Para penyandang tunanetra dalam rangkaian foto ini biasanya adalah orang-orang mandiri yang bekerja dan bepergian tanpa rasa takut. Namun pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial telah mengubah segalanya.

Berikut penuturan mereka, seperti yang dirangkum dalam foto-foto karya fotografer asal Italia, Stefano Sbrulli, yang dilakukan antara Maret-Juni.

Italia merupakan salah satu negara yang menerapkan aturan pembatasan wilayah paling ketat dan paling lama di Eropa.

Lucilla, 55 tahun, asal Roma

Lucilla adalah seorang guru sejarah seni dan pematung. Dia kehilangan penglihatannya karena penyakit degeneratif.

"Saya kerap menghitung langkah untuk mencapai ke suatu tempat, (jadi) jika Anda mengubah sesuatu di jalan dilewati, saya bisa tersesat.

"Saya belum pergi berbelanja lagi. Biasanya saya naik kereta Metro C, namun di San Giovanni mereka mengubah segalanya, dan ini membuat jalan keluar saya menjadi terbatas dan lebih sulit."

Si kembar Lorenzo dan Francesco, 13 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Lorenzo suka sekali bermain drum dan Francesco suka bernyanyi, namun selama karantina kursus-kursus yang mereka ikuti turut terhenti.

Mereka adalah saudara kembar, keduanya mengalami kebutaan serta kerap bermain dan menyanyi di teras rumah mereka sampai matahari terbenam.

Kegiatan mengajar di sekolah mereka juga terhenti dan guru yang biasa mendampingi tidak dapat mengajar mereka di rumah.

Lantas sebagai gantinya, ibu dan nenek mereka yang berupaya keras mengajar Lorenzo dan Franscesco.

Mustahil bagi mereka untuk menjalani kehidupan sendirian, dan social distancing atau menjaga jarak. Ini berisiko membuat mereka terasing.

"Mereka harus menjadi yang pertama dalam masyarakat, bukan yang terakhir," ujar neneknya, Anna.

Simona, 35 tahun, asal Roma.

Simona selalu menjalani kehidupan mandiri dengan mudah, berjalan-jalan, pergi bekerja dan bertemu teman-teman.

Namun, sudah beberapa bulan ini dia belum pergi berjalan-jalan.

"Sejujurnya saya diliputi rasa cemas jika harus keluar rumah," katanya.

"Saya tinggal di Lucio Sestio dan saya sering menggunakan kereta bawah tanah, tetapi sekarang saya tahu bahwa pintu keluar dan pintu masuk telah berubah untuk memudahkan orang menjaga jarak, (jadi) saya takut tersesat.

"Di samping itu tidak ada jalur taktil (perangkat sentuhan) yang dapat membantu saya untuk menjaga orientasi".

Ettore, 50 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Ettore adalah seorang penyandang tunanetra dan sangat mandiri; dia bekerja dan sering bepergian, kondisi disabilitas tidak menghalanginya bekerja di sebuah pelayanan masyarakat.

Dia menyesuaikan diri dengan baik selama penerapan karantina.

Kini dia harus berjuang untuk bisa pergi berbelanja - dia butuh waktu untuk memikirkan apa saja yang akan dibeli, membaca tanggal kedaluwarsa berikut harga barang.

Dia khawatir bila ada orang-orang yang kurang toleran dan Ettore merasa ada tekanan untuk melakukan segala sesuatunya dengan cepat.

Masker membuat kacamatanya berembun dan memakai sarung tangan menjadi suatu kerumitan tersendiri baginya.

Marco, 31 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Setiap hari Marco biasanya naik bus berangkat ke Bank of Italy, tempat dia bekerja.

Di rumahnya yang tidak terlalu luas dia tinggal bersama orang tua dan dua orang saudara lelakinya.

Kini, aturan karantina membuat segala sesuatunya menjadi pelik, karena bekerja dari rumah memaksanya berada di suatu ruangan dalam waktu yang lama.

Yang penting baginya adalah bisa kembali ke kantor.

Matteo, 32 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Matteo mengalami sebagian masalah penglihatan dan dia bekerja di salah satu kantor layanan masyarakat.

Dia juga adalah seorang olahragawan dan dipilih untuk mewakili Italia dalam kejuaraan selancar adaptif dalam ajang California World Championships, tetapi pandemi menghalangi dia untuk berpartisipasi.

Dia menjalani kehidupan yang mandiri, dengan bantuan anjing yang menjadi penuntunnya.

Selama masa karantina Matteo tidak bisa membawa anjingnya ke taman untuk berolahraga.

"Anjing yang menuntun saya harus tinggal di rumah, karena jika dia sakit dia tidak bisa membantu saya," katanya.

Camilla, 35 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Camilla bekerja di sebuah museum di kota Roma.

Dia adalah penyandang tunanetra, dan kendati sangat mandiri, dia sangat takut untuk keluar rumah saat ini.

Banyak sepeda listrik dan skuter di jalanan - dia takut ditabrak.

"Kita harus memikirkan kembali mobilitas metropolitan, dengan mempertimbangkan tunanetra, terutama pada periode ini, "katanya.

Salah satu kendala terbesar yang dia temui selama karantina, dan masih terus berlanjut hingga kini, adalah kurangnya pelayanan publik.

"Layanan publik dihentikan dan kami masih tidak tahu kapan akan buka lagi".

Angelina, 90 tahun, asal Santa Marinella

Stefano Sbrulli

Angelina tinggal di panti wreda.

Kunjungan dari kerabatnya membuatnya bahagia, namun sejak karantina diberlakukan tak ada lagi kerabat yang mengunjunginya.

Kini jumlah orang yang ingin menengok dibatasi dan tidak boleh berlama-lama.

Dia senang ketika fotografer Sbrulli mengajaknya keluar untuk membeli es krim.

Namun nada suaranya terdengar sedih ketika diberitahu dia tidak boleh keluar karena alasan keamanan.

Arianna, 31 tahun, dan Stefano, 45 tahun asal Salerno

Arianna dan suaminya Stefano adalah penyandang tunanetra. Mereka selalu berpegangan tangan dan Julie, anjing pemandu mereka, mengibaskan ekornya di sisi mereka.

Mereka tinggal di Perugia, namun saat situasinya memungkinkan untuk bepergian, mereka pindah untuk bersama ibu Arianna di Salerno.

"Mungkin sekarang, karena takut tertular, orang-orang akan lebih memperhatikan kita; mereka akan berhati-hati agar tidak tersandung tongkat dan menghindari untuk membelai Julie saat dia menemani saya untuk bekerja," kata Arianna.

"Mungkin ini kelihatannya tidak masuk akal, tetapi jika anjing itu terganggu, saya benar-benar kehilangan orientasi."

Antony, 31 tahun, asal Roma

Stefano Sbrulli

Antony sudah sembilan tahun mengalami kebutaan. Dia rindu menghabiskan waktu dengan pacarnya, yang tinggal kota lain.

Dia sangat terampil menggunakan tongkatnya dan masih bisa menjaga jarak aman dari orang-orang.

"Namun jika saya butuh bantuan, atau saya harus bersandar pada seorang teman, segalanya menjadi rumit," jelasnya.

Dia berharap orang-orang yang dia temui dalam kegiatan sehari-hari bisa paham.

Foto-foto oleh Stefano Sbrulli