Hoax soal COVID-19 Melanda Kota di Australia, Kerugian Besar Terjadi

Pasangan pengantin baru asal Melbourne, Erica dan Karl Engeler, gagal pergi berbulan madu di daerah Robe, Australia Selatan. (Supplied: Erica Engeler)
Sumber :
  • abc

Warga asal Melbourne, Erica Engeler tadinya akan berbulan madu ke Robe, salah satu tujuan wisata populer di Australia Selatan, tapi batal akibat informasi keliru tentang wabah COVID.

Erica bersama suaminya Karl kembali ke Melbourne, setelah seorang petugas di perbatasan Australia Selatan mengabarkan adanya wabah COVID di Robe.

Pengantin baru ini mengaku informasi tersebut "cukup mengejutkan".

Setelah mendapatkan kabar tersebut, Erica mencoba untuk mengkonfirmasi informasi.

"Saya masuk ke situs situs Pemerintah untuk melakukan verifikasi tempat-tempat yang terpapar, seberapa dekat dengan dekat dengan tempat kami tinggal, dan menimbang segala risikonya," ujar Erica yang saat itu juga melihat banyak versi.

"Tidak ada kejelasan. Ada website yang menyebut dua tempat yang terpapar, yang lain menyebut ada enam, atau delapan," tambah Erica.

Dia mengaku batalnya bulan madu mereka di Robe merupakan keputusan yang sangat sulit.

"Bukan saja bagi kami dan anak-anak. Tapi juga untuk penyedia akomodasi yang tadinya akan kami gunakan selama 10 hari," paparnya.

"Mereka bukan jaringan hotel besar. Tapi hanya rumah yang telah menjadi sumber mata pencaharian pemiliknya," tambah Erica.

Pariwisata terdampak disinformasi 

Operator pariwisata menyalahkan informasi keliru, yang mengatakan kawasan Robe terpapar wabah, sebagai penyebab banyaknya pembatalan pesanan untuk berbulan madu.

Dari lima lokasi di pantai bagian tenggara Australia Selatan yang terpapar minggu lalu, ada dua lokasi yang dinyatakan sebagai kontak erat.

Tapi hingga sekarang belum ada kasus COVID yang diketahui berasal dari lokasi tersebut.

Meski tidak ada kasus, para penyedia akomodasi mengaku terdampak parah akibat pembatalan dalam beberapa hari terakhir.

Ketua Asosiasi Pariwisata di kawasan Robe, Lisa Hall, mengatakan para penyedia akomodasi telah menderita kerugian ribuan dolar.

"Beberapa pelanggan yang tiba di perbatasan diberitahu jika Robe adalah kawasan hotspot. Mereka ditolak untuk masuk," kata Lisa.

"Kota Robe bukan hotspot. Kami sendiri tidak tahu dari mana sumber informasinya," tambahnya

Menurut Lisa, turis musim panas ibarat "roti dan mentega" bagi industri pariwisata di Kota Robe.

"Bila kami tidak mendapatkan perdagangan selama Januari dan Februari, juga Desember ini, sama saja kami tidak akan bertahan setahun mendatang," jelasnya.

Kerugian senilai ribuan dolar

Operator pariwisata lainnya, Jamie Aitken , yang mengelola penginapan di rumahnya, memperkirakan kerugian akibat pembatalan selama akhir pekan lalu mencapai AU$100 ribu.

"Pada akhir pekan biasanya kota Robe sangat ramai, tapi akhir pekan lalu seperti kota mati," kata Jamie.

Dia menyalahkan peredaran informasi yang salah di media sosial dan pernyataan yang keliru dari pihak berwenang.

"Berbagai pernyataan yang dibuat di media dan media sosial menimbulkan banyak masalah bagi kami," ujarnya.

"Masyarakat diimbau untuk menghindari kota Rober karena dianggap sebagai hotspot," tambahnya.

Jamie menyebut masalah seperti ini akan terus berlanjut, kecuali jika informasi yang keliru segera diluruskan.

ABC telah menghubungi Departemen Kesehatan Australia Selatan, namun belum mendapatkan tanggapan.

Sementara juru bicara Kepolisian Australia Selatan mengatakan "tidak ada bukti petugas polisi membuat komentar tentang menghindari kota Robe karena menyebut daerah itu sebagai hotspot."

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News