China Terapkan Lagi Hukuman dengan Mempermalukan Orang di Depan Umum

Keempat tersangka terbaru adalah penyelundup manusia yang diarak di jalan-jalan dalam beberapa bulan terakhir. (Zhengguan News )
Sumber :
  • abc

Polisi anti huru-hara bersenjata di Cina selatan mengarak empat orang ke jalanan. Mereka diduga melanggar aturan di tengah pandemi COVID-19.

Tapi hukuman ini mendapat kritikan, karena Pemerintah China yang kembali menggunakan hukuman kontroversial, yakni mempermalukan warga di depan publik.

Memberikan hukuman dengan cara mempermalukan orang di depan publik telah dilarang di China, tapi dalam beberapa bulan terakhir kembali diberlakukan saat Pemerintah daerah berupaya menegakkan kebijakan nasional yang ingin kasus COVID-19 ada di angka nol.

Guangxi News, media yang dikelola pemerintah melaporkan, empat tersangka mengenakan masker dalam setelan hazmat sambil membawa papan yang menampilkan foto dan nama mereka.

Keempat orang itu diarak di depan kerumunan warga di kota Jingxi, wilayah Guangxi, dekat perbatasan China dan Vietnam, pekan ini.

Dalam foto terlihat setiap tersangka dibawa oleh dua petugas polisi dengan dikelilingi polisi lainnya yang memakai perlengkapan anti huru-hara, beberapa di antaranya bahkan memegang senjata.

Keempatnya dituduh mengangkut migran ilegal saat sebagian besar perbatasan China ditutup karena pandemi, demikian laporan Guangxi News.

'Ini seperti mimpi'

Di tahun 1998 pihak berwenang di China diperintahkan untuk menghentikan tradisi lama yang menghukum pelaku kejahatan atau pelanggar aturan dengan cara mempermalukan mereka di depan umum.

Namun, hukuman ini pernah diberlakukan kembali saat Pemerintah China menindak tegas kegiatan prostitusi.

Pada tahun 2010, larangan kembali diberlakukan di tengah protes soal penghinaan publik terhadap pekerja seks.

Bulan Agustus 2021 lalu, mempermalukan di depan publik menjadi salah satu tindakan disipliner yang diumumkan oleh Pemerintah daerah, sebagai bentuk hukuman bagi mereka yang melanggar aturan kesehatan.

Guangxi News mengatakan arak-arakan tersebut memberikan "peringatan nyata" kepada warga, serta untuk "mencegah kejahatan terkait perbatasan".

Sejumlah outlet media maupun pengguna media sosial mengkritik kebijakan ini.

Meskipun Jingxi "di bawah tekanan luar biasa" untuk mencegah penularan COVID-19 dari luar, "tindakan itu sangat melanggar semangat supremasi hukum dan tidak dapat dibiarkan terjadi lagi", kata Beijing News yang berafiliasi dengan Partai Komunis China.

"[Melihat ini] rasanya seperti membuka kenangan lama dan membuat orang-orang terkejut," kata Zhang Xianwei, pengacara dari provinsi Henan, dalam sebuah video yang diunggah ke media sosial.

Tersangka lain yang dituduh melakukan penyelundupan dan perdagangan manusia juga telah diarak dalam beberapa bulan terakhir, menurut laporan di situs web pemerintah Jingxi.

Sebuah video bulan November menunjukkan kerumunan orang menonton dua tahanan, sementara seorang pejabat setempat membacakan kejahatan mereka dengan pengeras suara.

Mereka kemudian terlihat diarak di jalan-jalan dengan pakaian hazmat sambil diapit oleh polisi dengan perlengkapan anti huru-hara.

Pada bulan Agustus, puluhan polisi bersenjata juga terlihat menggiring pelanggar hukum melalui jalan-jalan ke taman bermain anak-anak.

"Ini seperti mimpi," unggah seorang warga di Weibo.

Yang lain menyebut tindakan itu sebagai "kemunduran dalam peradaban sosial".

Namun, beberapa pihak menyambut hukuman mempermalukan pelanggar aturan kesehatan, karena sejumlah daerah di China sedang menghadapi lonjakan penularan COVID-19, yang menjadi tertinggi sejak awal pandemi.

"Saya tidak mengerti mengapa begitu banyak komentar simpati terhadap [dugaan] penjahat ini, karena membantu penyelundupan adalah membantu virus corona masuk ke China," tulis seorang pengguna Weibo.

"Jika Anda dan keluarga Anda tertular COVID karena para penjahat ini, apakah Anda masih merasa kasihan pada mereka dan percaya hukuman ini terlalu berlebihan?"

Menurut kantor kejaksaan setempat, seseorang yang diduga diselundupkan ke Jingxi dinyatakan positif COVID-19 pada Oktober, yang menyebabkan lebih dari 50.000 warga setempat diisolasi.

Sejarah panjang mempermalukan penjahat

Aksi mempermalukan pelaku kejahatan dan pelanggar hukum di depan umum sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu di China.

Dalam beberapa kasus, tahanan diborgol dan dibawa ke "parade yang mempermalukan" sebelum dieksekusi.

Praktik serupa tetap berlanjut di era China modern.

Selama Revolusi Kebudayaan, hukuman mempermalukan di depan umum diperluas untuk diberlakukan kepada para pencuri dan calo, seringkali sebelum tersangka dinyatakan bersalah.

Pada 1980-an, mempermalukan di depan umum menjadi bagian dari proses eksekusi, saat China mengklaim hukuman tersebut dilakukan untuk menindak pelanggaran pidana.

Narapidana yang dihukum diikat dan diarak di truk polisi dengan data pribadi dan jenis kejahatan yang mereka lakukan ditulis di papan kayu yang digantung di leher mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang China bahkan membawa hukuman mempermalukan publik ini ke layar lebar.

Sebuah "tayangan rasa malu" diputar di bioskop sebelum film dimulai, dengan menayangkan foto dan nama orang yang berutang uang kepada negara.

Salah satu contohnya adalah saat pemutaran perdana Marvel's Avengers: Endgame di provinsi Zhejiang pada tahun 2019, yang didahului dengan foto-foto orang-orang yang berutang uang kepada negara sebelum film diputar.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News