Kisah Jamal Lari dari Taliban, Malah Jadi Tahanan Imigrasi Australia

Jamal membahas dampak mental delapan tahun yang terakhir. (Supplied)
Sumber :
  • abc

Jamal* melarikan diri dari Taliban ke Australia demi keselamatan dirinya.

Namun, penahanan yang dialaminya di Australia, yang tidak tahu sampai kapan, telah meninggalkan luka yang berbekas hingga sekarang.

Peringatan: Cerita ini berisi rincian dan gambar yang bisa membuat Anda merasa tidak nyaman.

Sebagai seorang pengungsi, Jamal menceritakan penderitaan yang dialaminya termasuk pernah membakar dirinya sendiri ketika ditahan di pulau Nauru.

"Saya mengalami luka [bakar] … ini adalah bekas luka yang dalam dan akan membekas seumur hidup saya," katanya kepada ABC.

Pada pertengahan tahun 2013, dibawah pemerintahan PM Paul Rudd saat itu, disebutkan pencari suaka yang tiba datang ke Australia dengan perahu tidak akan diizinkan tinggal, bahkan jika status mereka pengungsi.

Kebijakan yang sama terus dipakai oleh Pemerintah Australia hingga saat ini.

Inilah yang membuat orang-orang seperti Jamal hidup dalam ketidakpastian di Australia selama bertahun-tahun, menurut kelompok hak asasi pengungsi.

Jamal sendiri sudah hidup di dalam tahanan di Australia selama delapan tahun.

Saat ini ia tinggal di hotel tahanan imigrasi, yakni Park Hotel, Melbourne, yang juga menjadi tempat di mana Novak Djokovic pernah ditahan setelah Pemerintah Australia membatalkan visanya.

Di saat pandemi, Jamal dan beberapa pengungsi lainnya juga tertular COVD-19 pada Oktober tahun lalu.

Pengacara Jamal, Alison Battisson, membantu 110 orang ke luar dari Afghanistan ketika Kabul jatuh ke tangan Taliban tahun lalu.

Dia mengatakan, proses membantu ratusan orang keluar dari Afghanistan masih lebih sederhana dibanding upayanya membebaskan Jamal.

"Sungguh mengejutkan ketika membandingkan keduanya. Lebih mudah untuk melarikan diri dari Taliban daripada dibebaskan dari pusat penahanan imigrasi Australia," kata Alison.

Alison mengatakan Jamal adalah "seseorang yang mempertaruhkan keselamatan diri dan keluarganya untuk membantu memerangi Taliban".

"Dia berusaha untuk menjaga keamanan dunia, tapi saat dia butuh bantuan, bukan hanya kita meninggalkannya, tetapi juga mengirimnya ke tempat penyiksaan … Ini seharusnya bukan cara Australia menanganinya."

Jamal ingin jika warga publik mengetahui dampak semua ini terhadap kesehatan mental dan keluarganya.

"Anak saya berkata, 'Saya benar-benar sudah lupa Bapak sekarang. Tidak ingat lagi,'" katanya.

"Hidup ini sulit. Bapak terlalu banyak menderita. Sembilan tahun bukan waktu yang singkat."

Perjalanan penuh gejolak ke Australia

Jamal, yang pernah bekerja dengan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, mengatakan dirinya sempat menjadi sasaran Taliban. Alasan inilah yang membuat melarikan diri dari negara asalnya pada 2013.

Dengan harapan bisa bertemu kembali dengan keluarganya, Jamal berangkat ke Malaysia, kemudian ke Indonesia, lalu naik perahu menuju Pulau Natal.

Dari sana dia dipindahkan ke Nauru, dan pada tahun 2014 dan diberikan status pengungsi.

Akan tetapi, setelah hampir lima tahun di Nauru, dia mengaku semakin putus asa dan stres, apalagi setelah tahu pengungsi lain ditempatkan di negara lain, seperti Amerika Serikat.

"Kami masih di sana dalam keadaan tidak menentu. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan," katanya.

Dia pun pernah mencoba bunuh diri dengan membakar dirinya sendiri.

Jamal diterbangkan ke Brisbane untuk menerima perawatan medis luka bakarnya, yang dialami 51 persen tubuhnya.

"Saya kehilangan nafsu makan, saya tidak bisa makan, seperti sedang dirawat di rumah sakit," katanya.

Awalnya, Jamal enggan untuk pindah ke Amerika Serikat karena sikap pemerintahan presiden Trump saat itu soal Muslim. Ia juga khawatir dengan masalah kekerasan senjata.

Tapi baru-baru ini dia menyatakan minatnya untuk menetap di Amerika Serikat atau Kanada.

"Kami tidak melakukan kejahatan apa pun. Kami hanya datang melalui laut," katanya.

"Sudah cukup … Tolong lepaskan kami."

Pemerintah Australia membela kebijakan penahanan

Kementerian Dalam Negeri Australia tidak mengomentari kasus individu, tetapi seorang juru bicara mengatakan Pemerintah Australia tetap teguh memegang kebijakan perlindungan perbatasannya, yakni: mereka yang tiba dengan perahu tidak akan menetap secara permanen di Australia.

"Pemindahan sementara ke Australia untuk menerima perawatan medis bukan jalan menuju izin tinggal menetap," demikian pernyataan juru bicara.

"Orang-orang yang dipindahkan ke Australia dari negara lain, berada di Austalia untuk sementara agar mendapat perawatan kesehatan, atau untuk tujuan lain, dengan berada di dalam tahanan atau dengan komunitas tertentu, sesuai dengan keadaan masing-masing sampai mereka dapat meninggalkan Australia."

Mereka menambahkan Kementerian Dalam Negeri juga memiliki kekuatan untuk menempatkan seseorang dalam fasilitas penahanan  jika dianggap demi kepentingan umum.

Juru bicara itu mengatakan operasi perbatasan Australia dibentuk untuk mencegah penyelundupan manusia lewat laut.

Mereka mengatakan antara tahun 2008 dan 2013, lebih dari 50.000 orang naik perahu ke Australia melalui 820 perjalanan laut.

"Selama periode ini, lebih dari 1.200 orang yang ingin ke Australia dengan perahu yang kecil tenggelam, seringkali dengan perahu tidak layak jalan dan tidak cocok untuk perjalanan panjang melintasi lautan terbuka," kata mereka.

"Penyelundup manusia adalah penjahat yang mencari keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Mereka mempertaruhnya nyawa seseorang."

Sebuah jajak pendapat oleh Ipsos yang dirilis pada Hari Pengungsi Sedunia tahun lalu menemukan dari 1.000 orang Australia yang disurvei, lebih dari setengahnya setuju dengan pernyataan, "Kita harus menutup perbatasan Australia sepenuhnya bagi para pengungsi, kita tidak dapat menerimanya saat ini."

'Kekejaman demi kekejaman'

Tahun lalu, Jamal dipindahkan dari tahanan di Brisbane ke Park Hotel di Melbourne.

Dia adalah salah satu dari lebih dari 30 pengungsi dan pencari suaka yang menerima perawatan medis di Australia, yang saat ini ditahan di hotel tersebut.

Charmaine Bastin, dari Shine Lawyers, mengatakan pihaknya sedang menyelidiki klaim kompensasi "terkait dengan cedera psikiatri yang dimiliki sebagai akibat dari kondisi di Nauru".

"Orang-orang masuk ke Australia sebagai pengungsi karena putus asa. Baik warga negara atau bukan, kami berutang untuk bisa memperlakukan mereka secara manusiawi, kepada semua orang yang datang ke Australia," katanya.

Beberapa hari menjelang Natal, Kepolisian Victoria mengatakan hotel tersebut sempat dibakar hingga para pengungsi dievakuasi ke bawah sambil menunggu api padam.

Polisi akan mendakwa seorang pria berusia 39 tahun yang dituduh menyebabkan "kerusakan kriminal menggunakan api dan berperilaku sembrono yang membahayakan nyawa", sementara seorang pria berusia 24 tahun diperkirakan akan didakwa atas dugaan penyerangan terhadap seorang anggota staf.

Insiden itu memicu gangguan kecemasan Medhi, seorang pengungsi yang datang ke Australia di usia 15 tahun.

Baru-baru ini ia merayakan ulang tahunnya yang ke-24 dalam tahanan.

"Saya cemas, saya benar-benar kesulitan bernapas, dan situasinya benar-benar kacau," katanya kepada ABC.

Pengungsi lain, Mohammed Miah, yang dikenal sebagai Joy, pernah menemukan belatung dalam makanan dan roti berjamur di hotel.

Seorang juru bicara dari Australian Border Force (ABF) mengatakan kepada ABC jika semua tahanan imigrasi diberi "makanan yang layak", kesempatan untuk melakukan sejumlah kegiatan, akses internet dan akomodasi yang bersih.

Jana Favero, direktur advokasi dan kampanye di Pusat Penelitian Pencari Suaka di Australia mengatakan kebijakan pengungsi Australia merupakan "kekejaman demi kekejaman".

"Tidak ada kata lain yang dapat menggambarkan sistem penahanan kita, selain dilakukan secara sewenang-wenang, kejam dan sebenarnya tidak perlu," katanya.

"Kita perlu ingat jika mereka bukan hanya angka. Mereka bukan orang yang bisa diabaikan."

*Wajah narasumber tidak ditunjukkan untuk membantu melindungi identitas.

Diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.