Pemimpin ISIS Tewas dalam Operasi Militer AS di Suriah

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Pemimpin Negara Islam (ISIS) serta seorang deputi senior dari kelompok itu tewas menyusul serangan pasukan AS di Suriah utara, kata pemerintah AS.

Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurayshi memicu ledakan yang menewaskan dirinya dan keluarganya ketika pasukan khusus AS mengepung tempat persembunyiannya setelah terjadi baku tembak.

Presiden AS Joe Biden mengungkapkan penyerbuan yang berlangsung selama semalam itu pada Kamis (03/02).

Kematian Qurayshi "menghapus ancaman teroris besar bagi dunia", kata Biden.

Pemerintah AS tidak menyebutkan nama deputi ISIS yang juga tewas, namun membeberkan secara rinci operasi yang sudah direncanakan selama berbulan-bulan.

ISIS sejauh ini belum membuat komentar publik mengenai serangan tersebut.

BBC

Operasi serangan itu menargetkan sebuah bangunan perumahan tiga lantai di pinggiran Kota Atmeh, Provinsi Idlib utara yang dekat dengan perbatasan dengan Turki.

Wilayah ini adalah kantong kekuatan kubu milisi yang merupakan rival sengit ISIS, serta faksi pemberontak yang memerangi pemerintah Suriah dengan dukungan dari Turki.

Berdasarkan laporan intelijen, diketahui bahwa Qurayshi tinggal bersama keluarganya di lantai dua sebuah bangunan perumahan di Atmeh. Dari situ, ia menjalankan ISIS dengan menggunakan kurir untuk menyampaikan perintahnya di Suriah dan di tempat-tempat lain.

Sebagai seorang militan yang dikenal dengan sebutan "Perusak", Qurayshi - yang juga menggunakan nama alias Hajji Abdullah, Amir Mohammed Said Abdul Rahman al-Mawla, dan Abdullah Qardash - menjadi pemimpin ISIS pada 2019, menyusul kematian pendahulunya Abu Bakr al-Baghdadi. Ia adalah seorang jihadis veteran yang lahir di Mosul.

Meskipun kelompok teror itu mengumumkan pengangkatannya sebagai pemimpin empat hari setelah kematian al-Baghdadi Oktober lalu, Qurayshi diyakini sudah lama dipersiapkan untuk peran tersebut dan sengaja dijauhkan dari medan perang untuk mengantisipasi kalau-kalau ia perlu mengambil alih kepemimpinan.

Pemerintah AS menawarkan hadiah US$10 juta (Rp143 miliar) untuk informasi tentang dia.


Bagaimana serangan itu dilaksanakan?

Selama tinggal di Atmeh, Qurayshi tidak pernah ke luar rumah kecuali untuk mandi di atap. Namun jika serangan dilakukan melalui udara akan ada banyak korban sipil berjatuhan. Pasalnya, keluarga lain yang tidak diyakini memiliki kaitan dengan ISIS atau menyadari kehadiran Qurayshi, tinggal di lantai dasar.

Kemungkinan serangan melalui darat pun dipelajari secara rinci, dengan selusin skenario dilatih dan penilaian risiko diambil berdasarkan situasi di lapangan, kata pejabat senior pemerintah AS. Model kompleks perumahan itu dibuat dan para insinyur memperkirakan kemungkinan bangunan runtuh dalam ledakan.

Presiden Biden diberi pengarahan tentang rencana operasi ini secara terperinci pada Desember lalu.

Ia memberikan lampu hijau penyerbuan oleh pasukan khusus pada Selasa (01/02) dan memantaunya secara langsung dari ruang situasi Gedung Putih. Beberapa helikopter tiba di Atmeh sekitar tengah malam waktu setempat (05:00 WIB) pada Kamis (03/02).

Sumber-sumber lokal mengatakan pasukan khusus AS mendapatkan perlawanan sengit di lapangan, dan mereka ditembaki dengan senjata anti-pesawat yang dipasang di atas kendaraan. Suara baku tembak terdengar selama dua jam, sebelum helikopter pergi.

Juru bicara Pentagon, John Kirby, mengatakan pasukan AS berhasil mengevakuasi 10 orang dari rumah itu, termasuk delapan anak.

Baca juga:

Mereka yang tewas dalam serangan termasuk salah satu deputi Qurayshi dan istrinya--keduanya sempat menembaki pasukan AS.

Selain itu, Kirby mengatakan bahwa pasukan AS berhadapan dengan sekelompok orang yang mendekati area itu selama misi berlangsung dan "dianggap sebagai musuh", yang berujung pada tewasnya dua orang dari mereka.

"[Tindakan] itu mengakibatkan berakhirnya aktivitas permusuhan," katanya, seraya menambahkan bahwa "tampaknya seakan-akan seorang anak juga tewas" di dekat lokasi pertempuran.

Namun, Kirby menambahkan bahwa AS tidak "punya pengetahuan yang utuh tentang setiap orang yang tewas".

Ketika diserbu, Qurayshi meledakkan sebuah alat peledak di lantai tiga rumah, yang menewaskan dirinya sendiri beserta istri dan dua anaknya. Presiden Biden menjabarkan itu sebagai "tindakan pengecut terakhirnya".

Qurayshi kemudian diidentifikasi "melalui sidik jari dan analisis DNA", kata Kirby.

Taktik meledakkan diri juga digunakan oleh Abu Bakr al-Baghdadi ketika mengadang pasukan AS pada 2019.

Al-Baghdadi membunuh dirinya sendiri dan tiga anak dengan meledakkan rompi peledak ketika tempat persembunyiannya, yang berjarak hanya 16km dari Atmeh, diserbu pasukan khusus AS.

Tim penyelamat White Helmets, juga dikenal sebagai Pertahanan Sipil Suriah, mengatakan mereka menemukan mayat enam anak dan empat perempuan di rumah yang menjadi sasaran dalam serangan tersebut.

Semua orang Amerika yang terlibat dalam operasi itu kembali dengan selamat, kata Biden.

"Hajji Abdullah mengawasi penyebaran kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di seluruh dunia setelah menghancurkan desa-desa dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah," kata Biden, menyebutnya sebagai "kekuatan pendorong di balik genosida orang-orang Yazidi di Irak utara pada tahun 2014".

"Kita semua ingat kisah-kisah memilukan tentang pembantaian massal yang memusnahkan seluruh desa, ribuan perempuan dan gadis muda yang dijual sebagai budak, pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang," katanya.

EPA
Pemerintah AS mengatakan keluarga Qurayshi dan dua orang lainnya tinggal di dalam gedung yang digerebek.

"Berkat keberanian pasukan kita, pemimpin teroris yang mengerikan ini tidak ada lagi."

Spesialis dari tim kajian kebijakan luar negeri AS mengatakan kepada BBC bahwa ISIS akan terguncang oleh kematian al-Qurayshi, tetapi pada akhirnya mereka akan berkumpul kembali.

Jon Alterman, dari lembaga kajian Center for Strategic and International Studies, mengatakan: "Kehilangan seorang pemimpin membuat mereka semakin paranoid.

"Kita ingin mereka paranoid dan mencari pengkhianat di tengah-tengah mereka. Efeknya benar-benar destruktif dan itu luar biasa."

Jomana Qaddour, dari Atlantic Council, mengatakan: "Selalu hal yang baik ketika pemimpin ISIS tewas. Tapi ini tentu saja tidak akan menjadi yang terakhir kalinya kita melihat ISIS."