Serangan Rusia ke Ukraina Dapat Naikkan Harga Mi Instan Dunia

Kenaikan harga mi instan juga diantisipasi penggemar di Australia. (ABC News: Natasya Salim)
Sumber :
  • abc

Dampak dari perang Rusia dan Ukraina dapat dirasakan sampai ke ujung dunia, termasuk Indonesia, di mana harga mi instan diprediksi akan naik bila perang terus berlanjut.

Tahun lalu,  hampir seperempat persediaan gandum Indonesia diimpor dari Ukraina.

Ukraina dan Rusia yang tengah berperang memproduksi sepertiga ekspor gandum dunia.

Dengan ditutupnya pelabuhan Ukraina dan tidak adanya petani karena sebagian besar dipaksa untuk ikut berperang, rantai pasokan gandum dunia pun ikut terganggu.

Awal Maret lalu, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan harga mi instan di Indonesia akan naik akibat perang.

"Kalau kita makan mi ayam atau mi instan itu juga 100 persen bahan bakunya diimpor," katanya dalam sebuah webinar (01/03).

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan sementara ini konflik kedua negara tersebut belum menimbulkan "dampak signifikan" pada persediaan gandum ataupun harga mi instan dalam negeri.

Kasan mengatakan Indonesia masih memiliki persediaan gandum sebanyak 1,2 ton yang akan bertahan sampai dua bulan ke depan.

Menurutnya, kenaikan harga mi instan sudah diprediksi, namun nilainya tergantung pada seberapa lama perang akan berlangsung.

"Potensi kenaikan harga mi instan akan jauh lebih kecil jika intensitas invasi tersebut tidak berlangsung lama," ujarnya.

Berita mengejutkan bagi penggemar mi instan Australia

Harga mi instan diperkirakan juga akan naik di Australia.

Menurut World Instant Noodle Association atau asosiasi mi Instan dunia, Australia berada di antara 19 negara pemakan mi instan terbanyak.

Pada tahun 2020, 440 juta mi instan dikonsumsi di Australia.

Aisha Wilson, mahasiswi Queensland University of Technology mengatakan keluarganya selalu membeli satu kardus mi instan berisi 30 bungkus untuk sebulan.

"Saya tidak bisa memasak. Masakan saya seringkali adalah mi instan yang ditambahkan daging atau salad," ujar Aisha.

"Cepat dan sederhana sekali, butuh 10 menit saja di dapur. Gampang."

Sebagai penggemar mi instan, Aisha terkejut mendengar bahwa perang di Ukraina akan menaikkan harga produk tersebut.

"Tidak pernah terbayang apa dampak dari kejadian seperti ini," katanya.

"[Tapi] sebagai seseorang yang sering makan mi instan, pada akhirnya, saya lebih mengkhawatirkan kondisi warga di Ukraina, Rusia, dan negara sekitarnya."

Sementara itu, harga produk mi instan Bakmi Mewah di Australia sudah naik 15-20 persen karena masalah rantai pasokan selama pandemi, menurut agen PT Mayora Indah di Australia, Anthonius Auwyang.

Ia mengatakan perang kemungkinan akan menimbulkan kenaikan harga lagi.

Walau PT Mayora Indah tidak membeli gandum dari Ukraina, Anthonius mengatakan perang akan mempengaruhi harga produk mereka secara tidak langsung.

"Akibat perang, [harga] pengangkutan jadi naik, mahal, produk makanan juga naik," katanya.

"Untuk efek long nya [jangka panjang] pasti ada tapi immediately [dalam waktu dekat] ini kayaknya enggak juga karena sebenarnya Australia masih melakukan supply ke Indonesia."

PT Indofood yang memproduksi Indomie sebagai merek mi instan paling terkenal di Indonesia tidak menanggapi pertanyaan dari ABC.

Namun, Direktur Utama PT Indofood Franciscus Welirang mengatakan peningkatan harga mi instan hanyalah spekulasi.

Franciscus juga mengatakan bahwa perusahaannya masih memiliki persediaan gandum dari Ukraina yang diimpor Februari lalu.

"Sampai hari ini, sampai bulan depan, dan dua bulan ke depan, menurut saya tidak ada gangguan kok," ujar kepada CNNIndonesia.com (04/03).

Menurut World Instant Noodles Association, kenaikan harga juga akan terjadi di Jepang, yang termasuk lima negara yang mengonsumsi mi instan terbanyak di dunia.

"Harga bahan, termasuk gandum dan kelapa sawit sudah naik dan pabrik besar di sini sudah memutuskan untuk menaikan harga lima sampai 12 persen," ujar juru bicara organisasi tersebut.

Kenaikan harga ini akan terjadi di bulan Juni.

Makanan pokok untuk sebagian warga

Sopir ojek online Budi Iswandi di Jakarta Budi Iswandi, yang biasanya membeli mi instan dalam jumlah banyak sekaligus, menyadari kenaikan harga produk tersebut.

Karena tidak suka makan nasi, Budi mengonsumsi mi instan hampir setiap hari.

"Saya terkejut harganya naik. Saya tahu ada perang, tapi tidak mengira itu akan mempengaruhi harga mi instan," katanya.

"Saya tidak tahu apakah karena perang, tapi harga satu bungkus mi instan naik 20 persen terakhir saya beli."

Mi instan dianggap "tak tergantikan" di Indonesia, terutama dalam masa-masa sulit.

Sejak tahun 1970-an, mi instan telah membantu menjadi solusi masalah malnutrisi dan menjadi makanan warga dengan pendapatan menengah ke bawah.

Setidaknya 13 miliar bungkus mi instan terjual di Indonesia setiap tahunnya. Ini adalah 15 persen total konsumsi mi instan di seluruh dunia.

Ekspor gandum Australia ke Indonesia diperkirakan akan naik

Dengan adanya masalah persediaan gandum dari Ukraina, Indonesia mencari alternatif impor gandum dari negara lain dan kemungkinan besar akan mengimpor banyak dari Australia.

Indonesia memang sudah menjadi pasar nomor satu gandum Australia, menurut Dave McKeon, kepala organisasi petani gandum Australia GrainGrowers.

Di tahun 2018 dan 2019, Indonesia mengimpor banyak gandum dari wilayah Laut Hitam, termasuk Ukraina karena kekeringan melanda Australia.

Namun tahun lalu, 41 persen impor gandum berasal dari Australia.

"Kami panen gandum dalam jumlah besar pada tahun 2021, tanamannya besar-besar dan jumlahnya berlebih. Jadi ada banyak gandum yang bisa dikirim ke Indonesia," ujarnya.

Indonesia mengimpor lebih dari tiga juta ton gandum untuk diolah menjadi mi instan setiap tahunnya dari Australia, menurut ekonom dan peneliti Pusat Inovasi Ekspor Gandum Australia (AEGIC), Profesor Ross Kingwell.

Profesor Ross memperkirakan bahwa permintaan gandum untuk mi instan akan meningkat hingga 350.000 ton pada tahun 2030.

Atase perdagangan KBRI Canberra, Agung Wicaksono setuju bahwa permintaan gandum Australia di Indonesia akan meningkat, terutama dengan keberadaan IA-CEPA dan lokasi geografis yang berdekatan.

"Tidak tertutup kemungkinan situasi yang terjadi saat ini, tetap kedua negara ini mempertahankan kolaborasi atau bahkan lebih erat untuk memastikan pasokan suplai," katanya.

"Dalam situasi seperti ini perlu dilakukan pendekatan yang kolaboratif, apalagi karakteristik Indonesia dengan Australia dari sisi kepentingan ekspor impor ini saling melengkapi."

Laporan tambahan oleh Hellena Souisa

Baca laporannya dalam bahasa Inggris