Harga BBM dan Kebutuhan Pokok di Australia Naik

Harga BBM di Australia saat ini sudah di atas 2 dolar (Rp20 ribu) per liter untuk jenis bensin biasa, dipicu oleh perang di Ukraina. (ABC News: Che Chorley)
Sumber :
  • abc

Saat Meiyung Adriana belanja ke salah satu supermarket di Melbourne pekan lalu, dia mendapati harga buah-buahan masih sama seperti biasanya. 

"Tapi buat belanja groceries memang berasa sih pengeluarannya," kata Meiyung, warga Indonesia yang tinggal di Bentleigh East.

"Saya belanjanya tidak banyak. Cuma buat dua orang, biasanya AU$100 - $150 per minggu, sekarang jadi AU$150 - $160," tambahnya.

Harga bahan kebutuhan pokok di Australia akan bertahan tinggi setidaknya enam bulan ke depan, menyusul kenaikan harga daging merah, buah dan sayuran, seperti yang dilaporkan ABC,

Bagi Meiyung dan suaminya yang sama-sama bekerja, yang sangat terasa kenaikannya saat ini yaitu harga bensin.

Harga bahan bakar minyak (BBM) juga telah melonjak di atas AU$2, atau lebih dari Rp20 ribu per liter sejak awal bulan Maret.

"Di tempat kerja saya dan juga tempat kerja suami, orang-orang pada kesal, tapi mau enggak mau harus terima saja kenaikan ini," katanya.

"Untuk mengatasinya, kami sekarang lebih sering naik kereta," kata Meiyung yang bekerja di perawatan lanjut usia.

Dampak kenaikan harga bensin ini sangat terasa bagi Maria Parker, seorang perempuan asal Indonesia yang hidup dengan pasangannya bersama lima orang anak.

"Benar-benar butuh perhitungan matang untuk belanja dan pengeluaran lainnya sekarang," ujar Maria yang berprofesi sebagai penari.

Ia menyebutkan dalam seminggu, pengeluaran keluarganya untuk bensin saja paling sedikit AU$250 dan belanja kebutuhan pokok AU$500 atau lebih dari Rp5 juta per pekan.

Laporan ABC menyebutkan bila tingkat harga bensin terus bertahan di angka saat ini, maka pengeluaran untuk bensin bertambah AU$670 hingga AU$1.150 per tahun.

"Belum lagi buat jajan, tagihan listrik, air, gas, hadiah ultah, dan lain-lain," ujarnya.

Maria mengaku keluarganya sekarang sudah mengurangi makan di restoran.

Bahkan, dia bersama suami dan anak-anaknya kini sering membawa bekal makanan sendiri.

"Puji Tuhan. Income kami masih mencukupi, tapi enggak bisa sesukanya lagi. Misalnya beli tanaman sama koleksi tas dan sepatu, terpaksa puasa dulu walau tangan ini sudah gatal [ingin membeli]," kata Maria.

Untuk menyiasati kenaikan harga BBM saat ini, Calia Pratama, seorang warga lainnya, memilih untuk memonitor Petrol Spy, situs yang berisi daftar pompa bensin dengan harga jualnya masing-masing.

"Saya selalu mencari harga terendah dan juga menggunakan fuel docket [nota belanja yang memiliki program diskon] dari supermarket Woolworth, Coles atau IGA," katanya.

Sedangkan untuk belanja kebutuhan pokok, Calia mengaku berbelanja dengan cara bulky atau borongan, karena menurutnya "lumayan menghemat pengeluaran".

"Untuk makanan dan minuman terkadang supermarket menjual barang yang masa kadaluwarsanya sudah mau habis dengan harga diskon nyaris 75 persen. Jadi, tinggal pintar-pintarnya kita saja mengolahnya," tuturnya.

Bagi warga yang tinggal sendirian, seperti Hazra Husain, situasi saat ini tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan, terutama dari sisi pengeluaran untuk BBM dan makanan.

"Saya bekerja menggunakan mobil karena tempat kerjanya lumayan jauh dan kadang mendapatkan tugas malam. Seminggu sekitar AU$50 untuk bensin, sekarang sekitar AU$60 - $70," ujar Hazra yang juga bekerja di perawatan lanjut usia.

Untuk menghemat pengeluaran makan sehari-hari, Hazra yang jarang masak karena kesibukannya, kadang ikut makan bersama penghuni panti tempatnya bekerja.

"Belakangan ini kadang saya makan roti atau bubur di tempat kerja setelah warga panti selesai makan," katanya.

Solusi jangka panjang

Pekerja di bidang real estate di Sydney, Alexander Lim, punya solusi jangka panjang untuk menghadapi kenaikan harga BBM.

"Solusinya beli mobil listrik. Untuk jangka panjang bisa dipertimbangkan, apalagi ada subsidi dari pemerintah 'kan," kata Alex kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

Menurutnya, paling tidak dalam beberapa bulan ke depan, harga bensin yang sudah terlanjur naik akan sulit untuk turun kembali.

Alex sendiri masih menggunakan mobil biasa saat ini, dan menghabiskan sekitar AU$100 per minggu untuk BBM.

"Saya lagi berpikir untuk ganti ke mobil listrik, teman-teman saya sudah banyak yang beralih ke sana," ujarnya.

Tapi Alex mengaku jika pengeluarannya untuk bensin tidak memberatkan karena di akhir tahun anggaran dia bisa mengklaim sebagai bagian dari biaya bisnis.

"Namun dengan kenaikan harga bensin ini, akan berpengaruh banyak ke bahan pokok lainnya seperti makanan. Restoran dan kafe, semua sudah naik sekitar 20 persen," ujarnya.

Lain halnya dengan warga Sydney lainnya, Harry Kurniawan, yang bekerja di bidang informasi dan teknologi.

Karena pandemi COVID ia lebih banyak bekerja dari rumah dan hanya ke kantor sekali dalam seminggu.

"Saya lebih sering naik kereta, karena mengemudi ke kantor juga lama, macet," ujar Harry yang sudah menetap di Australia sejak 1997.

Strategi mengurangi penggunaan mobil mobil pribadi dan beralih ke angkutan umum dilakukan pula oleh Reinita Silitonga yang juga tinggal di Sydney.

"Saya mengurangi makan di luar dan ke cafe, dan lebih banyak masak sendiri sekarang," tambahnya.

Bantuan keuangan dari pemerintah

Selain berbagai langkah penghematan, Harry Kurniawan kini menunggu kabar tentang rencana Pemerintah Federal memberikan bantuan sekali bayar atau 'one-off payment' kepada para pekerja yang memenuhi syarat.

Bendahara Negara Australia, Josh Frydenberg kepada media setempat menyatakan rancangan APBN yang akan diajukan pada bulan Maret ini mengalokasikan "sejumlah bantuan" untuk rumah tangga dalam mengatasi kenaikan harga-harga.

Laporan media 7NEWS menyebutkan bentuk bantuan ini berupa pembayaran bonus kepada para pekerja yang menurut Frydenberg bersifat "temporer, tepat sasaran dan proporsional".

Dikatakan bahwa pembayaran ini akan ditranfer ke akun bank penerimanya sebelum digelarnya Pemilu pada bulan Mei.

Menanggapi hal ini, ekonom dan peneliti pada Australian National University (ANU) Canberre, Dr Arianto Patunru menjelaskan ada beberapa langkah yang biasanya ditempuh pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga.

"Kalau dikhawatirkan kenaikan harga merembet ke yang lain [sehingga terjadi inflasi], biasanya tingkat bunga akan dinaikkan," jelasnya.

Menurut Dr Arianto, kebijakan berupa pembayaran tunai langsung [cash transfer] menjadi pilihan bila pihak berwenang masih bisa untuk tidak menaikkan tingkat bunga.

"Kalau tingkat bunga naik, investasi turun akan mengganggu pemulihan ekonomi. Itu dialami di Amerika Serikat sekarang, yang mungkin menjalar ke sini juga," jelasnya.

"Jadi kalau APBN masih mampu, maka cash transfer masih lebih dipilih [oleh pemerintah]," tambah Dr Arianto.

Ikuti informasi menarik lainnya dari ABC Indonesia