Bertaruh Nyawa di Suriah Demi Bertemu Orang Tercinta

Bangunan runtuh di Suriah akibat serangan bom. Suriah kini hancur. Sebagian kotanya dikuasai oleh kelompok militan ISIS.
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id –  Tak ada standar yang sama bagi "keberanian." Keberanian bagi warga Suriah artinya bukan lagi melawan rintangan, namun nekat bertaruh nyawa.

Bagi warga di sekitar Raqqa, sebuah kota di Suriah yang kini dikuasai ISIS, keberanian adalah sesuatu yang identik dengan pertaruhan nyawa.Di kota yang kini menerapkan aturan Islam seperti yang ditetapkan ISIS, mereka harus memiliki kesiapan mental luar biasa, bahkan kehilangan nyawa, demi memasuki kota Raqqa.

Umm Mohamed, seorang perempuan renta berusia 70 tahun, nekat melakukan perjalanan berisiko tinggi ke Raqqa demi bisa bertemu dengan anak dan keluarganya. Ia secara rutin berangkat dari sebuah terminal bus di Beirut menuju ke Raqqa, kota asalnya tersebut.

Sebagai salah satu upaya jaga diri, Umm Mohamed membekali dirinya dengan membawa abaya, hijab, sepatu dan juga kaus kaki serba hitam. "Saya membawa ini agar aman," kata Mohamed seperti dikutip dari stasiun berita Al Jazeera, 27 Mei 2016.

Sebelum sampai di pos pertama yang dijaga oleh kelompok militan ISIS, supir bus akan mempersilakan Mohamed dan penumpang perempuan lainnya untuk pergi ke bagian belakang bus dan mengganti busana mereka dengan pakaian serba hitam. Jika tidak, mereka tak akan diijinkan memasuki kota tersebut.

"Suriah memang sudah berakhir (hancur), namun itu tetap rumah saya," kata Mohamed.

Ibrahim, salah seorang penumpang lainnya, mengaku harus menumbuhkan janggut tebal agar bisa melakukan perjalanan tersebut dan menemui ibunya. "Tanpa ini, mereka (ISIS), tidak akan membiarkan saya masuk. Hidup memang berat, tapi ibu saya tidak ingin ditinggalkan juga meninggalkan tempat tinggalnya," kata Ibrahim yang bekerja di Beirut dan hanya bisa mengirimkan uang kepada ibunya.

Selanjutnya: Supir Pemberani


Supir Pemberani

Mengemudi ke "pusat" ISIS sangat tidak mudah dilakukan dan tidak semua orang bisa melakukannya. Begitu juga dengan supir bus yang tetap melajukan kendaraannya menuju kota yang semakin hancur tersebut.  "Damaskus! Aleppo! Raqqa !" teriak supir bus. Untuk meyakinkan penumpangnya, bus tersebut dilengkapi poster bertuliskan "Aman bersama kami."

Abu Hamad, supir bus, siap melakukan perjalanan jauh sekitar 20 jam bahkan hingga tiga hari. Ia akan melewati sejumlah daerah yang dikuasi pemerintah dan juga daerah-daerah yang dijajah oleh kelompok oposisi atau pemberontak pemerintah hingga sampai di Raqqa. Penumpang harus membayar biaya sebesar Rp650 ribu untuk ke Raqqa atau Rp450 ribu ke Aleppo.

"Hal yang sulit adalah melakukan perjalanan pada malam hari. Karena di saat itulah biasanya terjadi pertempuran (antara kelompok pemberontak dengan ISIS atau dengan pasukan pemerintah dan sebaliknya). Saya harus mengubah arah dari Damaskus, menuju ke Homs, lalu ke Aleppo baru ke Raqqa," kata Hamad.

Bahkan beberapa kali bus Hamad sering terkena tembakan ketika berjalan melalui garis depan persimpangan, ia harus mengganti kaca depan dua kali sementara bagian samping masih bopeng karena lubang peluru.

"Saya tetap mengemudi lurus. Kadang-kadang saya melihat pos-pos pemeriksaan yang dijaga oleh geng dengan tampilan yang berbahaya, jadi saya tetap mengemudi, saya tidak berhenti," kata dia.

Sejauh ini, Hamad merasa perjalanan masih cukup aman. Namun ia memang harus ekstra hati-hati agar bisa mengantarkan penumpang hingga selamat ke tempat tujuan.

(ren)