Pengungsi Suriah di Lebanon Tak Bisa Puasa

Anak pengungsi Suriah di tenda pengungsi di Bekaa Valley, Lebanon, 17 Mei 2016.
Sumber :
  • REUTERS/Mohamed Azakir

VIVA.co.id – Terjebak di antara perang sipil, dan Eropa yang tampaknya "tidak menginginkan" keberadaan mereka, pengungsi Suriah di Lebanon tengah berjuang untuk menemukan tempat, untuk bisa disebut sebagai "rumah".

Dua di antara pengungsi itu adalah Asim dan Zeinab. Keduanya telah menikah selama 20 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Sebelum perang dimulai, mereka mempunyai tanah di kampung halaman mereka, Talkalakh, Suriah. Asim bekerja di bidang konstruksi dan Zainab merawat pohon-pohon zaitun. Sekarang, mereka tinggal di pemukiman bertenda di wilayah Lebanon Utara, dan tidak memiliki apa-apa.

"Kami seharusnya bisa merayakan setiap kesempatan. Kami juga seharusnya bisa berpuasa selama bulan Ramadan, dan membeli pakaian dan mainan untuk anak-anak. Tapi sekarang kami berhenti merayakan semuanya. Kami berhenti berpuasa, karena kondisi hidup yang buruk dan kurangnya pendapatan. Kami tidak merasakan kebahagiaan apapun," kata Zeinab, seperti diberitakan oleh  Al Jazeera, Selasa, 7 Mei 2016.

Pada Mei 2011, tentara Suriah menyerbu kampung halaman mereka. Dengan membawa anaknya yang masih sangat kecil, keluarga ini melarikan diri melalui sungai al-Kabir ke Lebanon.

Asim dan Zeinab adalah dua dari satu juta warga Suriah yang telah terdaftar sebagai pengungsi di Lebanon sejak perang saudara Suriah dimulai. Sebanyak 1,5 juta warga Suriah diperkirakan akan tinggal di Lebanon, termasuk mereka yang bukan pengungsi terdaftar.

Meskipun frustasi dan depresi, Asim dan Zeinab mengaku tidak ingin dipindahkan ke Eropa. "Kami tidak akan mempertimbangkan opsi (untuk pergi ke Eropa), saya lebih suka makan sepotong roti dengan garam di sini karena dekat dengan negara saya. Daripada mati di luar negeri, di mana tidak akan ada yang mengenal saya," kata Asim.

Dia berjalan setiap hari ke sebuah bukit di dekatnya.  Dari bukit itu, dia dapat melihat atap rumahnya di Talkalakh. Ia berharap bahwa pada akhirnya, waktu akan datang untuk ia bisa membawa keluarganya kembali ke Suriah.