Satpol PP Jadi Penyidik, DKI Ingin Penanganan Pandemi Maksimal

Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan (tengah)
Sumber :
  • DPRD DKI Jakarta

VIVA – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi DKI Jakarta menggelar pembahasan perdana perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19. Tiga pasal penting menjadi fokus utama di pembahasan.

Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan mengatakan revisi Perda atas usulan sejumlah institusi tersebut bertujuan untuk penanganan pandemi dan kesehatan warga. Terutama dari bahaya penularan masif COVID-19 di Ibukota. 

Menurut Pantas, setidaknya ada tiga. Masing-masing pasal 28A terkait penyidikan. Dimana selain Polisi Republik Indonesia, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan melampirkan hasilnya kepada pihak Kepolisian dan Pengadilan Negeri.

Selanjutnya ditambahkan juga pasal 32A dan 32B terkait pengaturan jenjang sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi COVID-19 mulai dari sanksi sosial, denda administratif Rp500ribu sampai Rp50 juta rupiah hingga kurungan pidana maksimal tiga bulan.

Pantas berharap dari penambahan ketiga pasal tersebut dapat membuat jera para pelanggar prokes dan mempercepat penurunan angka kasus positif di Ibukota.

"Jadi, ini didorong dari yang saya tangkap adalah niatan bagaimana perda ini nantinya dapat berdaya guna dan berhasil guna untuk memutus mata rantai penyebaran virus serta mengakhiri pandemi," kata Pantas dikutip dari laman resmi DPRD DKI, Jumat 22 Juli 2021. 

Ketiga pasal tersebut, kata Pantas, akan diuji kembali karena ada beberapa hal yang harus berlaku seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sudah diatur undang-undang.

"Nah, kemudian perda ini yang mengatur materil ya. Nah formilnya bukan di perda, ada hukum acara yang nanti prosesnya akan berlangsung di pengadilan dengan keputusan dari hakim," katanya.

Kemudian, Bapemperda juga membahas berdasarkan masukan-masukan dari kepolisian terutama dalam pemberlakuan sanksi tindak pidana ringan.

"Ternyata ada dua klasifikasi yaitu pemeriksaan cepat dan pemeriksaan singkat. Pemeriksaan cepat itu bisa diterapkan kepada yang ancaman pidananya tiga bulan kurungan, maksimal dan pemeriksaan singkat itu 6 bulan maksimal. Nah ini yang kita bicarakan," ucapnya.

Sementara Kepala Biro Hukum DKI, Yayan Yuhanah menegaskan bahwa sanksi pidana kurungan adalah sanksi terakhir apabila sanksi lainnya belum membuat efek jera para pelanggar prokes.

"Dalam revisi ini kami kami memakai prinsip ultimum remedium. Sehingga tidak melihat hukum pidana sebagai satu-satunya cara dalam menegakkan prokes sehingga dapat meminimalisir adanya gesekan masyarakat dengan aparat dalam menegakkan peraturan daerah," kata Yayan

Diketahui, Perda DKI Jakarta 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan COVID-19 sebenarnya sudah memiliki ketentuan pidana berupa pidana denda. Pasal 29 disebutkan, setiap orang yang menolak untuk dilakukan tes PCR atau pemeriksaan COVID-19 akan dipidana paling banyak Rp5 juta.

Pasal 30 juga disebutkan orang yang menolak dilakukan pengobatan dan atau vaksinasi COVID-19 akan didenda Rp5 juta.

Pasal selanjutnya yaitu Pasal 31 ayat 1 menyebut orang yang membawa jenazah berstatus COVID-19 atau probabel akan didenda paling banyak Rp5 juta. Ayat 2 disebut orang yang melakukan pidana serupa ayat 1 dengan ancaman atau kekerasan akan didenda paling banyak Rp7,5 juta.

Pasal 32 atau pasal terakhir sanksi pidana menyebutkan setiap orang terkonfirmasi positif, namun meninggalkan fasilitas isolasi dengan sengaja akan dikenakan denda Rp5 juta.

Akan tetapi, sanksi yang ada dipandang oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menimbulkan efek jera pada pelanggar protokol kesehatan di masa COVID-19 sehingga perlu dikenakan ancaman hukuman yang lebih besar.

Meski demikian, Anies menjelaskan bahwa pasal pidana yakni kurungan badan tiga bulan atau sanksi denda dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19 adalah ultimatum remidium atau upaya terakhir penegakan hukum setelah penerapan sanksi administrasi tidak menimbulkan efek jera.