Kisah Mengharukan Si Tangan Robot 'Iron Man' Bali

Sumber :
  • VIVA.co.id/Bobby Andalan

VIVA.co.id - I Wayan Sumardana, pria asal Bali ini dijuluki manusia robot. Hal itu terjadi ketika ia mengubah sebagian dirinya menggunakan alat-alat robotik.

Jadilah ia manusia setengah robot, karena untuk menggerakkan tangan kirinya ia dibantu mesin yang dirakitnya sendiri.

Sumardana merupakan warga Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Ia berkisah, sejak tamat SMK Rakayasa di Denpasar, ia kembali kampung halamannya.

"Tamat sekolah, saya pulang (ke Karangasem)," kata Sumardana saat berbincang dengan VIVA.co.id di bengkelnya.

Bukan tanpa sebab Sumardana memilih kembali ke kampung halamannya. Usai menamatkan pendidikan menengahnya, bapak tiga anak ini berupaya mencari kerja di Ibu Kota Provinsi Bali itu. Sayang, usahanya selalu gagal.

"Saya tidak dapat kerja di sana. Nilai saya jelek, nol. Kurang bagus. Saya pulang kerja ke sini, cari kerja manual tidak pakai surat lamaran," ucap dia.

Rupanya, nasib belum berpihak padanya. Ke sana ke mari mencari pekerjaan, ia tak juga mendapatkannya. Bahkan, Sumardana mendapat perlakuan tak mengenakkan.

"Tidak diterima saya. Diusir juga pernah, ‘Tidak terima orang seperti kamu.’ Mungkin dia bingung kerja apa yang saya bisa kerjakan," ungkapnya.

Maklum saja, sepulang menamatkan pendidikannya dari Denpasar, perawakan Sumardana tak seperti saat ini. "Karena saya pulang dari Denpasar, saya kurus. Saya di Denpasar kadang makan, kadang tidak. Saya sekolah biaya sendiri. Ayah saya sakit. Tidak enak juga minta sama orang tua," ucap dia.

Meski memiliki pengalaman bekerja semasa ia menempuh pendidikan, namun hal itu tak bisa menjadi bekal mendapatkan pekerjaan usai ia tamat SMK.

"Saya waktu SMK kerja jadi walker di Dharma Praja. Jadi tukang sapu biar bisa bayar sekolah. Tamat saya pulang. Lamar di sini di peternakan tidak diterima. Sampai saya minta sama pemiliknya, ambil kotoran babi saja saya mau. Tidak dikasih juga. Akhirnya saya cari ke tempat lain," ujar dia.

Usahanya akhirnya membuahkan hasil. "Akhirnya saya cari-cari diterima. Saya kerja kasih makan ayam. Selama satu tahun, saya berhenti," ucapnya.

Berhenti bekerja, Sumardana mencoba peruntungan membuka usaha. Yang pertama kali digelutinya adalah sesuai disiplin ilmunya dengan membuka usaha service komputer.

"Akhirnya saya buka bengkel elektronik, tapi bangkrut. Karena bangkrut, saya banting stir buka usaha ternak bebek. Bangkrut juga karena tidak dibayar. Saya percaya aja waktu itu," kata dia.

Lantaran usaha ternaknya bangkrut, Sumardana kembali mencari pekerjaan. Ia bekerja di PLN. Suatu ketika, Sumardana dikirim ke Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.

Di sana, ia mengaku hampir meregang nyawa lantara tersengat listrik. Antara sadar dan tidak, Sumardana berjanji jika ia berhasil menghindari maut ia akan kembali ke kampung halamannya.

"Saya waktu itu berjanji, kalau saya hidup, saya mau pulang. Setelah bisa pulang, saya usaha lagi mengandalkan sisa uang. Satu bulan sisa uang saya habis untuk beli beras tidak bisa. Saya bingung lagi apa yang bisa dikerjakan. Akhirnya saya ambil rongsokan. Di sekitar sini. Saya kumpulin, saya jual, akhirnya bisa hidup dan jadi seperti sekarang ini," katanya.

Ia mengaku membuka usaha rongsokan bukan tujuan hidupnya. "Tidak ada tujuan saya dulu buka rongsokan seperti sekarang ini. Tapi seiring waktu akhirnya berjalan," ujarnya.

Ujian hilir mudik

Sedang menikmati kejayaan menjadi bos rongsokan, petaka datang sekitar enam bulan lalu. Tangan kiri Sumardana tak bisa digerakkan. Awalnya sepele. Pada suatu malam, Sumardana merasakan sakit di perut. Begitu terbangun, tangan kirinya tak bisa digerakkan. Berbagai usaha dilakukan untuk menyembuhkan tangannya.

Berobat ke dokter sudah berulang kali dilakoninya. Kesembuhan tak juga datang. Ia beralih ke pengobatan non-medis. Ia pergi ke paranormal. Namun tetap saja tak ada perubahan.

Sumardana mengaku sempat putus asa. Namun, penyakit yang membuat usahanya bangkrut itu justru membawa ide kreatifnya berkelana. Ia kemudian menciptakan tangan robot untuk kembali menggerakkan tangan kirinya yang mengalami kelumpuhan.

"Setelah tangan saya lumpuh, kehidupan saya berbalik 180 derajat dari sebelum sakit. Kalau dulu saya cari uang Rp1-2 juta itu gampang. Dahulu untuk biaya perusahaan satu bulan saya keluarkan uang Rp80 juta. Tenaga banyak. Itu untuk operasional saja. Itu waktu masih sehat. Tapi setelah sakit sehari dapat Rp10 ribu itu sudah lumayan. Orang Bali kan Astungkara begitu," ucap dia.

Kala usahanya masih lancar, Sumardana pernah meminjam uang di bank. Tujuannya satu, untuk mengembangkan usaha yang dirintisnya sendiri. Sial, begitu ia ditimpa musibah, utang-utang itu tak bisa terbayar hingga kini, bahkan terus menumpuk.

"Sekarang lain tidak seperti dulu. Dulu kan saya lancar usaha pinjam uang di bank. Sekarang itu jadi beban, cicilan banyak. Sisa-sisa kesuksesan, sekarang sudah bangkrut," ucapnya lirih.

"Nyesel jadi orang miskin, mau jadi orang kaya tidak bisa. Baru maju sedikit sudah sakit. Jadi bingung juga saya. Dahulu saya punya kasur tapi dijual. Akhirnya tidur di kardus," tambah Sumardana menceritakan kondisi hidup bersama keluarganya kini.

Keluarga terbengkalai

Kala ia divonis mengalami kelumpuhan, anak-anaknya terbengkalai kala pergi ke sekolah.

"Setelah saya sakit anak tidak bisa sekolah tidak ada uang jajan. Istri saya tanya tidak punya beras. Dulu dua bulan saya duduk santai, diam tapi tidak punya uang. Seperti bos saya. Santai tapi stres uang tidak punya. Tapi belum habis semua uang saya masih ada sisa," ujar dia.

Sumardana masih berharap keajaiban. Ia ingin tangan kirinya kembali sembuh. "Berobat saya mau. Harapan saya ingin sembuh biar tidak pakai alat lagi. Tunggu keajaiban tidak sembuh-sembuh. Sudah punya dana saya berobat lagi. Kalau tidak biarin saja. Anak saya masa depannya masih panjang," kata dia.

"Bapak saya sama dulu seperti saya. Dibilang kaya tidak, tapi punya uang. Sampai habis uang berobat orangtua saya. Saya takutnya seperti itu. Uang habis, jadi pemulung. Emas dulu orangtua saya banyak. Ayam banyak, bapak sakit, habis dipakai berobat," kata dia.

Kini, pendapatannya memprihatinkan. Sehari mengelas ia hanya mampu mendapat Rp10 ribu. "Kalau dahulu per tahun Rp350 juta. Turunnya drastis. Dahulu saya punya 11 usaha, tapi sekarang sudah saya jual semua," katanya.

Memiliki tangan robot, Sumardana mengaku didukung keluarganya. Mereka tidak malu meski suaminya dijuluki ‘Iron Man’ dari Bali.

"Anak istri saya mendukung saja, dibantu mencarikan alat dari printer. Tiap ketemu printer anak saya bilang pak ada printer. Dinamonya pakai printer. Programnya ada sedikit pakai printer. Dia kan numerik. Ada bahasa C. Istri saya senang begitu tangan saya bisa digerakkan lagi. Daripada tidak bisa," katanya.

Di tengah situasinya yang sulit, Sumardana tak mau putus asa. "Saya tidak selalu mengharapkan harus dikasih begini begitu. Tadi bupati tanya kamu mau apa. Saya sebenarnya tidak enak minta-minta. Saya takutnya mengurangi kreativitas saya. Kalau yang perlu, kalau memaksa, mesin las saya rusak, utang banyak," kelakarnya.

Ia pun sempat ditawari untuk memproduksi massal alat yang dirakitnya dari barang rongsokan itu. "Dahulu saya mau dikasih uang. Saya perlu uang tidak munafik. Tapi untuk apa, sosial apa bisnis. Kalau bisnis, sorry. Sosial oke. Dari mana dapat uang nanti, dari sponsor dermawan. Kan belum tentu orang miskin saja sakit begini. Tapi katanya disurvei di sini orang miskin semua yang sakit," ujar Sumardana.

"Kalau diproduksi massal tidak bisa. Ukuran berbeda. Kalau order, tujuannya sosial, saya mengerjakan mau," ujar dia.