Cerita Wisudawan Termuda UNY: Terlahir ABK, Lulus Usia 19 Tahun

Maria Clara Yubilea (Lala), mahasiswi Pendidikan Bahasa Jerman 2015 UNY dinobatkan sebagai wisudawan termuda UNY, Sabtu (31/8/2019). (FOTO: Istimewa/TIMES Indonesia)
Sumber :
  • timesindonesia

Terlahir sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bukanlah menjadi penghalang untuk berprestasi. Setidaknya, ini lah yang hendak dibuktikan Maria Clara Yubilea, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini dinobatkan sebagai wisudawan termuda, Sabtu (31/8/2019).

Bahkan, Lala, sapaan akrab  Maria Clara Yubilea, yang berusia 19 tahun masuk kategori ABK ini lulus dengan nilai cumlaude yaitu IPK 3,76.

Capaian itu tentu membuat orang tua (Rahardjo Sidharta dan Patricia), keluarga, teman, dan civitas akademika UNY bangga. Apalagi, Lala oleh dokter pernah divonis sebagai anak berkebutuhan khusus Gifted Normal Atas, tantangan berupa kesulitan dalam berkomunikasi. Namun, Lala dapat melalui tantangan tersebut.

Dibalik itu, ternyata Lala menjadi anak genius dengan IQ 145. Dengan bimbingan sang ibu, Patricia Lestari Taslim yang mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa di UNY demi memperoleh pengetahuan tentang cara mendidik sang anak. Lala berhasil menyabet prestasi di dalam maupun luar kelas.

Hal tersebut ia buktikan lewat kebolehan mewakili UNY dalam pertukaran pelajar ke Jerman dan menulis buku terkait anak berkebutuhan khusus. 

“Mama sering bilang, vonis (sebagai gifted) dan Tes IQ itulah awal musibah (karena semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi). Tapi, ternyata dari penemuan dan bimbingan mama, musibah ini punya banyak potensi. Potensi yang Puji Tuhan dapat Lala maksimalkan,” kata Lala disela-sela mengikuti prosesi wisuda.

Patricia menuturkan, putrinya, Lala, diketahui sebagai anak gifted saat bergabung di Sekolah Dasar. Kala itu, Lala sulit diatur oleh guru dan disebut sebagai trouble maker. Predikat sebagai anak nakal pun sempat disematkan kepada Lala sehingga membuat putrinya harus berpindah-pindah sekolah sejak kelas 2 SD. Tercatat hingga akhir jenjang SD, Lala sudah lima kali pindah sekolah.

 “Yang saya tahu (saat itu), Lala itu, trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru, dan suami saya (Rahardjo Sidharta) berprofesi sebagai dosen (Teknobiologi UAJY),” kenang Patricia.

Seiring berjalannya waktu, pengetahuan Patricia terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang ujian nasional. Bahkan, Lala sempat tidak mau lagi masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian. 

Namun setelah dipaksa, Lala akhirnya berkenan untuk menuntaskan Ujian Nasional sebagai kewajibannya guna lulus dari sekolah tersebut. Nah, dengan terpaksa dan tanpa persiapan ujian, Lala lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

“Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami, bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda. Kita konsultasi ke dokter dan tes IQ pada 2013, IQnya pada saat itu 131, dan selalu naik setiap kami melakukan tes dua tahun sekali,” kata Patricia.