Pegiat HAM Serukan Pembebasan Tahanan Politik Papua

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Mantan tahanan politik (tapol) Papua dan pegiat hak asasi manusia (HAM) meminta pemerintah membebaskan puluhan tapol, namun pemerintah Indonesia mengatakan pembebasan harus berdasarkan hukum yang berlaku.

Sebelumnya, enam tapol di Jakarta bebas dua pekan lalu setelah masa hukuman mereka berakhir.

Adapun pemerintah mengatakan bebasnya tahanan politik tidak lepas dari hukum normatif, kata salah-seorang tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP).

Seruan pembebasan terjadi di tengah pandemi Covid-19, di mana pemerintah pada bulan April telah membebaskan lebih dari 38 ribu narapidana sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus corona.

Sementara, pakar hukum mengatakan tidak semua napi bisa dibebaskan sesuai hukum yang ada.

Mengapa tapol Papua harus dibebaskan?

Dalam diskusi daring yang diselenggarakan pada Jumat (29/05) mengenai pasal makar dan pelanggaran HAM, eks tapol Papua, Arina Elopere, menganggap pendapat politik tidak bisa diadili.

"Pada umumnya tapol yang ada di tanah Papua, bahkan di tanah Jawa lain, mungkin seharusnya kita bisa dibebaskan karena kita juga punya hak untuk berekspresi di depan muka umum, sampaikan pendapat kita," kata Arina, kepada BBC News Indonesia seusai diskusi.

Arina adalah salah seorang aktivis yang ditangkap atas keterlibatannya dalam aksi protes rasisme yang dilakukan oleh mahasiswa Papua pada tanggal 28 Agustus di depan Istana Presiden di Jakarta tahun lalu.

Staf advokasi Yayasan Pusaka, Tigor Hutapea, mengatakan setidaknya 62 orang terjerat kasus kerusuhan dan makar pasca aksi protes rasisme pada periode Agustus hingga Oktober 2019.

Masalah Papua naik kembali setelah ada kerusuhan terkait dugaan rasisme yang berawal di Surabaya dan kemudian menjalar ke sejumlah kota di Papua.

Akibat kerusuhan ini, sebagian warga pendatang mengaku khawatir dan diantaranya memilih meninggalkan Papua.

Dalam forum diskusi daring itu, eks tapol dan juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Paulus Suryanta Ginting, juga mendukung pembebasan tapol.

Selain soal keyakinan politik, Surya juga khawatir jika mereka tetap ditahan dalam penjara, mereka akan terpapar Covid-19.

Seperti Arina, Surya juga merupakan salah satu tapol yang baru bebas usai menjalani masa hukuman setelah divonis penjara sembilan bulan atas dakwaan makar terkait protes Agustus lalu di depan Istana Presiden.

"Ada kenyataan sekarang ini Covid, bukankah mereka ini bisa dikeluarkan terlebih dahulu, tetapi menjalani persidangan di luar, supaya tetap ada kepastian hukum? Karena di dalam ini over kapasitas," kata Surya dalam forum.

Ia menceritakan sewaktu menjalankan masa tahanan di Rumah Tahanan Salemba, yang berkapasitas lebih dari 4,000 ribu orang.

"Ketika masuk ke blok-blok, itu kita akan lihat orang-orang tidur di lorong-lorong, berhimpitan," tuturnya.

Sejak awal, para pegiat HAM mengkritisi pasal makar, yang dianggap pasal multitafsir.

Bagaimana tanggapan pemerintah?

Pemerintah Indonesia, melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahra Adian, mengatakan, pembebasan tapol Papua sepenuhnya bergantung pada aspek hukum.

"Pembebasan juga ada kriteria dan syarat-syaratnya. Jadi saya kira, pembebasan politik itu juga harus berpegangan pada prinsip kehati-hatian karena kita juga tidak ingin kemudian setelah dibebaskan menimbulkan masalah bagi keamanan dan keselamatan masyarakat," kata Donny kepada BBC News Indonesia (29/05).

Sementara, pakar hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan jika pembebasan itu dikaitkan dengan pandemi Covid-19, tahanan politik Papua layak dipertimbangkan untuk dibebaskan jika memenuhi persyaratan berdasarkan landasan hukum yang sudah ada.

"Ketentuan pandemi berlaku untuk semua, kecuali tiga kejahatan: narkotika, korupsi dan terorisme. Hanya tiga itu yang terganjal karena tiga itu yang ada aturan khusus mengenai tiga hal itu. Tetapi selebihnya, bisa saja," kata Agustinus.

Ia menjelaskan bahwa tidak ada pembedaan antara politik dan yang bukan politik, terkait dengan kebijakan pandemi.

"Selebihnya itu artinya berlaku termasuk untuk kejahatan yang terkait dengan politik, misalnya makar," tambahnya.

Ketentuan pembebasan diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Aturan baru ini dikeluarkan mengingat populasi penjara dan rutan di Indonesia yang terlalu padat.

Kriteria yang diberikan untuk napi yang dapat dikeluarkan dan dibebaskan lebih awal adalah narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya sampai dengan 31 Desember 2020 dan anak yang telah menjalani setengah masa pidananya, juga sampai 31 Desember 2020.

Berdasarkan aturan itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dilaporkan pada bulan bulan April mencatat ada 38.822 narapidana yang dibebaskan.

Adapun enam tapol Papua yang bebas baru-baru ini adalah mereka yang selesai menjalankan masa hukuman sesuai vonis masing-masing, yaitu delapan hingga sembilan bulan, lantaran mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Di awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberian grasi kepada lima orang tahanan politik yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Adapun tahanan keenam, Filep Karma, batal dibebaskan karena tidak bersedia mengajukan permohonan grasi. Beberapa bulan setelah pembebasan kelima tapol itu, Filep dibebaskan setelah menjalani 11 tahun dari 15 tahun vonis penjara.

Langkah membebaskan para tapol itu dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masih adanya tuntutan sebagian masyarakat Papua yang menuntut pemisahan diri Papua dari Indonesia atau kemerdekaan.

Pemerintah juga gencar melaksanakan pembangunan di wilayah Papua untuk menyelesaikan masalah, walaupun sebagian masyarakat tidak setuju.

Kelompok pro-kemerdekaan di Papua sejak awal menuntut dialog antara pihaknya dan pemerintah pusat. Usulan ini serta merta ditolak pemerintah.