Lion Air JT 6-10 Jatuh karena Sensor Tak Berfungsi, Kesimpulan KNKT

Keluarga korban menaburkan bunga di lokasi yang disebut lokasi jatuhnya pesawat Lion Air JT di Laut Tanjugn Karawang, Jabar, yang menyebabkan 610 orang penumpangnya meninggal dunia, 6 November 6, 2018. - Azwar/Anadolu Agency/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Komite Nasional Keselamatan Transportasi, KNKT, menyimpulkan sembilan faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018 di perairan Karawang, Jabar, 29 Oktober 2018 lalu.

Salah-satunya, demikian kesimpulan penyelidikan KNKT, adanya "asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai referensi yang ada ternyata tidak tepat."

Hal itu diungkapkan Nurcahyo Utomo, Kasubkom penerbangan KNKT, dalam jumpa pers untuk menjelaskan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 di kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10).

Ditambahkan, akibat asumsi dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, "sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memeuhi ketentuan sertifikasi."

Temuan KNKT juga mengungkapkan, desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.

"Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya, karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan," papar Nurcahyo.

Menurut KNKT, indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, "berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan."

"Sehingga," lanjut KNKT, "perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengindentifikasi kerusakan AOA sensor."

Terungkap pula bahwa AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang "tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya."

Dalam bagian lain kesimpulannya, KNKT menyimpulkan, investigasi ini tidak dapat menetukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar.

"Sehingga keselahan kalibrasi tidak terdeteksi," ungkap Nurcahyo.

Lebih lanjut diungkapkan, informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat.

"Yang megakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat," ungkap KNKT.

Dijelaskan pula, beberapa peringatan, berulang kali aktifikasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif.

Hal ini, demikian KNKT, diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-formal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja.

"Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini," demikian kesimpulan penutup KNKT.

Berita ini akan terus dilengkapi.