Heboh Desa Fiktif, KPK Ungkap 4 Potensi Masalah Dana Desa

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, sedikitnya terdapat empat potensi masalah terkait dana desa, berdasar kajian yang telah dilakukan pada tahun 2015.  Juru bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan, kajian itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas pencegahan KPK, dan hasilnya ditemukan sejumlah potensi masalah terkait heboh Desa Fiktif itu.

Pertama, masalah regulasi. Febri menyebut masalah ini muncul karena belum lengkapnya regulasi dan petunjuk pelaksanaan yang sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa.

Selain itu, masalah regulasi itu lantaran potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.

"Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih itu," kata Febri dikonfirmasi awak media, Kamis, 7 November 2019.

Febri mengatakan formula pembagian dana desa dalam PP Nomor 22 Tahun 2015, tidaklah cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Kemudian soal pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 kurang berkeadilan.

Kedua, yakni potensi masalah di dalam tata laksana. Menurut Febri, masalah muncul karena kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APB Desa belum tersedia, dan APB Desa yang disusun itu tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Transparansi penggunaan dan pertanggungjawaban APB Desa juga dipandang masih rendah, ditambah laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standarnya, sehingga rawan manipulasi.

Ketiga, kajian itu juga menemukan potensi masalah dalam hal pengawasan. Ditemukan bahwa efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah.

Selain itu, saluran pengaduan masyarakat tak dikelola dengan baik oleh semua daerah, serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.

Keempat, adanya potensi masalah sumber daya manusia (SDM). Hal itu antara lain tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi atau fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa.

"Dari temuan tersebut, KPK merekomendasikan kepada badan atau kementerian terkait untuk merevisi dan atau membuat regulasi baru," kata Febri.

Dari sejumlah temuan masalah tersebut, KPK lanjut Febri telah meminta Mendagri merevisi Permendagri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

"(Rekomendasi tersebut) dengan memasukkan aspek pengawasan partisipatif oleh masyarakat, audit sosial, mekanisme pengaduan dan peran inspektorat daerah," ujarnya.

Diketahui, pada pengusutan perara desa fiktif, KPK juga membantu Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam menelisik dugaan korupsi anggaran dana desa.

Penegak hukum menduga saat pembentukan ataupun mendefinitifkan desa-desa, tak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah.

Akibatnya menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016-2018.

Dalam perkara itu, Febri mengatakan bahwa diduga ada 34 desa yang bermasalah. Dari jumlah itu, menurutnya, ada 3 desa fiktif, sedangkan 31 desa lain ada akan tetapi surat keputusan (SK) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

"Pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate," ujarnya.

Febri mengatakan, KPK dan penyidik Polda Sultra telah melakukan gelar perkara di tahap penyelidikan yang dilakukan pada 24 Juni 2019. Gelar perkara pun telah dilakukan kembali pada16 September lalu.

Dia juga mengatakan bahwa pimpinan KPK dan Kapolda Sultra telah bertemu untuk membahas masalah ini pada 25 Juni lalu. Dalam pertemuan tersebut, KPK diminta agar melakukan supervisi dan memfasilitasi ahli dalam perkara tersebut. 

"Perkara ini telah naik ke tahap penyidikan dan Polda telah mengirimkan SPDP ke KPK sesuai ketentuan Pasal 50 UU KPK," kata Febri. (ren)