Pneumonia akan Perburuk Infeksi Corona pada Anak

Sumber :

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memperingatkan tingginya jumlah anak-anak yang mengidap pneumonia di Indonesia dapat memperburuk infeksi Covid-19 pada anak.

Di Jakarta, episenter Covid-19 di Indonesia, lebih dari 170 balita masuk dalam kategori Pasien Dalam Pemantauan (PDP) dan Orang dalam Pemantauan (ODP) menurut data Pemprov DKI Jakarta per 6 April 2020.

Sementara di Jawa Barat, provinsi dengan kasus Covid-19 terbanyak kedua di Indonesia, lebih dari 40 anak hingga usia 10 tahun sudah menunjukkan gejala Covid-19 alias berstatus PDP, sampai pekan kedua April 2020.

Setidaknya seorang anak berusia tiga tahun dan seorang anak lainnya di Jakarta meninggal dunia akibat positif terinfeksi virus corona.

Sementara seorang anak berusia 11 tahun meninggal di Pamekasan, Jawa Timur, juga akibat Covid-19, berdasarkan data IDAI.

Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, tidak ada kasus anak meninggal yang murni akibat virus corona.

Yuri mencontohkan kasus di Pamekasan adalah kasus kematian anak akibat demam berdarah yang diperburuk Covid-19.

Meski begitu, Ketua IDAI, Aman Bhakti Pulungan, mewanti-wanti Indonesia tidak bisa memandang enteng kasus Covid-19 pada anak.

Getty Images
China hanya melaporkan dua kasus kematian anak akibat Covid-19.

Aman mengatakan angka kematian anak di Indonesia sudah tinggi akibat penyakit pneumonia, yang disebutnya pembunuh anak nomor satu di Indonesia.

"Tanpa ada Covid-19 saja, pneumonia ini sudah pembunuh nomor satu di Indonesia. Sebagian besar, pneumonia yang ada saat ini adalah karena bakteri, Covid-19 ini kan karena virus," jelas Aman.

"Tapi kalau dia (si anak) terinfeksi Covid-19, kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri akan tambah besar. Pneumonia yang biasa juga akan meningkat," cetusnya.

Berdasarkan data UNICEF, lebih dari 19.000 balita di Indonesia meninggal karena pneumonia di 2018 atau lebih dari dua anak setiap jam.

Mengapa angka pneumonia anak di Indonesia tinggi?

Aman, yang juga anggota Komite Eksekutif Asosiasi Internasional Dokter Anak, mengatakan tingginya angka pneumonia anak di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain sanitasi yang buruk dan polusi asap rokok. Rendahnya angka vaksinasi, seperti vaksinasi campak, juga dapat memicu pneumonia.

Getty Images
Anak-anak ikut acara penghormatan bagi mereka yang meninggal akibat Covid-19 di Jinan, Provinsi Shandong, China.

Karenanya, ia meminta pemerintah mempertimbangkan faktor itu.

"Jangan (diperbandingkan) data anak di China atau Malaysia itu negara yang data kematian anak karena pneumonia-nya nggak ada lagi. Segala aspek ini harus kita liat," ujar Aman,

"Kita bisa lost generation (kehilangan generasi muda) terlalu banyak loss yang kita dapat kalau keadaan ini dibiarkan," ujarnya.

Di China, berdasarkan data jurnal medis The Lancet di akhir Maret, hanya ada dua kematian anak di China.

Jurnal itu juga menyebutkan, tidak ada kematian anak di Italia, di mana lebih dari 9.000 orang meninggal dunia akibat Covid 19.

Apakah anak-anak lebih kebal Covid-19?

Konsultan respirologi anak, Prof. Cissy B. Kartasasmita, yang juga anggota IDAI, mengatakan daya tahan tubuh anak akan membantu mereka menghadapi Covid-19.

"Ketika daya tahan tubuh mereka bagus, penyakit akan sembuh sendiri (self-limiting)," ujar Cissy.

Daya tahan tubuh, tambah kata Cissy, dipengaruhi pula oleh nutrisi seimbang hingga kebersihan.

Ia mengatakan tim medis dan peneliti masih memperdebatkan soal faktor lain yang disebutnya sebagai `reseptor pada anak`.

"Reseptor itu bagian sel kita yang seperti `jendela` untuk virus itu masuk memperbanyak diri dalam sel. `Jendela` itu, apa sama banyak di tubuh anak, seperti di orang dewasa atau belum berkembang sempurna? Ini masih diteliti," ujarnya.

Getty Images
Konsultan respirologi anak, Prof. Cissy B. Kartasasmita, yang juga anggota IDAI, mengatakan daya tahan tubuh anak akan membantu mereka menghadapi Covid-19.

Ia mengatakan sejumlah pihak yakin reseptor pada tubuh anak lebih sedikit jumlahnya sehingga mereka lebih jarang sakit ketika terinfeksi Covid-19.

"Tapi mereka masih mempunyai virus di nasofaring, di belakang hidungnya, di mulutnya, sehingga tetap bisa menularkan. Itu yang carrier," ujarnya.

`Jumlah tes sedikit`

Sementara itu, jumlah tes Covid-19 yang dinilai sedikit dibanding dengan populasi masyarakat bisa memperburuk penularan di antara anak, ujar Anggraini Alam, Dokter Anak di Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin Bandung, yang pernah merawat bayi berusia 1,5 bulan yang positif corona.

Hingga Senin (06/04), Kementerian Kesehatan baru memeriksa sekitar 11.200 spesimen, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang setidaknya sudah memeriksa lebih dari 250.000 orang.

Oleh karena itu, Anggraini menyarankan para orang tua untuk menjaga anak tetap di rumah dan mengawasi jarak aman mereka atau social distancing, mengingat masker ukuran anak jarang dijual.

"Masker anak siapa yang punya? Anak-anak dipakaikan masker nggak betah, dan masker nggak mengganti social distancing. Lebih baik anak nggak usah keluar," ujarnya.

Getty Images
Anak-anak diimbau untuk tidak meninggalkan rumah agar tidak tertular Covid-19.

Ia lanjut menyarankan anak hanya dibawa ke rumah sakit atau ke dokter jika mengalami kondisi darurat seperti diare, kejang, atau muntah-muntah.

Sementara itu, konsultan respirologi anak, Prof. Cissy B. Kartasasmita, mengatakan ia berharap pemerintah dapat membuka data anak yang positif terkena Covid-19.

Hal itu akan membuat masyarakat lebih sadar untuk melindungi anak-anak mereka dan membantu asosiasi dokter melakukan pencegahan penularan virus corona pada anak.