Tolak Kawin Tangkap, Praktik Culik Perempuan di Sumba untuk Dinikahi

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Para pejabat pemerintah daerah Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menandatangani kesepakatan menolak praktik `kawin tangkap` demi meningkatkan perlindungan perempuan dan anak.

Kesepakatan itu dibuat setelah muncul video viral pada akhir Juni lalu yang memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan `kawin tangkap`, atau penculikan untuk perkawinan.

Menanggapi video itu, pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan prihatin.

Dia kemudian berkunjung ke Sumba pada pekan lalu untuk membahas permasalahan praktik itu, yang ia sebut sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan mengatasnamakan budaya.

Sejumlah pegiat perempuan mendorong pemerintah daerah untuk tegas menanggapi praktik `kawin tangkap`.

Alasannya, hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang berlapis bagi perempuan dan juga menimbulkan stigma bagi korban yang berhasil keluar dari penculikan.

Adapun pengamat budaya mengatakan hingga kini perdebatan terus berlanjut terkait asal usul praktik tersebut.

Ketidaktegasan untuk menghentikannya juga dianggap sebagai pemicu kejadian terus berulang.

`Saya tidak punya kekuatan`

Citra, bukan nama sebenarnya, menceritakan praktik `kawin tangkap` dia alami saat tinggal di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017 lalu.

Ia mengaku dirinya ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkannya sebagai menantu.

Pada Januari tahun itu, Citra bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat dan diminta ikut rapat oleh pihak yang ia sebut janggal dari keseharian tugasnya.

Meski demikian, ia memenuhi tanggung jawabnya dan menghadiri pertemuan itu.

Kira-kira satu jam setelah pertemuan itu berjalan, Citra mengatakan bahwa mereka meminta untuk berpindah lokasi.

Citra mengiyakan dan hendak menghidupkan motornya ketika sejumlah orang tiba-tiba mengangkat dan membawanya ke dalam sebuah mobil.

Wanita yang saat itu berusia 28 tahun itu menjerit dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri.

"Tapi saat itu ada dua orang yang memegang saya di belakang (mobil). Saya tidak punya kekuatan," tuturnya sambil mengingat kejadian itu kepada BBC News Indonesia melalui telepon, Senin (06/07).

Dalam perjalanan, ia mengirimkan SMS kepada keluarga dan pacarnya saat itu untuk mengatakan bahwa ia dibawa lari.

"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya [menjalankan] ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," jelas Citra.

Ritual dan rayuan

Ia mengatakan ia terus melakukan perlawanan dan berusaha untuk mengelak dari ritual-ritual yang dianggap dapat membantu menenangkan perempuan yang ditangkap, seperti penyiraman air pada dahi.

"Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi tapi kena di kepala."

"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," kata Citra.

Ia menambahkan bahwa pihak pelaku mengatakan mereka melakukan hal tersebut karena sayang padanya. Hal itu dibantah oleh Citra yang menganggap perlakuan itu salah.

Segala upaya dan rayuan dilakukan demi mendapatkan persetujuan Citra dan keluarganya.

"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air. Tapi saya tidak mau," tutur wanita yang kini berusia 31 tahun itu.

"Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic - jadi kalau kita minum air, atau makan nasi pada saat itu, kita bisa, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau - saat kita kena magic kita bisa bilang iya."

Lanjut beberapa hari, Citra masih menolak untuk makan dan minum.

"Karena terus menangis sepanjang malam, tidak tidur, saya rasa benar-benar sudah mau mati," katanya.

Adik Citra kemudian datang membawakan makan dan minum sambil proses negosiasi berdasarkan adat berjalan. Akhirnya pada hari keenam, keluarga Citra, didampingi pihak pemerintah desa dan LSM, berhasil membawa dia pulang.

`Merendahkan martabat perempuan`

Menurut data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap sepanjang 2016 hingga Juni 2020, termasuk kejadian yang menimpa Citra.

Beberapa perempuan berhasil melepaskan diri, sementara tiga di antara mereka melanjutkan perkawinan, kata Aprissa. Dua kasus yang paling terkini terjadi pada 16 dan 23 Juni lalu, di Sumba Tengah. Salah satu perempuan akhirnya menikah.

Pulau Sumba, yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, terdiri dari empat kabupaten, yakni Sumba Barat, Sumba Barat Daya, sumba Tengah dan Sumba Timur. Kasus-kasus tersebut, kata Aprissa, lebih banyak terjadi di Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah.

Pegiat perempuan itu mendorong penghentian praktik yang ia sebut merendahkan martabat perempuan.

"Kawin tangkap ini hanya menghasilkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara fisik, seksual, psikis, belum lagi stigma kalau ia keluar dari perkawinan yang dia tidak inginkan.

"Begitu berlapis `pemerkosaan`, dalam tanda kutip, yang dialami oleh perempuan, sehingga hal ini harus dihentikan karena sangat mencederai kemanusiaan, harkat dan martabat perempuan," kata Aprissa melalui telepon, Selasa (07/07).

`Kawin tangkap` baru-baru ini ramai dibicarakan warganet setelah sebuah video yang viral pada akhir Juni memperlihatkan seorang perempuan dibawa secara paksa oleh sekelompok pria di Sumba.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menanggapi video itu dengan mengatakan bahwa kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia.

Bintang juga memutuskan untuk mengunjungi Kota Waingapu di Sumba Timur untuk menghadapi masalah tersebut, termasuk mengadakan diskusi bersama masyarakat setempat dalam upaya untuk mengakhiri praktik `kawin tangkap`.

Dalam kunjungan pada pekan lalu itu, Bintang menghadiri penandatanganan kesepakatan pemerintah daerah pada tingkat kabupaten dan provinsi yang menolak `kawin tangkap` adalah budaya Sumba. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.

"Kita sudah mendengar dari tokoh adat, tokoh agama, bahwa kawin tangkap yang viral itu, bahwa di sini, bukan budaya Sumba. Itu menjadi kata kunci," kata Bintang, seperti yang dilaporkan Heinrich Dengi, wartawan di kota Waingapu, kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/07).

"Terkait dengan kesepakatan bersama, yang sudah ditandatangani, itu tidak hanya berakhir di sini," tambahnya.

Namun, ia tidak merinci upaya konkret yang akan dilakukan.

`Bukan budaya turun-temurun`

Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, menjelaskan bahwa kawin tangkap bukan budaya murni Sumba yang diwariskan secara turun-temurun.

"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - `Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?` - begitu di Sumba Timur.

"Kalau di Sumba Barat - `Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?` - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans kepada BBC News Indonesia via telepon (05/07).

Setelah pertanyaan itu dijawab, lanjut Frans, baru prosedur peminangan resmi dimulai, termasuk pembasahan tanggal pernikahan dan penyerahan belis.

Tradisi belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita sebelum melangsungkan pernikahan.

Penyerahan belis tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kerbau, kuda maupun mamuli (perhiasan), dan sarung kain tradisional.

Menurut Frans, `kawin tangkap` adalah sebuah praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.

Ia berpandangan bahwa para tokoh adat maupun pihak berwenang tidak tegas dalam menanggapi praktek itu, sehingga terus berulang.

"Sampai sekarang tidak ada hukumnya. Hanya hukum sosial, dalam artian bahwa orang yang kawin seperti itu akan diomongin, hanya itu saja. Untuk memberatkan supaya jangan berlaku, itu tidak ada. Makanya saya sarankan, kalau perlu, mereka ini diberi denda misalnya 10 ekor kerbau untuk memberatkan dia sehingga ada rasa ketakukan sedikit," kata pengamat budaya yang berdomisili di Waingapu itu.

Meski demikian, sebagian orang memandang `kawin tangkap` memang budaya tradisional setempat, seperti pengalaman Citra.

Kejadian yang dialami Citra meninggalkan luka trauma yang tidak mudah dilepas. Apalagi, Citra mengungkap ia justru menghadapi stigma karena dianggap tidak menghormati adat setelah ia berhasil melepaskan diri dari penangkapannya.

Wanita yang kini sudah menikah dengan pria pilihannya sendiri itu berharap hal itu tidak terjadi lagi pada perempuan di Sumba.

"Ini memang budaya dari nenek moyang. Tapi budaya yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Jadi budaya ini harus dihentikan karena sangat merugikan kami sebagai kaum perempuan," ujarnya.