8 Orang KAMI ditangkap, Pemerintah Dianggap Degradasi Protes Publik

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Kepolisian mengumumkan penahanan lima dari delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap dalam beberapa hari terakhir terkait demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang berakhir ricuh di sejumlah daerah.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Awi Setiyono mengungkapkan empat anggota KAMI di Medan, dan empat di Jakarta, ditangkap oleh tim siber Bareskrim atas sangkaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

KAMI membantah tudingan bahwa mereka berperan dalam kerusuhan, menyebut penangkapan ini merupakan bagian dari pola lama mengambinghitamkan kelompok yang kritis terhadap pemerintah.

Penangkapan ini terjadi di tengah wacana tentang keberadaan "aktor intelektual" di balik kerusuhan dalam unjuk rasa menentang Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.

Seorang pengamat politik menilai wacana yang digulirkan pemerintah tersebut sebagai upaya mendegradasi protes masyarakat.

"Untuk mengatakan bahwa orang-orang ini adalah aktor intelektual itu kan seperti menghina kewarasan publik, seakan-akan publik tidak punya sikap terhadap omnibus law," kata pengamat politik Hurriyah.

Siapa saja yang ditangkap dan apa alasannya?

Dalam jumpa pers pada Selasa sore, Brigjen Pol. Awi Setiono mengumumkan inisial orang-orang yang ditangkap atas sangkaan ujaran kebencian dan penghasutan terkait demonstrasi menentang omnibus law yang berakhir ricuh di sejumlah daerah.

Mereka adalah KA, JG, NZ, dan WRP yang ditangkap di Medan serta AP, SG, JH, dan KA yang ditangkap di Jakarta. Awi mengatakan semua orang yang ditangkap di Medan dan sebagian yang ditangkap di Jakarta sudah ditahan. Mereka semua diperiksa di Jakarta.

Sebelumnya pada Selasa siang, lewat pesan teks kepada BBC News Indonesia, Awi menyebut sebagian orang yang ditangkap sebagai anggota KAMI Medan: Juliana, Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri. Ia juga mengungkap nama Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin Anida yang merupakan anggota KAMI di Jakarta.

Dalam jumpa pers, Awi mengatakan delapan orang yang ditangkap dijerat dengan UU ITE dan pasal 160 KUHP tentang penghasutan.

"Mereka dipersangkakan melanggar `setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan atas SARA dan/atau penghasutan`," ujarnya.

Awi berkata perincian mengenai kasus termasuk motif dan alat bukti akan disampaikan di kemudian hari. Ia menyebut unggahan di media sosial menjadi salah satu buktinya.

"Penghasutan tentang apa, tentang pelaksanaan demo omnibus law yang berakibat anarkis... di sana memang terkait dengan percakapannya di Medsos itu menjadi satu barang bukti."

Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani mengatakan belum tahu alasan penangkapan Syahganda dan Jumhur. Adapun penangkapan Anton, diduga karena unggahan di media sosial - namun ia belum bisa memastikan isi unggahan tersebut.

Apa tanggapan KAMI?

Ahmad Yani mempertanyakan penangkapan sejumlah anggota KAMI oleh polisi. Ia juga secara khusus mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi Jumhur, yang disebutnya baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani operasi empedu.

Ia membantah bahwa kelompoknya punya andil dalam kerusuhan di ujung demo menolak Omnibus Law, mengklaim bahwa mereka adalah "gerakan moral, gerakan intelektual" yang sangat menentang kekerasan.

Lebih jauh, Ahmad menyebut penangkapan anggota KAMI sebagai "pola lama" dari upaya mendiskreditkan gerakan yang kritis terhadap pemerintah.

"Ada gerakan massa, setelah itu ada [tindakan] anarkis; bukannya mengusut anarkis itu tapi malah mencari kambing [hitam], ditujukan kepada pihak-pihak seperti KAMI ini," ujarnya.

Pada Kamis pekan lalu, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan akan menindak tegas hal yang disebutnya "aktor intelektual dan pelaku aksi-aksi anarkis dan berbentuk kriminal" dalam demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Mahfud tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan "aktor intelektual" itu, namun tuduhan seperti ini berulangkali dibantah oleh pimpinan buruh dan mahasiswa.

Bagaimanapun, wacana tentang keberadaan aktor intelektual di balik demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang diwarnai kerusuhan di sejumlah daerah terus bergulir.

Kemarin, Susilo Bambang Yudhoyono, ketua majelis tinggi Partai Demokrat yang menolak UU Cipta Kerja di parlemen membantah bahwa dirinya menggerakkan unjuk rasa. 

Mantan presiden RI itu meminta pemerintah segera mengungkap siapa aktor yang disebut-sebut "menunggangi" demonstrasi.

"Kalau tidak (disebutkan aktor intelektual itu), nanti dikira negaranya melakukan hoaks, tidak bagus, karena kita harus percaya dengan pemerintah kita," kata SBY dalam video tanya jawab yang diunggah di laman Facebook resminya.

Pada hari Senin, ditemukan sejumlah spanduk yang menuduh KAMI menunggangi aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Dilaporkan bahwa spanduk bertulisan "KAMI Terbukti Menunggangi Aksi Demo Buruh & Pelajar" sudah terpasang sebelum massa Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi di lokasi tersebut.

Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani membantah tudingan itu. "Kalau kesamaan ide bahwa kita menolak undang-undang omnibus law iya. Pertanyaannya, apakah kita melawan hukum kalau kita menolak itu? ... Hak menyatakan pendapat kan boleh," ujarnya.

`Degradasi protes publik`

Pengamat dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol-UI), Hurriyah, menilai penangkapan terhadap anggota KAMI serta wacana pemerintah tentang aktor intelektual di balik demonstrasi sebagai upaya mendegradasi protes publik.

Menurutnya, manuver seperti ini bertujuan membingkai gerakan-gerakan massa yang menolak omnibus law sebagai gerakan yang dimobilisasi. Padahal, protes terhadap undang-undang tersebut muncul dari berbagai elemen seperti buruh, mahasiswa, dan bahkan Ormas Islam.

"Bahwa kemudian ada aktor-aktor politik yang numpang dalam isu-isu ini untuk kepentingan politik mereka, itu lazim terjadi... Tetapi untuk mengatakan bahwa orang-orang ini adalah aktor intelektual itu kan seperti menghina kewarasan publik, seakan-akan publik tidak punya sikap terhadap omnibus law. Bahwa narasi penolakan yang dimunculkan oleh publik itu adalah narasi yang disebarluaskan oleh kelompok-kelompok seperti KAMI," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Hurriyah berpendapat, pemerintah sebaiknya memproses kembali masukan dari masyarakat tentang omnibus law. Salah satu langkah yang bisa dilakukan, menurutnya, adalah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Persoalannya kemudian, mau atau enggak?" ujarnya.

Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menepis anggapan bahwa pemerintah berupaya mendiskreditkan gerakan penolakan terhadap omnibus law. Ia mengatakan, polisi melakukan penangkapan berdasarkan alat bukti dan sesuai prosedur penegakan hukum.

"Tidak mungkin ada penangkapan, kalau tidak ada alat bukti yang dikumpulkan oleh aparat penegak hukum. Jadi penangkapan ini sesuatu yang sesuai prosedur penegakan hukum. Jadi tidak ada rencana untuk mendiskreditkan atau apa," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Menurut Donny, Presiden Joko Widodo sudah menanggapi substansi berbagai tudingan yang dilontarkan terhadap aturan sapu jagat itu. Masalahnya, demonstrasi yang belakangan ini terjadi ditengarai "didesain".

"Kenapa begitu? Karena indikasinya jelas. Ada anarkisme di situ, ada kekerasan di situ, ada kerusakan di situ yang pada intinya ingin menciptakan kegaduhan, instabilitas, di tengah-tengah upaya kita semua untuk menyelesaikan pandemi ini."

Siapa KAMI?

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia dideklarasikan pada bulan Agustus lalu. Gerakan ini diinisiasi antara lain oleh Din Syamsyudin.

Beberapa orang yang ikut mendirikan kelompok ini pernah mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2019, seperti Said Didu, Malem Sambat Kaban, Rocky Gerung, dan Ichsanuddin Noorsy.

Ada pula Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI yang pernah mendapat dukungan untuk menjadi bakal calon presiden pada Pilpres 2019.

Namun demikian, mereka membantah memiliki motif politik terkait pemilu 2024 mendatang.