Baiat Pengungsi Syiah Sampang jadi Suni: Cari Jalan untuk Pulang

Peristiwa penyerangan dan pembakaran rumah pengikut Syiah di Sampang, Madura delapan tahun lalu.-Getty Images
Sumber :
  • bbc

Warga sebuah desa di Sampang, Madura, mengklaim tidak akan pernah pulih dari trauma akibat konflik dengan Tajul Muluk dan ratusan orang pengikutnya, dan tak akan membiarkan mereka pulang kampung.

Warga Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, juga mengaku curiga Tajul melakukan taqiyyah - sikap untuk tidak jujur jika dalam keadaan teraniaya dan membahayakan nyawa - di balik keputusan Tajul dan pengikutnya beralih ke Suni.

Sebuah tuduhan yang sejak awal dibantah oleh Tajul Muluk.

Masyarakat desa mengatakan menyerahkan sepenuhnya pintu kepulangan ke tangan para ulama Madura, Namun di sisi lain ulama menyebut sebaliknya bahwa keputusan ada di warga desa.

Harapan Tajul Muluk dan pengikutnya untuk kembali masih tetap ada, melalui apa yang disebut warga pembuktian diri dan itu memerlukan waktu bisa sampai 10 tahun.

Delapan tahun silam, Tajul Muluk dan pengikutnya yang menganut Syiah diusir dari kampungnya.

Kala itu rumah warga Syiah di desa itu dibakar dan setidaknya satu orang meninggal dunia akibat bentrokan dengan warga Suni yang mayoritas.

Belakangan Tajul bersama sebagian pengikutnya yang mengungsi di Sidoarjo mengaku bertobat dan kembali memeluk Sunni. Mereka berharap dapat pulang ke Sampang, Madura.

Luka yang "tak akan" pernah pulih

Berjarak sekitar 100 kilometer dari Surabaya, Jawa Timur, kami menuju rumah Tajul Muluk di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Madura, Jawa Timur, Rabu (21/10), yang dibakar massa delapan tahun lalu.

Jejak peristiwa penyerangan itu masih ada. Batu bata, genting dan reruntuhan rumah berserakan -sebagian masih terlihat, dan sebagian telah diselimuti rerumputan.

Di tengah lahan yang tidak terurus itu, tanah hitam bekas terbakar juga masih terlihat - bukti panasnya bara api membakar dan meruntuhkan rumah serta pesantren milik Tajul Muluk.

Yang tersisa dan masih berdiri tegak kini hanya sebuah dinding kecil bangunan yang dulu digunakan sebagai kamar mandi.

Selain jejak di atas tanah, luka akibat kejadian itu juga masih membekas di hati masyarakat Karang Gayam.

Salah seorang warga desa yang merasakan hal ini adalah Syarifin.

Ia mengatakan, selalu merasa gelisah ketika mendengar nama Tajul Muluk, apalagi muncul wacana kepulangan mereka.

"Masih ada [luka lama], masih trauma dan membekas. Tidak akan bisa pulih. Pokoknya ada isu Tajul mau pulang, masyarakat sudah resah semua," kata Syarifin di sebuah kedai kopi.

Ia mengatakan selama delapan tahun Tajul Muluk dan pengikutnya mengungsi, kondisi desa aman, kondusif, dan tidak ada gangguan terkait agama dan keyakinan lain.

Syarifin mengatakan, luka yang masih membekas tajam adalah ketika Tajul melecehkan agama dan mencaci maki ulama - dua pegangan hidup penting warga Madura yang ketika dihina maka tidak ada kata maaf.

"Kalau ada agama dan keyakinan lain di sini, kami tidak suka. Kami tidak mau dicampur dengan yang lain. Harga mati itu," katanya.

Saat ditanya terkait dengan keputusan Tajul Muluk dan pengikutnya kembali ke Suni, Syarifin mempersilahkan.

"Tapi kalau mau pulang ke Karang Gayam tidak boleh karena meresahkan masyarakat, menciptakan permusuhan antar saudara, pasti ramai lagi, kisruh lagi," kata Syarifin yang sempat ditahan polisi usai penyerangan.


Apa tanggapan pengungsi Syiah asal Sampang, Madura?

Putra (nama samaran), terusir dari Sampang pada 2012

Putra menjelaskan, seluruh pengungsi Syiah memiliki komitmen kebangsaan yang sama yaitu ingin pulang kampung, apapun latar belakang dan keyakinannya.

"Kami ingin pulang dari awal meskipun menelan pahit perjalanan delapan tahun hanya untuk pulang," kata Putra kepada BBC News Indonesia.

"Karena itu, kami menganggap pulang kampung sebagai komitmen kebangsaan dan perjuangan atas hak dasar kami untuk hidup di mana pun pilihan kami, apapun keyakinan dan latar belakang kami," ujarnya.

Ia memohon peran ulama di Madura sebagai penengah dan penyejuk antar kedua pihak agar konflik sosial ini dapat diselesaikan dengan saling menghargai perbedaan.

"Saya ingin ulama hadir memberikan pencerahan, toleransi, kesejukan perdamaian atas nama kemanusiaan," tutur Putra


Ketakutan `taqiyyah`

Senada, tokoh masyarakat yang menjadi anggota Tim 5 - perwakilan warga Desa Karang Gayam, Mahdi Salim menegaskan, sulit bagi warga untuk melupakan luka lama yang dilakukan Tajul Muluk karena telah menghina agama dan para ulama.

Di tambah lagi, katanya, masyarakat takut bahwa Tajul Muluk sedang melakukan taqiyyah.

"Sudah tiga kali Tajul berjanji, dan semua dilanggar. Semua masyarakat di Karang Gayam dan Blu`uran sudah tidak percaya dan meyakini bahwa Tajul Muluk 100% melakukan taqiyyah," katanya.

Ketakutan itu menyebabkan peluang Tajul Muluk dan pengikutnya untuk kembali ke desa sangat kecil walaupun sudah kembali ke Suni.


Apa tanggapan Tajul Muluk atas tudingan dirinya melakukan `taqiyyah`?

"Kalau [tuduhan taqiyyah], hak setiap orang meragukannya," kata Tajul saat ditemui BBC News Indonesia di lokasi pengungsian di rumah susun Sidoarjo.

"Makanya poin-poin isi baiat nanti itu berasal dan kesepakatan dari ulama di Madura, kami harus terima karena memang harus begitu," tambahnya.

"Kalau tidak terima, kami tidak bisa meyakinkan mereka kalau kami betul-betul kembali ke Aswaja," ujar Tajul.

 `Salah satu poin yang disepakati dalam pembaiatan yaitu menyatakan Syiah adalah ajaran yang sesat dan menyesatkan, itu yang harus kami terima walaupun mungkin akan ada ketersinggungan dari mereka (kelompok Syiah). 

Istilah taqiyyah di kalangan kelompok Suni dikonotasikan sebagai sikap berbohong, namun di komunitas Syiah, istilah taqqiyah merujuk pada sikap berhati-hati dengan cara tidak berterus terang.

Hal ini dilakukan oleh komunitas Syiah untuk apa yang disebut upaya mereka untuk menyembunyikan identitas diri demi menjaga keselamatan.


Namun luka lama yang dialami warga desa mereka sebutkan bisa pulih dan kepercayaan kembali tumbuh dengan satu syarat, yaitu mendapatkan izin para ulama usai menjalani penggemblengan di pesantren Suni untuk kembali ke kampung halaman.

"Seandainya sudah digembleng dan betul-betul 100% kembali ke Suni, dan dikembalikan oleh ulama Sampang dan Madura ke sini, kami terima. Jangan pemerintah yang mengantar, tapi harus ulama," katanya.

"Namun prosesnya untuk 100% itu panjang, bisa lima hingga 10 tahun bahkan lebih karena itu sudah terlalu mengakar di mereka," katanya.

Alasan warga menolak jenazah

Selain menolak pengungsi Syiah - yang sudah sekitar delapan tahun tinggal di rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur - warga desa setempat juga tidak rela menerima jenazah yang akan dimakamkan di desa mereka.

Saat ditanya mengapa jenazah pengungsi ditolak untuk dimakamkan di kampung? Mahdi Salim mengatakan karena warga tidak mengizinkan.

Untuk itu, Tim 5 menghalau jenazah tersebut dengan tujuan mencegah munculnya kerusuhan kembali.

"Saat jenazah dibawa ke sini, masyarakat sudah tahu dan kumpul semua. Mereka membawa celurit. Pokoknya, seandainya yang mengantar 10 mobil, tidak akan kembali lagi 10 mobil. Sudah banyak yang siap untuk carok.

Masyarakat sudah kumpul dan beringas semua. Kalau jenazah sampai sini, takut tempur lagi. Makanya kami halau," kata Mahdi.

Alat-alat pemakaman seperti cangkul dan tali, kata Mahdi, kemudian dikuburkan oleh massa ke dalam liang yang sudah digali.

Jangan sampai ada lagi pertumpahan darah

Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang Bukhori Maksum tidak mau berkomentar saat kami tanyakan terkait reaksi warga dan rencana baiat dan pulangnya Tajul Muluk dan para pengikutnya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Ulama Madura (AUMA) Fadholi Mohammad Ruham mengatakan, ulama se-Madura menyambut baik keputusan Tajul Muluk kembali ke Suni.

Tapi untuk kemungkinan Tajul Muluk dan pengikutnya kembali ke Madura, kata Fadholi, ada di tangan masyarakat.

"Info yang sampai ke kami hingga kini, mereka belum diterima oleh masyarakat, kenapa? Karena dikhawatirkan taqiyyah. Itu saja persoalannya. Urusan pulang ke Madura atau tidak itu terserah Tajul Muluk dan masyarakat di sana," katanya.

Menurutnya, ulama Madura dan Pemerintah Kabupaten Sampang telah berupaya mendamaikan namun masyarakat masih menolak.

"Jangankan masih hidup, kata masyarakat sana, sudah jadi mayat pun untuk dikuburkan di daerah asal mereka masih menolak. Itu masyarakat Madura karena kalau urusan keyakinan tidak bisa ditawar.

"Jadi para ulama dalam rangka mencari solusi itu harus hati-hati benar, jangan sampai terjadi pertumpahan darah lagi seperti yang lalu," katanya.

Fadholi mengatakan, baiat tidak lantas membuka pintu pulang kampung karena perlu proses alamiah dan akan terjawab dengan waktu.

"Jika mengunakan upaya formal akan sulit. Tajul Muluk harus menunjukan benar-benar kembali ke Aswaja, tidak taqiyyah, meyakinkan dulu masyarakat dan itu lama waktunya.

"Jika mereka menunjukan dalam kehidupan sehari-hari akan terpantau sendiri oleh masyarakat dan muncul keibaan sebagai manusia dan menyembuhkan luka lama itu," katanya.

Ulama: Ini bukan hanya tentang Syiah

Apakah kasus yang menimpa Tajul Muluk dan pengikutnya menunjukan lemahnya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Madura?

Fadholi membantah hal itu. Menurutnya, kasus Tajul berbeda.

"Tajul ini kaitannya tidak hanya dengan paham Syiah, tapi juga karena dia banyak menyalahkan bahkan menyebut selama ini diajari ajaran sesat, dibalik sama dia. Jadi kalau buyut, gurunya dilecehkan, dihina, masyarakat Madura itu tidak ada ampun," katanya.

Fadholi menegaskan, Madura memberikan kebebasan penuh kepada agama yang diakui dan oleh negara, bukan kepercayaan yang sesat menurut masyarakat Madura.

"Selama agama dilindungi negara, masyarakat Madura sangat toleran. Di Madura ada Nasrani, Budha, dan Hindu. Mereka semua aman dan tidak pernah diganggu. Asal juga tidak menganggu dan menyebarkan agama mereka di tengah-tengah masyarakat.

"Tapi yang tidak dibebaskan oleh masyarakat Madura kalau pertama agamanya dihina, lalu gurunya dan buyutnya dicaci. Sehingga seakan-akan tiada ampun bagimu," katanya.

Mengapa luka itu begitu dalam?

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, PCNU Sampang, Muhammad Itqon Busiri mengatakan ulama tidak bisa berbuat banyak dalam menyelesaikan kasus ini karena keputusan ada di tangan masyarakat apakah mau menerima atau tidak.

"Kalau Tajul Muluk benar-benar 100?serta pengikutnya melepaskan ajaran lama, kemudian masuk ke ajaran yang sudah ada sejak nenek moyang dan menjalin hubungan baik. Insya Allah, mereka akan menerima, bahkan berjanji untuk menjemput," katanya.

Itqon melanjutkan, luka lama itu sulit sekali disembuhkan, dan para ulama tidak bisa berpihak ke Tajul Muluk atau ke penduduk setempat.

Alasannya karena "tradisi yang ada di daerah sana dianggap salah oleh Tajul Muluk dan pengikutnya. Padahal tradisi itu sudah terjadi sejak zaman dahulu, ini yang kemudian memicu konflik," katanya.

Untuk itu, belajar dari peristiwa Tajul Muluk, Itqon meminta seluruh masyarakat memupuk rasa toleransi dengan menahan diri untuk tidak saling mengejek dan merendahkan, walaupun bertentangan.

Bertemu dengan Bupati Sampang

Masyarakat belum menerima kepulangan Tajul Muluk, dan menyerahkan kepada ulama sebagai pengambil kebijakan. Sementara, para ulama menyebut, keputusaan pulang kampung ada di tangan masyarakat.

Apakah itu berarti jalan untuk pulang kampung bagi Tajul Muluk dan pengikutnya tertutup rapat?

Bupati Kabupaten Sampang Slamet Junaidi mengatakan Tajul Muluk dan pengikutnya tidak punya niat kembali ke Sampang. Pernyataan ini berbeda dari yang diungkapkan Tajul dan pengikutnya kepada BBC News Indonesia.

Namun, tambah Junaidi, celah pulang kampung sudah terbuka ditandai dengan kesediaan ulama menyaksikan proses pembaiatan.

Aktivis perdamaian dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Siti Hanifah melihat pola penyelesaian kasus Sampang tidak berpihak pada pengungsi dan berpotensi menciptakan preseden buruk dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Tulisan kedua terkait perjalanan pengungsi Syiah Sampang mencari jalan pulang di antara dilema iman dan "skenario" pulang kampung.

Produksi visual: Anindita Pradana