Keinginan Pengungsi Syiah Sampang Pulang Kampung

Rumah pengikut Syiah Sampang dibakar massa delapan tahun lalu di Sampang Madura.-Getty Images
Sumber :
  • bbc

Bupati Kabupaten Sampang Slamet Junaidi menyatakan `siap memfasilitasi` baiat sekitar 300 pengungsi Syiah pimpinan Tajul Muluk, namun keputusan apakah mereka boleh pulang ke Madura diserahkan kepada ulama dan masyarakat desa.

Selama delapan tahun terakhir, para pengungsi Syiah itu tinggal di rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur, setelah terusir dari kampung halaman mereka.

Bupati juga menegaskan, Tajul Muluk dan pengikutnya tidak berencana pulang ke kampung halaman mereka usai menjalani baiat yang dijadwalkan pada Kamis (5/10) di sasana Pendopo Agung Bupati Sampang.

Pernyataan Bupati ini berbeda dengan apa yang diungkap oleh para pengungsi Syiah Sampang saat diwawancarai BBC News Indonesia yang mengatakan mereka tetap ingin pulang ke tanah kelahiran mereka.

Aktivis perdamaian dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Siti Hanifah, menyebut, pola penyelesaian konflik sosial pengungsi Sampang menunjukkan lemahnya peran pemerintah dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Lebih dari itu, kata Hanifah, kasus Sampang juga berpotensi menciptakan preseden buruk dalam penyelesaian konflik sosial atas nama agama di Indonesia - dengan kelompok minoritas kalah dan mengikuti keinginan mayoritas.

"Kami hanya memfasilitasi"

Saat ditemui di kediamannya, Bupati Sampang, Junaidi, membantah tudingan dari salah satu pengungsi Syiah yang menyatakan Pemkab Sampang berperan di balik keputusan Tajul Muluk dan pengikutnya meninggalkan ajaran Syiah dan kembali ke Suni.

Menurut Junaidi, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator yang dimulai saat Pemkab Sampang menerima surat di atas materai yang berisi pernyataan Tajul Muluk dan penghuni rusun kembali ke Suni, dan meminta pembaiatan mereka disaksikan seluruh pihak.

Pemkab Sampang - kata Junaidi - menyampaikan permohonan itu ke masyarakat dan ulama di Madura, serta aparat keamanan hingga pemerintah pusat.

Reaksinya, para ulama bersedia menerima dan menyaksikan pembaiatan Tajul Muluk dan pengikutnya.

Reaksi positif juga ditunjukkan warga Desa Karang Gayam dan Blu`uran - tempat Tajul Muluk dan pengikutnya berasal.

"Cuma dengan catatan, tolong jika Tajul Muluk dan pengikutnya mau pulang untuk dikomunikasikan dulu. Kami sebagai fasilitator tentu apa yang menjadi usulan dan permintaan ulama dan masyarakat kami musyawarahkan juga dengan Tajul Muluk," kata Junaidi.

`Di tangan ulama`

Keputusan Tajul Muluk dan pengikutnya dapat pulang atau tidak, menurut Junaidi, ada di tangan para ulama Madura.

"Untuk kembali ke kampung, kita menunggu ulama. Kalau ulama sudah menerima, dan Tajul sudah meyakinkan ulama bahwa ia benar-benar tidak berkhianat. Saya yakin selesai. Ini urusan hati dan kemanusiaan," kata Junaidi.

Walaupun sebenarnya, kata Junaidi, selama komunikasi terjalin, Tajul Muluk tidak pernah menyampaikan sedikit pun niat untuk kembali ke Sampang.

"Malah saya tanya, setelah pembaiatan (kamu) sampean punya keinginan kembali ke Sampang, ia jawab tidak. Ustadz Tajul hanya ingin disaksikan pembaiatan oleh para ulama, tidak ada keinginan untuk kembali," katanya.

Menyambung silaturahmi yang putus

Junaidi menyebut, keputusan para ulama Madura menerima dan akan hadir dalam pembaiatan menunjukkan adanya kemajuan positif dan membuka celah untuk dilakukan konsolidasi serta rekonsiliasi antara kedua pihak.

Untuk itu usai pembaiatan, Pemkab Sampang akan menyambung kembali silaturahmi yang terputus antara Tajul Muluk dengan ulama dan masyarakat Sampang.

"Nanti saya ingin ada pertukaran komunikasi, ada saling kunjung mengunjungi antar kedua pihak, sekalipun itu di Sampang, atau di mana pun," katanya.

Namun, Junaidi menyadari, bahwa luka lama kekerasan masa lalu sampai sekarang belum pulih melihat karakter orang Sampang yang pendendam.

"Tentunya susah untuk melupakan sejarah yang sudah sama-sama melukai kedua pihak. Tapi kami akan terus memfasilitasi bagaimana mereka rekonsiliasi, ketemu, musyawarah dan berdamai, itu tugas pemerintah," katanya.

Bupati: `Saya dicap pro-Syiah`

Keputusan untuk memfasilitasi pembaiatan Tajul Muluk dan pengikutnya, menyebabkan Bupati Junaidi mendapat cap pro-Syiah dari beberapa kelompok masyarakat Sampang.

"Saya disebut bupati pro-Syiah. Bupati ini berdiri tegak lurus untuk menjaga kondusivitas daerah dan mensejahterakan warga kami, sekalipun ada perbedaan ideologi, keyakinan dan lainnya. Kami akan hadir," katanya.

Junaidi juga menegaskan, selama Tajul Muluk dan pengikutnya hidup di pengungsian, Pemkab Sampang selalu memberikan perlindungan dan bantuan kepada mereka.

"Di mana letak pemerintah tidak peduli? Kami intens komunikasi, diskusi, bagaimana jalan keluarnya, kami menjadi fasilitator. Kami juga memberikan bantuan Covid-19, penyemprotan, dan lainnya. Mereka warga kami dan tanggung jawab kami," katanya.

Walaupun, Junaidi menyadari, bantuan yang diberikan Pemkab Sampang tidak maksimal akibat ketiadaan anggaran.

"Ada anggaran cuma Rp1,2 miliar dan itu untuk pengamanan dari Brimob yang sengaja ditaruh di daerah konflik tersebut. Kalau masalah ini selesai maka tidak perlu menganggarkan lagi dan bisa didistribusikan ke masyarakat," katanya.

Bantuan jaminan hidup dan rumah susun selama ini ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Penuturan pengungsi yang menyatakan tetap memegang Syiah

Sebagian dari sekitar 350 pengikut Tajul Muluk mengatakan tetap pada keyakinannya dan tidak mau ikut dibaiat.

Salah seorang di antara mereka - pengungsi yang tak mau disebutkan namanya - menyebut terdapat campur tangan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam apa yang ia sebut "skenario alamiah" kembali ke Suni.

Yang dia maksud dengan "skenario alamiah" adalah seolah para pengungsi Syiah ini ingin dibaiat atas keinginan mereka sendiri tanpa pengaruh dari pihak luar, termasuk pemerintah kabupaten.

Pengungsi ini menceritakan, pada 10 September lalu, Tajul Muluk dan penyintas Syiah mengirimkan surat permohonan ke Pemkab Sampang yang isinya menyatakan mereka kembali ke Suni dengan sadar dan minta difasilitasi proses pembaiatannya.

"Tapi, tiga bulan sebelumnya, Pemkab Sampang telah terlibat dalam pemindahan anak-anak rusun dari lembaga pendidikan Syiah ke Suni, bahkan melibatkan petinggi aparat keamanan yang memindahkan dan mengantar ke sana," katanya.

Artinya, katanya mencoba mengambil kesimpulan, pemerintah sudah tahu dan terlibat dari awal.

"Surat itu hanya skenario, dan dikonstruksikan seolah-olah alamiah. Padahal semua langkah diambil di rusun, para pemangku kebijakan sudah tahu dari awal," katanya.


Merelokasi para pengungsi

Tidak berhenti di pembaiatan, kini Pemkab Sampang tengah berkomunikasi dengan seluruh pihak untuk membicarakan nasib Tajul Muluk dan pengikutnya selanjutnya.

Terdapat banyak konsep yang sedang dipikirkan, seperti di antaranya adalah merelokasi mereka dari Rusunawa Puspa Agro.

"Dan memberikan mereka bantuan perumahan bunga 0%, atau tanpa uang muka, atau membantu cicilan dengan memasukan satu orang anggota keluarga ke perusahaan untuk bekerja. Semua itu kami pikirkan," katanya.

"Semuanya harus berpikir bersama, dari masyarakat kampung hingga pemerintah pusat, bagaimana nasib saudara kita usai pembaiatan. Itu tanggung jawab kita semua," katanya.

Termasuk juga kemungkinan mereka untuk kembali ke kampungnya, walaupun Junaidi menegaskan tidak ada keinginan Tajul Muluk untuk pulang.

"Kecuali umpamanya Tajul Muluk ada satu klausul menyatakan setelah pembaiatan ingin pulang, dan para ulama menerima, itu akan kami komunikasikan. Tapi selama ini, Tajul Muluk tidak pernah meminta apa-apa ke kami," katanya.

Preseden buruk dan hukum rimba

Aktivis perdamaian dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Siti Hanifah mengkritisi pernyataan Bupati Junaidi yang menyerahkan keputusan pemulangan ke tangan ulama dan masyarakat.

"Tidak bisa begitu, tidak bisa pemerintah menyerahkan kepada masyarakat dan ulama. Itu namanya hukum rimba yang dipakai, bukan konstitusi negara," kata Hanifah.

"Bagaimana kalau pelaku kekerasan itu adalah bagian dari ulama dan masyarakat itu sendiri yang kemudian diberikan kekuasaan untuk mengambil keputusan? Ini berarti pemerintah berpihak," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus memulangkan mereka ke kampung halamannya, walaupun masyarakat dan ulama menolak karena setiap warga negara berhak memilih tinggal dimana saja apapun latar belakangnya.

"Kalau mereka tidak memulangkan ke kampung halaman dengan alasan ketakutan konflik terulang. Itu adalah tugas negara bagaimana mencegah konflik berulang, bukan kemudian melarang pulang dan memindahkan mereka ke tempat yang tidak mereka inginkan," katanya.

"Jangan para pengungsi dipaksa mengikuti kemauan, keinginan dan keputusan kelompok mayoritas," katanya.

Jika para penyintas tidak dipulangkan bahkan pemerintah lebih memilih opsi merelokasi maka akan menyebabkan preseden buruk di masa depan di mana kekerasan dan pengusiran menjadi pembenaran dalam upaya penyelesaian konflik sosial atas nama agama.

"Ketika ada konflik di tempat lain, mereka akan menjadikan ini sebagai referensi. Oh, di Sampang tidak perlu dipulangkan, pelaku kekerasan tidak dihukum, bukan pelanggaran HAM, dan bisa dilakukan. Ini sangat berbahaya," katanya.

Ormas Syiah: `Jangan ada pemaksaan`

Organisasi masyarakat Syiah, Ahlulbait Indonesia (ABI) yang melakukan pendampingan terhadap para pengungsi Sampang dari awal kasus, menghormati keputusan Tajul Muluk dan pengikutnya yang melakukan konversi dari Syiah ke Suni.

"Hanya yang patut dipastikan tidak boleh ada tekanan di situ, baik kepada Tajul Muluk sendiri, maupun dari Tajul Muluk ke saudara-saudara di rusun," kata Sekretaris Utama DPW ABI Jawa Timur yang juga pendamping utama advokasi kasus Sampang, Muhammad Muadz.

Muadz menekankan, ABI juga akan tetap memberikan pendampingan kepada siapapun yang meminta bantuan, baik dari pengungsi yang kembali ke Suni maupun tetap di Syiah.

"Seperti hak dasar mereka yang terusir dari rumah dan meminta kembali ke tempat asal, jika diminta kami akan berikan pendampingan," katanya.

Selama delapan tahun dalam keterasingan, kata Muadz, para pengungsi mengalami tekanan sosial, dan ekonomi secara bertubi dalam ketidakpastian.

"Selama delapan tahun mereka hidup tanpa ada kejelasan akan dikemanakan nasib mereka. Itu membentuk sebuah tekanan yang luar biasa pada mereka dan kemudian berdampak pada sisi ekonomi, sosial dan pendidikan bagi anak-anak," kata Muadz.

Yang sering dikeluhkan penyintas selama di pengungsian, ujar Muadz adalah, pertama tempat tinggal yang terisolasi sehingga tidak bisa menjalani hidup normal seperti di kampung.

Kedua, dari sisi ekonomi, yaitu perpindahan dari kampung ke kota memunculkan pola hidup sedikit hedonis yang membuat beban ekonomi semakin berat walaupun mendapatkan bantuan jaminan hidup dari pemerintah dan penghasilan dari pengupas kelapa yang minim.

"Tekanan-tekanan ini terakumulasi selama delapan tahun dan cukup membuat beban psikologi mereka makin berat," katanya.

Hanifah juga menyebut, berlarutnya penyelesaian kasus Tajul Muluk menyebabkan para pengungsi "lelah dan mencari jalannya sendiri, termasuk meninggalkan keyakinannya."

Padahal, solusi penyelesaian konflik sosial atas nama agama sebenarnya mudah karena telah memiliki instrumen hukum yang lengkap.

"Yaitu, mereka dipulangkan, lalu diberikan perlindungan keamanan. Tapi semua jadi sulit karena dipolitisasi, berhitung untung rugi dari sisi politik," katanya.

Kini mayoritas penyintas Sampang memasuki usia senja di pengungsian. Mimpi-mimpi untuk pulang dan beristirahat tenang di kampung halaman sepertinya masih jauh dari angan.

"Kunci kepulangan mereka ada di tangan pemerintah. Apakah mau menegakkan UUD 1945 yang memberikan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaannya, atau kalah oleh tekanan kelompok mayoritas yang berpotensi menyebabkan preseden buruk di masa depan." kata Hanifah di penghujung wawancara.