DPR: Kewajiban Berjilbab bagi Siswi Nonmuslim Ancam Kebhinnekaan

Ilustrasi siswi berjilbab.
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVA – Beredarnya informasi tentang dugaan kewajiban siswi nonmuslim mengenakan jilbab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat memicu keprihatinan banyak kalangan. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan, kewajiban tersebut dinilai terlalu berlebihan dan mengancam kebhinnekaan

"Kami sangat prihatin dengan fenomena maraknya sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Banyak tenaga-tenaga pendidik yang tidak tepat dalam mengajarkan semangat keberagamaan di kalangan siswa," kata Huda, yang dikutip Sabtu, 23 Januari 2021 

Huda mengatakan, fenomena di Sumbar bukanlah kejadian pertama yang menunjukkan menguatnya sikap intoleransi di sekolah-sekolah negeri. Sebelumnya juga ada kejadian seorang guru di Jakarta yang meminta siswa-siswanya memilih calon ketua OSIS dengan alasan SARA.

Baca juga: Kisruh Siswi Nonmuslim Wajib Berjilbab, Ini Kata Disdik Sumbar 

Kejadian serupa juga sempat terjadi di Depok, Jawa Barat. "Kejadian-kejadian tersebut cukup memprihatinkan karena diduga dilakukan oleh tenaga kependidikan di sekolah negeri yang harusnya mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila dengan inti penghormatan terhadap nilai kebhinekaan," katanya.
 
Menurut Huda, di era otonomi daerah, penyelenggaraan SMA dan SMK negeri di bawah kewenangan dari Pemprov. Mereka mempunyai otoritas untuk mengatur arah kebijakan sekolah, distribusi guru, hingga kebijakan anggaran. 

Meski begitu, harusnya kebijakan-kebijakan tersebut tetap mengacu pada nilai-nilai dasar pilar bernegara yakni UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

"Tidak benar jika atas nama otonomi daerah, suatu wilayah mempunyai kebebasan termasuk unit penyelenggaraan pendidikan membuat aturan yang secara prinsip bertentangan dengan nilai-nilai dasar kita dalam berbangsa dan bernegara," ujarnya.

Politikus PKB ini juga menyoroti kian mudahnya cara pandang keagamaan sempit dan kaku masuk lembaga pendidikan negeri. Fenomena ini, menurutnya, harus menjadi konsen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar menyiapkan kebijakan antisipatif, baik melalui kurikulum maupun pembinaan SDM sehingga lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air tidak mudah terpapar cara pandang keagamaan yang intoleran. 

"Dalam upaya merekrut tenaga dosen atau guru misalnya harus ada screening yang ketat mengenai rekam jejak mereka. Pun demikian, dalam aktivitas belajar mengajar maupun kegiatan ekstra kurikuler jangan sampai ada materi-materi yang disisipi nilai-nilai intoleran," ujarnya.