Bupati Bandung Barat Aa Umbara Didakwa Atur Tender Bansos COVID-19

Sidang bupati Bandung Barat non aktif Aa Umbara
Sumber :
  • VIVA.co.id/Adi Suparman

VIVA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Bupati Bandung Barat non aktif Aa Umbara atas kasus pengadaan bantuan sosial atau bansos COVID-19. Aa Umbara hadir secara virtual menyaksikan pembacaan dakwaan jaksa.

Aa didakwa menerima keuntungan enam persen dari total keuntungan dengan cara berperan penuh dalam refocusing anggaran penanganan COVID-19 yang dialokasikan Belanja Tidak Terduga (BTT) tahun anggaran 2020 senilai Rp52,1 miliar. Kemudian, Aa merencanakan pengadaan paket kebutuhan pokok bagi warga Bandung Barat yang terdampak pandemi COVID-19.

"Namun, karena menginginkan adanya keuntungan bagi dirinya dan keluarganya, maka terdakwa menunjuk penyedia paket bansos adalah orang-orang terdekatnya dan keluarga," ujar Jaksa KPK Budi Nugraha di ruang II Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung, Rabu 18 Agustus 2021.

Selanjutnya, bertempat di rumahnya, Aa Umbara bertemu terdakwa M. Totoh Gunawan, pengusaha yang juga merupakan temannya sejak kecil. Totok diketahui bagian tim sukses Aa saat Pilkada 2018. Aa dan Totoh bersepakat menjadi penyedia paket bansos untuk masyarakat Kabupaten Bandung Barat sebanyak 120 ribu paket.

Bansos itu masuk dalam kegiatan Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan harga Rp300 ribu per paket sembako dan untuk kegiatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) senilai Rp250 ribu per paket sembako. Setelah itu, terdakwa melakukan pertemuan dengan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat Heri Partomo, Anni Roslianti selaku Kabag Pengadaan Barang Jasa pada Setda Kabupaten Bandung Barat.

Selain itu, ada Bendahara Pengeluaran pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat, Priyo Nugroho dan Kasubbag Pengelolaan Layanan Pengadaan Secara Elektronik pada Setda Kabupaten Bandung Barat Kresna Achmad Fathurrahkim, lalu Kabag Hukum Kabupaten Bandung Barat Siti Nurhayati.

Dalam pertemuan itu, dihadiri juga oleh Totoh selaku pemilik PT Jagat Dir Gantara dan CV Sentral Sayuran Garden City Lembang. 

"Saat itu terdakwa langsung memperkenalkan dan menunjuk M. Totoh Gunawan adalah yang akan menjadi penyedia pengadaan paket bahan pangan (sembako) program JPS dan paket pengadaan pangan (sembako) program PSBB pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat TA 2020," jelas Budi.

Selain menggunakan perusahaan milik Totoh dalam pengadaan bansos ini, terdakwa juga melalui Heri Partomo menunjuk perusahaan yang disiapkan Andri Wibawa. Status Andi merupakan putra kandung terdakwa melalui Denny Indra Mulyawan dan Hardy Febrian Sobana yaitu CV. Jayakusuma Cipta Mandiri dan CV. Satria Jakatamilung.

Terdakwa juga mengizinkan Diane Yuliandari yang juga istri sirinya melalui Dicky Yuswandira (adik kandung dari Diane) untuk ikut menjadi penyedia sebagian barang  paket sembako bansos COVID-19 pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat yang akan dilakukan Andri Wibawa.

"Selanjutnya terdakwa melalui Heri Partomo memerintahkan Dian Soehartini selaku PPK untuk langsung membuat surat pesanan paket Bansos kepada perusahaan yang disiapkan oleh Andri Wibawa," lanjut jaksa Budi. 

Pesanan dilakukan empat tahap. Pertama, tanggal 14 Mei 2020 sebanyak 16.002 paket sembako dengan biaya sebesar Rp 4.800.600.000. Kedua, 18 Mei 2020, sebanyak 24.536 paket sembako dengan biaya sebesar Rp 7.360.800.000. Ketiga, pada 6 Juli 2020 sebanyak 40.073 paket sembako dengan biaya sebesar Rp12.021.900.000. 

Pun, keempat, 14 Agustus 2020 sebanyak 40.064 paket sembako dengan biaya sebesar Rp 12.019.200.000. Budi menyatakan, dari 6 kali pengadaan 55.378 paket sembako senilai Rp15.948.750.000, M. Totoh Gunawan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 3.405.815.000.  

Sementara, Andri mendapatkan 4 kali pengadaan dengan jumlah sebanyak 120.675 paket sembako senilai Rp 36.202.500.000 

"Sehingga atas pengadaan paket bansos tersebut Andri Wibawa menerima keuntungan sebesar Rp2.600.000.000 atau sekira jumlah tersebut dan Diane Yuliandari bersama Dicky Yuswandira mendapatkan keuntungan sebesar Rp188.000.000," jelasnya.

Adapun, penasehat hukum Aa Umbara, Rizky Rizgantara menyatakan, angka enam persen bukan permintaan kliennya. "Jadi, sebenarnya faktanya klien kami tidak pernah meminta fee 6 persen sebagaimana dakwaan jaksa," ujar Rizky usai persidangan.

Menurutnya, angka 6 persen merupakan cara terdakwa lain dalam kasus ini, M Totoh Gunawan agar mendapatkan keuntungan banyak dalam pengadaan paket bansos COVID-19. Menurut Rizky, angka 6 persen muncul dari pembicaraan Totoh dan direktur di perusahaannya yang bernama Yusuf. 

"Itu bukan permintaan Pak Aa Umbara. Itu bukan fee yang diminta. Angka 6 persen itu cuma cara Totoh supaya dapat bagian lebih. Dia bilang itu ke direktur perusahaannya, Yusuf. Jadi, bukan kesepakatan dengan klien kami," tutur Rizky. 

Rizky menegaskan, kasus tersebut hanya jual beli dan tak ada kerugian negara yang timbul. "Dalam konteks perkara ini memang tidak ada kerugian negara yang timbul. Ini bisa dilihat dari uraian pasal-pasal yang tadi disebutkan dalam dakwaan," ujarnya. 

Atas perbuatannya, Aa Umbara didakwa sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf i Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.