Mengenal KH Ali Manshur Siddiq, Penggubah Salawat Badar

Almarhum KH Ali Manshur Siddiq
Sumber :
  • VIVA / Nur Faishal (Surabaya)

VIVA – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menganugerahkan almarhum KH Ali Manshur Siddiq dengan penghargaan Jer Basuki Mawa Beya saat acara haul ke-51 kiai tersebut di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat malam, 3 Septermber 2021. Kiai Ali diberi penghargaan karena jasanya menggubah Salawat Badar yang saat ini dikenal luas di Indonesia, bahkan dunia.

Mengutip Laduni.id, Kiai Ali Manshur Siddiq adalah putra pasangan KH Manshur bin KH Shiddiq-Sofiyah binti KH Basyar yang lahir di Jember pada 23 Maret 1921. Kakek Kiai Ali Manshur, KH Siddiq, adalah ulama besar yang melahirkan banyak ulama besar di kemudian hari, seperti KH Mahfudz Siddiq, KH Ahmad Siddiq, dan KH Abdul Hamid atau Mbah Hamid Pasuruan.

Dari jalur kakek, nasab Kiai Ali Manshur menyambung ke Pangeran Sayyid M Shihabuddin Digdoningrat atau Mbah Sambu Lasem bin Sayyid M Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban atau Sultan Mangkunegara III. Karena itulah KH Abruddahman Wahid alias Gus Dur menyebut Kiai Ali Manshur dengan habib, panggilan khusus untuk keturunan Rasulullah.

Kiai Ali Manshur menjalani masa kecilnya di desa kelahiran ibundanya di Tuban. Di sana dia mempelajari ilmu agama secara ketat. Setelah itu, Kiai Ali belajar di beberapa pesantren, di antaranya Pesantren Termas, Pacitan, Pesantren Lasem, Pesantren Lirboyo, Kediri, dan Pesantren Tebuireng, Jombang.

Kiai Ali dikenal menguasai ilmu Arudl dan Qowafi, ilmu dasar-dasar membuat syair berbahasa Arab. Kemampuan inilah yang di kemudian hari mendorongnya melahirkan bait-bait Shalawat Badar yang dikenal luas sampai sekarang, yang digubah Kiai Ali pada tahun 1962 di Banyuwangi, saat situasi Indonesia tak menentu pasca Dekrit Presiden 1959, yang puncaknya terjadi Peristiwa Gestapu 1965.

Setelah itu Shalawat Badar jadi semacam lagu wajib di acara-acara NU dan pada perkembangannya sering dilantunkan oleh masyarakat luas di luar acara-acara NU. Konon, Shalawat Badar saat itu juga dipakai untuk menandingi lagu ‘Genjer-genjer’ PKI. Shalawat Badar digunakan untuk mengobarkan semangat warga NU dan umat Islam untuk melawan partai terlarang tersebut.

Atas jasanya itu, Gus Dur menganugerahkan Kiai Ali Manshur dengan penghargaan Bintang NU saat Mutamar NU ke-29 di Krapyak, Yogyakarta, tahun 1989, saat Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU. Hal itu ditegaskan lagi oleh Gus Dur saat berpidato sebagai Presiden RI di acara Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, tahun 1999.

Khofifah mengatakan, selain anugerah Jer Basuki Mawa Beya, Pemprov Jatim juga akan mengusulkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar Shalawat Badar ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. “Segera kami usulkan,” kata Khofifah saat sambutan penyerahan penghargaan ke almarhum Kiai Ali Manshur Siddiq.