Vonis Nihil Kasus Asabri, Begini Penjelasan Ahli Pidana 

Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat jadi tersangka kasus Jiwasraya
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Vonis nihil yang diajtuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepada Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam perkara korupsi pengelolaan dana PT Asabri dan tindak pidana pencucian uang memicu polemik. Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum sebelumnya menuntut terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.

Heru Hidayat juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita dan bila tidak dibayar harta bendanya akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut.

Majelis hakim sepakat bahwa Heru terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan yaitu dakwaan pertama pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Ancaman perampasan kemerdekaan berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara seumur hidup dan ketentuan pasal 67 KUHP menyatakan jika terdakwa telah divonis seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim," kata hakim anggota Ali Muhtarom.

Hakim berpendapat, Heru Hidayat telah terbukti melakukan pidana sebagaimana dakwaan kesatu dan kedua primer dengan ancaman pidana maksimal penjara seumur hidup. Menariknya, Heru Hidayat dalam perkara korupsi dan pencucian PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah divonis penjara seumur hidup, berdasarkan vonis pengadilan di tingkat banding yang menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. 

Sesuai ketentuan Undang-Undang, hakim berpedoman bahwa jika seseorang telah dijatuhi pidana mati atau seumur hidup tidak boleh dijatuhi pidana selain pengumuman hukuman lain (pencabutan hak-hak tertentu).

"Berdasarkan pertimbangan tersebut meski terdakwa bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka pidana yang dijatuhi dalam perkara a quo adalah nihil," ungkap hakim Ali Muhtarom

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Petrus Salestinus sudah memprediksi bahwa vonis hakim atas perkara Heru Hidayat di kasus Asabri akan berakhir vonis nol alias nihil. 

"Karena Heru Hidayat sudah divonis putusan penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya, maka jika yang bersangkutan divonis bersalah lagi dalam kasus Asabri dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, maka putusan dalam kasus Asabri akan nol," ujar Petrus kepada wartawan.

Menurut Petrus, Indonesia tidak mengenal pidana penjara kumulatif seperti di Amerika Serikat yang memungkinkan orang bisa dipenjara sampai ratusan tahun. Pidana penjara tertinggi di Indonesia, kata dia, adalah seumur hidup. Jika bukan seumur, maka pidana penjara terberatnya adalah penjara tertinggi ditambah sepertiga-nya.  

"Karena penjara seumur hidup merupakan pidana penjara tertinggi dan Indonesia tidak mengenal pidana penjara kumulatif seperti di AS," ujar Petrus

Sidang vonis terdakwa Asabri Heru Hidayat

Photo :
  • ANTARA

Hakim Konsisten

Senada, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno juga menyatakan putusan terhadap Heru Hidayat di kasus Asabri adalah pidana blanko, yang artinya pidana penjaranya nol alias nihil. Heru sebelumnya sudah dijatuhi pidana penjara seumur hidup di kasus korupsi dan pencucian uang PT Asuransi Jiwasraya.

Nur menjelaskan pidana penjara seumur hidup merupakan pidana penjara maksimun yang berlaku di Indonesia. Artinya, sepanjang hidupnya, terpidana tersebut berada di dalam penjara. Jika dalam suatu kasus, terpidana seperti Heru Hidayat sudah divonis pidana penjara seumur hidup, maka dalam kasus-kasus lain di mana yang bersangkutan terbukti bersalah, tidak bisa lagi dijatuhi hukuman penjara.
 
"Karena apa? Karena Indonesia tidak menerapkan pemidanaan penjara komulatif seperti di Amerika Serikat, di mana terdakwa bisa divonis pidana penjara 500 tahun. Di Indonesia, paling pidana penjara terberat adalah pidana penjara tertinggi ditambah sepertiganya. Tetapi kalau sudah pidana penjara seumur hidup, maka pidana terberat tidak berlaku lagi karena itu yang sudah yang paling berat, selama hidupnya berada di penjara," terang Nur. 

Lebih lanjut, Nur menilai majelis hakim konsisten menjatuhkan hukuman terhadap Heru Hidayat sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dan fakta persidangan. Karenanya, kata dia, tuntutan pidana hukuman mati Heru Hidayat oleh JPU tidak tepat karena tuntutan tersebut tidak terdapat dalam surat dakwaan.  

"Secara aturan, hakim memutuskan perkara berpegang pada surat dakwaan karena itulah yang diperiksa dan dibuktikan dalam persidang-persidangan sebelum putusan. Nah, dalam kasus Asabri ini, JPU tidak menjerat atau mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat hukuman mati dalam surat dakwaan Heru Hidayat," ungkap dia. 

Selain itu, lanjut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan kasus Asabri bukanlah pengulangan tindak pidana. 

Menurut dia, tindakan Heru Hidayat dalam kedua kasus tersebut masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri. 

"Kalau pengulangan tidak pidana atau residive berarti dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua atau tempus hampir bersamaan, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan," pungkas Nur.