IPAC: Negara Harus Bisa Perjelas Definisi Radikalisme

Seminar nasional 'Tantangan dan Strategi Kontra Radikalisme di Indonesia'.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Penegakan hukum terhadap kelompok radikal yang menebar kekerasan perlu diterapkan. Penilaian tersebut karena teror mengarah kekerasan oleh kelompok radikalisme sudah menyasar sejumlah negara tak terkecuali Indonesia.

Demikian disampaikan pendiri sekaligus penasehat Institute for Policy Analisys of Conflict (IPAC) Sidney Jones dalam seminar nasional 'Tantangan dan Strategi Kontra Radikalisme di Indonesia'. Namun, ia menyinggung definisi radikalisme perlu diperjelas.

Menurutnya, definisi radikalisme perlu dipertegas agar tak mudah disematkan kepada orang atau kelompok yang berbeda ideologi maupun politik. Dia mencontohkan seperti bila ada orang atau kelompok yang mengadvokasi negara Islam di Indonesia dikategorikan radikalisme atau bukan.

"Apakah itu radikalisme karena isi yang didorong atau didukung? Atau kalau ada yang mengadvokasi untuk balik ke piagam Jakarta. Apakah itu radikal atau ekspresi politik tapi sesuatu yang harus dibiarkan dalam satu pemerintah demokrasi asal damai? Ini tentu harus diperjelas definisi radikalisme," kata Sidney dikutip pada Minggu, 13 Maret 2022.

Bagi Sidney, perbedaan cara pandang, selama tak ada pemaksaan dan ancaman kekerasan tentu jadi bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi Undang-Undang. 

"Kalau advokasi tanpa memaksa semestinya diperbolehkan. Karena dengan kebebasan berekspresi seperti yang dilindungi UUD 45 seharusnya bebas mengajukan opini," jelasnya.

Densus 88 Antiteror memeriksa rumah kontrakan tempat terjadi ledakan Bom Panci di Kelurahan Sekejati, Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (8/7/2017).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Agus Bebeng
 

Namun, dia menyampaikan jadi berbeda saat yang disampaikan kategori hasutan atau ujaran kebencian yang mengarah kekerasan. Dia bilang hal itu harus ditindak secara hukum. 

Alasan Sidney karena pemikiran itu bukan lagi bagian dari kebebasan berekspresi. Tapi, sudah kategori kejahatan lantaran sudah memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan. 

Kemudian, ia mencontohkan kasus pada 2008 saat salah seorang petinggi Front Pembela Islam (FPI) menyerukan anggotanya untuk membunuh kelompok Ahmadiyah. Dia mengatakan seharusnya aparat hukum ketika itu bisa langsung memproses untuk menangkapnya. 

"Saya masih ingat pada 2008 waktu seorang dari FPI berceramah pada malam hari di pesantren. Waktu emosi terhadap Ahmadiyah sangat tinggi dan di depan orang-orang itu (jemaah), laki-laki semua. Dia bilang 'Bunuh Ahmadiyah! 'Bunuh Ahmadiyah!' Bunuh Ahmadiyah!," tutur Sidney.

Dia khawatir begitu usai mendengar ceramah tersebut, ada pengikut yang emosi terpancing untuk membuat kekerasan.

"Bisa saja orang keluar dari ceramah pada saat itu dan mulai bikin kekerasan terhadap orang yang mereka tidak senangi," tutur pengamat terorisme Asia Tenggara tersebut. 

Menurutnya, gaya ceramah seperti itu kategorinya sudah penghasutan dan mestinya langsung ditangkap. 

Sementara, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Sunaryo menyoroti konservatisme agama di Indonesia sebagai fenomena yang perlu diwaspadai. Dia menyampaikan konservatisme yang berkembang di Tanah Air cenderung membuat masyarakat anti terhadap perbedaan. 

Dia meminta negara untuk membuat kebijakan terukur agar kelompok konservatif tak semakin membesar. 

"Hal tersebut yang di-highlight Cak Nur, kecenderungan seseorang yang belajar agama semakin anti terhadap orang yang berbeda. Itu menurut saya harus diwaspadai," jelasnya. 

Lalu, dosen pascasarjana Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad mengatakan radikalisme ada yang muncul di kalangan anak muda. Paham radikal itu diperoleh kerena bisa saja dapat ceramah dari penceramah konservatif dan radikal. Ia mencontohkan adanya kelompok pengajian ekslusif yang memunculkan anak muda.

"Yang tidak ingin bersosialisasi dengan tetangga kemudian mendapatkan penetrasi atau ajaran radikal dari ulama garis keras yang eksklusif," tuturnya.