Mengapa Selalu Ada Konflik Ahmadiyah?

Aksi Demonstrasi Anti Ahmadiyah
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews - Puluhan massa Front Pembela Islam (FPI) kembali menyerang masjid Ahmadiyah di Gang Sapari Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, Kamis tengah malam, 25 Oktober 2012. Penyerangan ini tepat saat jamaah sedang melaksanakan takbir Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1433 Hijriyah.

Tragedi Ahmadiyah bukan hanya terjadi di Bandung, jauh sebelum itu di daerah-daerah lain kerap terjadi pengusiran. Di Lombok, misalnya, pada tahun 2004 para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat itu harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Jumlahnya tak sedikit, mencapai 36 kepala keluarga dan 138 jiwa. Bertahun-tahun mereka harus tinggal di Wisma Transito.

Tak hanya di Lombok, jamaah Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011. Akibatnya, pada 29 Januari, puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar. Tapi, setelah evakuasi, sekretariat mereka dirusak dan diobrak-abrik. Pintunya dijebol, dan dokumen disita. Papan nama hijau di depan bangunan dirobohkan.

Di barat Nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya, bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta. Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang  sebanyak 33 dan 50 kali.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi masalah dengan Ahmadiyah?

FPI selalu menggembar-gemborkan bahwa Ahmadiyah itu telah melenceng dari Islam. Selain itu, keberadaannya sudah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Surat itu memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.

Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur. FPI, misalnya, memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, di tengah massa FPI Sulawesi Selatan yang beraksi saat itu.

Adalah perbedaan tafsir mengenai nabi terakhir yang jadi petaka. Ahmadiyah menafsirkan, setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad, nabi yang tak membawa syariat baru.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam--mulai Islam radikal sampai moderat, kata Slamet, semua tak sependapat dengan akidah Ahmadiyah itu. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.

Juru bicara Front Pembela Islam Munarman mengatakan keyakinan itu sama saja menodai Islam. Dia mengatakan, tak hanya kepercayaan atas nabi terakhir, beberapa keyakinan Ahmadiyah juga dinilai sesat. Misalnya, kata Muhammad di dalam Alquran tak ditafsirkan sebagai Muhammad, melainkan Mirza Ghulam Ahmad. "Dia juga memiliki kitab tambahan, Tazkirah," ujar Munarman.

Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi, mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya menirukan syahadat di rukun Islam.

Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.

Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."

Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya. (umi)