Menguak Hidup Kaum Bercelana Pendek yang Pantang Berpoligami
Senin, 1 Juni 2015 - 06:26 WIB
Sumber :
VIVA.co.id - Orang mengenal Samin atau Sedulur Sikep umumnya hanya sebatas nama tokohnya Kyai Samin Soerosentiko yang lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso, Randublatung Kabupaten Blora dan sebatas sebagai masyarakat lugu yang nganeh-anehi.
Padahal banyak yang lain yang bisa digali dari komunitas Samin itu. Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak.
Wong Samin juga terdapat di Pati, tepatnya di kecamatan Sukolilo, dukuh Bombong.
Dari jalan utama Kecamatan Sukolilo, Dukuh Bombong hanya sekitar tiga kilometer. Meski ada bagian jalan yang berlubang-lubang, jalan menuju ke dukuh tersebut umumnya sudah beraspal.
Aktivitas warga dukuh seolah-olah sama, yaitu menjemur padi. Yang agak mencolok dari dukuh-dukuh sekitarnya, sebagian besar warga Dukuh Bombong memiliki anjing. Binatang itu berkeliaran di sekitar aktivitas penjemuran padi.
Perilaku orang Samin ‘Sikep’ sangat jujur, lurus dan polos (lugu) tetapi juga kritis. Kepolosan mereka justru membingungkan orang.
Orang Samin selama ini disebut sebagai orang-orang yang membingungkan. Karena mereka hanya menggunakan bahasa naluri.
"Salam waras," sapaan khas orang Samin, salah satu warga dukuh Bombong. Dengan salam itu wong Sikep baru mau diajak ngobrol.
Mereka menyebut diri sebagai Wong Sikep, tidak suka disebut Samin. Sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam.
Para pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
"Wong lanang iku sikep rabi. Sira wong lanang, ya rabi karo wong wedhok. Wong wedhok ya sikep laki (orang laki-laki itu sikep kawin. Kamu laki-laki ya kawin dengan wanita. Perempuan ya sikep kawin)," ujar Wargono, warga Sikep yang tinggal di Sukolilo, Pati.
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran, tidak bersekolah, tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu, tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, tidak berdagang, penolakan terhadap kapitalisme.
Bagi orang Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan "Atmaja Utama" (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian,
"Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. Mengawini seorang perempuan bernama… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua"
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Bagi orang samin menikah dengan seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada kamus perselingkuhan pada mereka.
"Kecuali, yen rukune wis salin,"ujar Wargono ini kini berjuluk Kromo alias seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang sikep baru boleh menikah lagi.
Ajaran perihal perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin.
"Saha malih dadya garan (Maka yang dijadikan pedoman). Anggegulang gelunganing pembudi ( untuk melatih budi yang ditata). Palakrama nguwoh mangun, (pernikahan yang berhasilkan bentuk). Memangun traping widya, (membangun penerapan ilmu),"jelas Wargono.
Baca Juga :
Padahal banyak yang lain yang bisa digali dari komunitas Samin itu. Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak.
Wong Samin juga terdapat di Pati, tepatnya di kecamatan Sukolilo, dukuh Bombong.
Dari jalan utama Kecamatan Sukolilo, Dukuh Bombong hanya sekitar tiga kilometer. Meski ada bagian jalan yang berlubang-lubang, jalan menuju ke dukuh tersebut umumnya sudah beraspal.
Aktivitas warga dukuh seolah-olah sama, yaitu menjemur padi. Yang agak mencolok dari dukuh-dukuh sekitarnya, sebagian besar warga Dukuh Bombong memiliki anjing. Binatang itu berkeliaran di sekitar aktivitas penjemuran padi.
Perilaku orang Samin ‘Sikep’ sangat jujur, lurus dan polos (lugu) tetapi juga kritis. Kepolosan mereka justru membingungkan orang.
Orang Samin selama ini disebut sebagai orang-orang yang membingungkan. Karena mereka hanya menggunakan bahasa naluri.
"Salam waras," sapaan khas orang Samin, salah satu warga dukuh Bombong. Dengan salam itu wong Sikep baru mau diajak ngobrol.
Mereka menyebut diri sebagai Wong Sikep, tidak suka disebut Samin. Sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam.
Para pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
"Wong lanang iku sikep rabi. Sira wong lanang, ya rabi karo wong wedhok. Wong wedhok ya sikep laki (orang laki-laki itu sikep kawin. Kamu laki-laki ya kawin dengan wanita. Perempuan ya sikep kawin)," ujar Wargono, warga Sikep yang tinggal di Sukolilo, Pati.
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran, tidak bersekolah, tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu, tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, tidak berdagang, penolakan terhadap kapitalisme.
Bagi orang Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan "Atmaja Utama" (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian,
"Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. Mengawini seorang perempuan bernama… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua"
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Bagi orang samin menikah dengan seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada kamus perselingkuhan pada mereka.
"Kecuali, yen rukune wis salin,"ujar Wargono ini kini berjuluk Kromo alias seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang sikep baru boleh menikah lagi.
Ajaran perihal perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin.
"Saha malih dadya garan (Maka yang dijadikan pedoman). Anggegulang gelunganing pembudi ( untuk melatih budi yang ditata). Palakrama nguwoh mangun, (pernikahan yang berhasilkan bentuk). Memangun traping widya, (membangun penerapan ilmu),"jelas Wargono.