Gatot Subroto, 'Bermuka Dua' Demi Nasib Pribumi

Jenderal Gatot Subroto.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

VIVA.co.id - Di sudut Kota Ungaran, Jawa Tengah, 20 kilometer dari Kota Semarang terdapat makam Letjend (purn) Gatot Subroto. Nama Gatot Subroto sangat populer karena dipakai untuk nama jalan protokol di berbagai kota di Indonesia.

Sesudah mundur dari dinas militer, Gatot menetap di Semarang dan hidup sebagai rakyat biasa. Ia sengaja menjauh dari hiruk pikuk Ibu Kota dan menghabiskan masa tuanya di Ungaran, Jawa Tengah. Pada sebuah rumah yang baru dibangunnya.

“Rumah Jenderal Gatot Subroto bisa dilihat di belakang benteng Willem yang berada di jalan raya Ungaran,” ujar Juwardi, penjaga makam.

Gatot menghuni rumah barunya sesudah mundur dari dinas militer. Memutuskan untuk menjalani kehidupannya sebagai rakyat biasa. Hingga ia meninggal dunia tanggal 11 Juni 1962 lantaran serangan jantung.

Baca juga:

Jenazah Gatot Subroto dimakamkan di Ungaran, sesuai dengan amanatnya. Pria berkumis tebal yang lahir di Banyumas pada 10 Oktober 1909 itu memiliki 17 bintang jasa. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi Jenderal Anumerta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 222 tahun 1962, tanggal 18 Juni 1962 Gatot Subroto dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sosok Militer Tiga Zaman

Gatot Subroto hidup di tiga zaman berbeda. Pada masa pendudukan Belanda, Gatot pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL), anggota Pembela Tanah Air (PETA) di masa pendudukan Jepang, terakhir bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.

Pangkat terakhirnya sebagai Letnan Jenderal mengantarkan Gatot Subroto menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Namanya juga tercatat sebagai penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Meski begitu, gagasannya baru diakomodir pemerintah di tahun 1965 melalui Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Nomor 155 tahun 1965 tanggal 16 Juni 1965 Tentang berdirinya AKABRI yang merupakan sumber utama Perwita Jabatan ABRI.

Dalam Biografi Letjend (purn) Gatot Subroto dikisahkan tentang masa kecilnya. Kala bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), ia berkelahi dengan seorang anak Belanda sampai akhirnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Gatot pun lantas pindah ke sekolah Holands Inlandse School (HIS).

Rampung menamatkan HIS, Gatot bekerja sebagai pegawai negeri. Rupanya pekerjaan seperti itu tidak cocok dengan jiwanya. Gatot pun lantas memilih berhenti sebagai Aparatur Sipil Negara. Tahun 1928, ketika Gatot sudah berumur 21 tahun, ia mendaftarkan diri ke sekolah militer, Cadet School di Magelang.

Dengan pangkat sersan Kelas II KNIL (Tentara Kerajaan Belanda), Gatot ditugaskan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Lima tahun kemudian ia dikirim ke Sukabumi, Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan marsose (kesatuan militer dengan tugas-tugas khusus dan menuntut keberanian lebih dari kesatuan lain.)

Seorang anggota KNIL, terlebih lagi pasukan marsose, dikenakan peraturan-peraturan yang cukup keras. Mereka dilarang bergaul dengan rakyat. Hal itu sengaja diterapkan pemerintah kolonial agar mereka tidak berpihak kepada bangsanya. Tapi, bagi Gatot, larangan itu tidak sepenuhnya ditaati.

Dengan caranya sendiri, Gatot berusaha membantu keluarga orang-orang yang terpaksa ditangkap dan dihukum. Baginya, pelaksanaan tugas dan perasaan kemanusiaan adalah dua hal yang berbeda. Dan Gatot bertekad melaksanakan dua hal itu sebaik mungkin. Sebagian gajinya pun tak segan diberikan kepada keluarga para korban, sebagai modal agar mereka dapat berdagang kecil-kecilan untuk menolong kehidupan anak-anak mereka.

Baca juga:

Cara-cara yang dilakukan Gatot tercium juga oleh komandannya. Tak pelak, Gatot sering mendapat teguran. Namun, peringatan komandan tak menyurutkan tekadnya memberikan bantuan kepada rakyat kecil. Meski sebenarnya, Gatot juga terpaksa mengurangi sebagian biaya sekolah adiknya yang menjadi tanggung jawabnya.

Setelah pemerintah mendekritkan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Divisi V dibentuk di Banyumas. Kolonel Soedirman diangkat menjadi Komandan Divisi dan Gatot adalah Kepala Siasat. Ia ikut mendampingi Soedirman dalam pertempuran Ambarawa.

Tercatat dalam masa itu, sebuah kisah yang menggambarkan hubungan baik antara Gatot dengan Jenderal Sudirman. Setelah Roem – Royen Statement dikeluarkan, ibukota RI Yogyakarta dikembalikan oleh Belanda. Pimpinan pemerintahan pun segera kembali ke Ibu Kota. Tapi, Jenderal Soedirman menolak dengan alasan tidak sampai hati meninggalkan anak buahnya yang masih bergerilya di daerah pedalaman.

Pemerintah meminta jasa baik Gatot. Ia menyadari bila kehadiran Sudirman di Yogyakarta sangat diperlukan, menghadapi perundingan dengan Belanda.

Permintaan pemerintah kepada Gatot lantaran hubungan keduanya selama ini terkenal cukup baik. Sudirman menghargai Gatot yang lebih tua usianya dan lebih berpengalaman sebagai militer. Begitu pula Gatot menghargai Sudirman sebagai atasannya, meski Soedirman jauh lebih muda dibanding dirinya.

Permintaan pun dipenuhi. Gatot menulis surat pribadi kepada Sudirman. Ia meminta agar Panglima besar itu bersedia kembali ke Yogya, demi kepentingan perjuangan selanjutnya. ”Ini kali pertama sebagai saudara tua dari adik, minta ditaati.” Surat Gatot inilah yang berhasil melunakkan hati Soedirman.

Gatot Subroto menikah tahun 1948, dalam usia yang sudah tergolong lanjut, 41 tahun. Gadis pilihannya adalah Supiah yang bertugas di bidang kesehatan. Dari perkawinannya mereka dikaruniai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan.

(mus)