Rehabilitasi Korban Seharusnya Masuk Revisi UU Terorisme

Ketua Setara Institute, Hendardi, di Jakarta.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Ade Alfath

VIVA.co.id – LSM Setara Institute meminta agar rehabilitasi korban juga dimuat dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasalnya hingga saat ini, belum ada UU yang secara khusus mengakomodasi rehabilitasi korban akibat kejahatan teroris.

"Selain unsur pencegahan dan tindakan terhadap pidana terorisme, harusnya rehabilitasi korban juga diatur," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi di Kantor Setara, Jakarta, Kamis 3 Maret 2016.
 
Soal rehabilitasi korban hanya diatur dalam Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang menanggung rehabilitasi atas seluruh tindak pidana umum. Padahal terorisme tergolong kejahatan khusus yang harusnya membutuhkan payung hukum yang tak umum.

"Memang harus diatur apa yang harus dilakukan negara terhadap para korban,” tambahnya.

Beberapa pengaturan rehabilitasi korban terorisme antara lain terkait kompensasi dan pemulihan psikologi.

Selain itu, Setara juga menyoroti poin revisi yang dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan terhadap kebebasan berekspresi dengan adanya klausul penangkapan dini terhadap para terduga terorisme.

Apalagi, jangka waktu penahanan terhadap terduga terorisme yang awalnya 7 hari menjadi 30 hari. Hal itu disebut bentuk kesewenang-wenangan terhadap seseorang yang belum tentu menjadi tersangka. Hendardi meminta pemerintah bisa menjelaskan hal tersebut dengan mekanisme yang transparan.

Pascaledakan Bom Sarinah 14 Januari 2016, pemerintah mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut merupakan hasil keputusan Presiden Joko Widodo dalam rapat konsultasi dengan kepala lembaga negara.