Peraturan MA tentang Praperadilan Dinilai Tak Komprehensif

Ilustrasi sidang di pengadilan.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Mahkamah Agung (MA) pada 18 April 2016 lalu telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali (PK) Putusan Praperadilan. Lewat Perma ini, mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. 

Menurut Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK termasuk banding. Menurut MA, hal ini untuk menghindari kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh atau tidak pengajuan PK perkara praperadilan. 

Perma ini juga berisi tentang objek perkara yang saat ini dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek praperadilan menjadi melingkupi pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka
 
Kata Supriyadi, ICJR melihat MA dalam Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan. Namun, Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur Praperadilan. 

"ICJR justru merekomendasikan bahwa perma Praperadilan seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan, termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Terutama soal pembatasan hak Praperadilan bagi buronan (DPO)," jelas Supriyadi dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Minggu 5 Juni 2016.

ICJR merekomendasikan beberapa pengaturan soal praperadilan. Hal ini meliputi kepastian jangka waktu pelaksanaan Praperadilan, karena saat ini tidak ada pengaturan lanjutan mengenai jangka waktu. "Antara praktik dan norma hukum terjadi disparitas yang cukup tinggi terkait jangka waktu pelaksanaan Praperadilan," ungkapnya.

Kemudian, masih dibutuhkan pengaturan khusus terkait hukum acara dalam Praperadilan. Bagi ICJR, pengaturan mengenai hukum acara Praperadilan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kurang memadai dan tidak jelas, sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata. 

"Akibatnya, seringkali muncul kontradiksi diantara dua hukum acara tersebut, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan tidak menguntungkan bagi tersangka dalam memanfaatkan mekanisme Praperadilan," jelas Supriyadi.

Slenjutnya, perlu pengawasan secara umum terhadap praktik Praperadilan karena, "ketersediaan informasi yang saat ini ada tidak signifikan baik dari akses informasi maupun laporan terkait praktik Praperadilan ini di tiap pengadilan," ucapnya.

Terkahir, perbaikan manajemen perkara Praperadilan di tingkat pengadilan negeri. Sistem manajemen yang saat ini ada umumnya harus dibenahi.

"Permasalahan lain yang mengemuka dalam praktik Praperadilan adalah terkait dengan mekanisme beracara yang dipakai dalam sidang Praperadilan hingga kini belum menemui kata sepakat, apakah memakai mekanisme peradilan pidana, peradilan perdata atau memiliki mekanisme sendiri yang berbeda dari dua mekanisme peradilan sebelumnya," lanjut Supriyadi.

(ren)