Fadli Zon: Kasus Pemufakatan Jahat Novanto Jangan Dipaksakan

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id
- Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menyatakan bahwa tidak perlu izin Presiden untuk memeriksa mantan Ketua DPR Setya Novanto. Apalagi jika pemeriksaan ini masih dalam ranah penyelidikan.


"Kalau tahap penyelidikan tidak perlu (izin presiden)," ujar Fadli di Gedung Nusantara III DPR pada Kamis, 7 Januari 2016.


Fadli meminta agar Korps Adhyakas tidak memaksakan diri dalam menelusuri suatu kasus yang belum jelas ada pelanggaran hukumnya. Hal ini dikarenakan bahwa Kejaksaan Agung akan menyelidiki kasus dugaan pemufakatan jahat yang diduga melibatkan Setya Novanto.


"Pemufakatan apa, kejahatan apa, jangan memaksakan diri," tegas politikus Gerindra itu.


Fadli bahkan meminta agar suatu proses hukum tidak dipolitisasi. Begitu juga kasus pemufakatan ini jangan sampai dipolitisasi. "Jangan penegakan hukum untuk tujuan politik. Jaksa Agung kan dari politik sehingga langkah-langkahnya politis bukan dari penegakan hukum," ucap Fadli.


Penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap kasus rekaman pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait saham Freeport Indonesia dipertanyakan banyak kalangan. Pasalnya, dalam penyelidikan itu, Kejaksaan menduga ada unsur pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.


Dalam rekaman tersebut, melibatkan Ketua DPR RI Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Riza Chalid.

Sebelumnya Pakar hukum pidana Andi Hamzah menilai tuduhan permufakatan jahat yang dituduhkan Kejaksaan Agung kepada Setya Novanto tidak tepat. Sebab, dalam rekaman yang disadap Maroef Sjamsoeddin sama sekali tidak memenuhi unsur atau niat permufakatan.


"Permufakatan jahat dalam bahasa ahli dalam KUHP yang masih berbahasa Belanda 'samenspanning', bahasa Inggrisnya 'conspiracy', bahasa sehari-hari 'persekongkolan', tercantum dalam pasal 888 KUHP: Disebutkan permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Bahasa aslinya 'samenspanning bestaat zoodra twee of meerdere personen overeengekomen zijn om het misdrijf te plegen'," papar ketua tim perumus RUU KUHP itu.


Dalam kasus permufakatan ini, Andi menambahkan, harus ada dua orang atau lebih yang menyetujui, tidak bisa dilakukan seorang diri. Persekongkolan seperti yang dituduhkan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo tidak terpenuhi.


"Pengertian (definisi) permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP seperti Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Pasal 103 KUHP, kecuali UU tersebut menyimpang. Tidak semua delik berlaku permufakatan jahat, hanya terhadap delik kejahatan terhadap keamanan negara dan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor," ujarnya